Membekali Remaja Cakap Mengelola Kesehatan Jiwa dan Raga
Kehidupan remaja menghadapi fase perubahan jiwa dan raga yang perlu dukungan orangtua dan guru. Kecakapan remaja untuk memutuskan hidup dengan jiwa dan raga yang sehat perlu dibekali dengan baik.
Kalangan remaja menghadapi fase pertumbuhan yang kompleks terkait perkembangan jiwa dan raganya. Semangat hidup yang membentuk kesejahteraan jiwa dan raga yang seimbang atau wellbeing para remaja pun butuh sentuhan. Mereka mengalami yang namanya pubertas, masalah gizi, kebersihan, kesehatan, hingga keamanan berinternet dan interaksi sosial.
Terkait kesehatan mental, satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental dan satu dari 20 remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Adapun gangguan mental yang paling banyak diderita remaja ialah gangguan cemas atau gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh.
Angka kesehatan mental remaja Indonesia tersebut muncul dalam survei kesehatan mental yang dilakukan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS). Hasil ini merupakan survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja usia 10–17 tahun di Indonesia.
Guna mendampingi para remaja yang cakap mengelola kesehatan jiwa dan raganya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bekerja sama dengan UNICEF meluncurkan modul Guru Belajar dan Berbagi Seri Remaja Sehat Jiwa dan Raga untuk guru SMP, SMA, dan SMK di Jakarta, Senin (31/10/2022). Modul ini untuk menjawab beragam permasalahan kompleks yang terjadi di kalangan remaja terkait dengan isu pubertas, gizi, kebersihan, kesehatan, dan keamanan berinternet dan interaksi sosial.
Baca juga : Dunia Pendidikan Dukung Kesejahteraan Anak Usia Sekolah dan Remaja
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek Nunuk Suryani mengungkapkan, permasalahan kesehatan remaja dapat memengaruhi mereka dalam menjalankan proses pembelajaran. Karena itu, penting bagi remaja untuk mengetahui isu-isu seputar kesehatan termasuk persoalan reproduksi, pubertas, gizi, dan isu lainnya.
Modul Guru Belajar dan Berbagi Seri Remaja Sehat Jiwa dan Raga tersebut disiapkan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan terkait remaja di jenjang SMP dan SMA/SMK sederajat. Modul ini merupakan gabungan dari materi yang berkaitan dengan Pendidikan Keterampilan Hidup (PKH) dan Gizi Remaja yang dirancang dalam 37 pertemuan. Tujuannya untuk dapat meningkatkan pengetahuan guru mengenai PKH dan gizi pada remaja.
”Sekolah dan tenaga kependidikan berperan penting untuk mengatasi dan menginformasikan seputar permasalahan kesehatan dan gizi bagi remaja. Penting untuk membekali tenaga pendidikan dengan pengetahuan dan metode untuk mendorong peserta didik guna mengetahui perilaku sehat dengan berprikir kritis sehingga mengetahui mana yang baik dan tidak baik untuk tubuh dan hidup mereka,” ujar Nunuk.
Mampu membuat keputusan
Modul Pendidikan Keterampilan Hidup ini adalah bentuk dukungan dalam mendorong pendidik dan peserta didik untuk mengambil keputusan tepat dalam hidup mereka. Sementara itu, modul Gizi Remaja berisi informasi bagaimana tenaga pendidikan dapat mendorong peserta didik dalam menerapkan pola makan dengan gizi seimbang dengan cara yang menyenangkan sehingga peserta didik dapat tumbuh sehat dan berprestasi di sekolah.
Sementara itu, Chief of Nutrition Unicef Indonesia Jee Hyun Rah mengungkapkan, PKH telah sering dipromosikan oleh Unicef Indonesia untuk membekali remaja dengan pengetahuan serta keterampilan dalam mengelola risiko dan mengambil keputusan berdasarkan informasi mengenai hidup mereka. Unicef Indonesia selama ini telah mendukung pemerintah dalam mendesain dan mengimplementasikan Program Gizi Remaja sejak tahun 2017.
Program yang dikenal dengan Aksi Bergizi tersebut telah dinyatakan sebagai program nasional sejak tahun 2020 melalui Surat Keputusan Bersama yang dikeluarkan oleh empat kementerian, meliputi Kemendikbudristek, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Agama (Kemenag), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Jee juga mengungkapkan, program ini mendukung remaja dan orang muda dalam mengembangkan keterampilan abad ke-21, seperti pemecahan masalah, kreativitas, komunikasi. ”Melalui modul ini, remaja dan orang muda juga akan memperoleh pengetahuan dan informasi yang komprehensif mengenai topik-topik penting tentang higienitas, kesetaraan jender, keamanan berinternet, dan perundungan,” paparnya.
Jee menambahkan, program Aksi Bergizi membekali remaja dengan pengetahuan dan keterampilan untuk mempromosikan serta mempraktikkan perilaku gizi positif dan gaya hidup sehat. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Unicef mendukung peningkatan kapasitas pendidik dan penyedia layanan pendidikan untuk mengimplementasikan Program Aksi Bergizi.
Dalam penerapannya, Modul Pembelajaran Gizi Remaja dikembangkan melalui Platform Guru Belajar dan Berbagi, dan didesain untuk meningkatkan pengetahuan tenaga pendidik dan penyedia jasa lainnya mengenai pentingnya gizi bagi remaja laki-laki dan perempuan. Adapun topik yang dibahas meliputi pencegahan anemia, gizi seimbang, aktivitas sehat, makanan sehat dan tidak sehat, kantin sehat, serta pencegahan penyakit tidak menular.
Nunuk mengatakan, masalah gizi pada remaja memainkan peran penting dalam siklus kehidupan manusia. Untuk itulah, intervensi gizi harus dimulai sedini mungkin.
Namun, kehidupan remaja tidak hanya berpusat pada gizi saja. Tantangan yang dihadapi remaja saat ini dapat berupa pergaulan, kesehatan fisik, kesehatan jiwa, kasus pernikahan dini, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, modul ini hadir sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab guru dalam meningkatkan kualitas hidup remaja Indonesia.
Kesehatan mental
Kesehatan mental di kalangan remaja juga menjadi hal yang penting diperhatikan. Peneliti utama I-NAMHS yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Siswanto Agus Wilopo mengatakan, hampir 20 persen dari total penduduk Indonesia di usia 10–19 tahun. Karena itu, populasi remaja ini memiliki peran penting bagi perkembangan Indonesia, terutama untuk meraih bonus demografi dan merealisasikan visi Indonesia Emas 2024.
Agus menjelaskan, angka yang ditemukan dari penelitian tentang kesehatan mental remaja Indonesia setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja. Remaja dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis dengan gangguan mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.
“Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki,” ujarnya.
Siswanto menambahkan, hasil penelitian menunjukkan gangguan mental yang paling banyak diderita remaja yakni gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7 persen; gangguan depresi mayor 1 persen ; gangguan perilaku 0,9 persen; serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5 persen.
Baca juga : Mengatasi Gangguan Kesehatan Jiwa pada Dewasa Muda
Data lain yang ditemukan terkait pengaruh kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pembatasan kontak sosial selama pandemi Covid-19 terhadap kesehatan mental remaja. Hasilnya, sebanyak 1 dari 20 remaja merasa lebih depresi, lebih cemas, lebih merasa kesepian, dan lebih sulit untuk berkonsentrasi dibandingkan dengan sebelum pandemi.
I-NAMHS merupakan bagian dari National Adolescent Mental Health Survey yang juga diselenggarakan di Kenya dan Vietnam. Penelitian ini dikerjakan melalui kerja sama antara Universitas Gadjah Mada, University of Queensland Australia, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health Amerika Serikat, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Hasanuddin.
Menurut Siswanto, ketersediaan data prevalensi berskala nasional seperti I-NAMHS sangat diperlukan. ”Selama ini, data yang kita punya tidak merepresentasikan Indonesia atau tidak berdasarkan diagnosis sehingga perencanaan program dan advokasi mengenai kesehatan mental remaja menjadi tidak tepat sasaran. Harapannya I-NAMHS bisa membantu pemerintah dan pihak lain yang terkait dengan kesehatan mental remaja dalam mendesain program dan advokasi yang lebih baik bagi remaja kita,” ungkapnya.
I-NAMHS berfokus untuk menghitung beban penyakit atau prevalensi enam gangguan mental yang paling umum di antara remaja, yaitu fobia sosial, gangguan cemas menyeluruh, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, PTSD, dan ADHD. I-NAMHS juga mengidentifikasi faktor risiko dan pelindung yang berhubungan dengan gangguan mental remaja, seperti perundungan, sekolah dan pendidikan, hubungan teman sebaya dan keluarga, perilaku seks, penggunaan zat, pengalaman masa kecil yang traumatis, dan penggunaan fasilitas kesehatan.
Bantuan profesional
Siswanto mengatakan, meskipun pemerintah sudah meningkatkan akses ke pelbagai fasilitas kesehatan, hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka. Hanya sekitar 2,6 persen remaja yang memiliki masalah kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku dalam 12 bulan terakhir.
”Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka,” katanya.
Hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka. (Siswanto Agus Wilopo)
Kebanyakan pengasuh remaja, yakni sekitar 38,2 persen, memilih untuk mengakses layanan kesehatan mental dari sekolah untuk remaja mereka. Di sisi lain, dari semua pengasuh utama yang menyatakan bahwa remaja mereka membutuhkan bantuan, sekitar 43,8 persen melaporkan mereka tidak mencari bantuan. Mereka lebih memilih untuk menangani sendiri masalah tersebut atau dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman.
Secara terpisah, Philip Yusenda, pelatih pendidikan nilai mengatakan, anak-anak seringkali tidak dibiasakan untuk mengenali emosi mereka. Anak yang menangis misalnya, dianggap sebagai perilaku egatif.
”Bahkan, mengutarakan perasaan pun enggak. Jarang keluarga untuk bisa mengekspresikan emosi dengan aman, apalagi mengenali dan mengolahnya,” kata Philip.
Padahal, di masa remaja otak mereka istilahnya sedang ”under construction”. Anak remaja ini sedang tumbuh.
Bagian reasoning (prefrontal cortex) berkembang. Namun, amyglada (perkembangan otak yang mengatur emosi) sedang tinggi-tingginya sehingga butuh fokus pada diri seniri kalau merasakan beragam emosi.
”Jadi remaja perlu waktu tenang atau teduh. Di masa ini, tidak ada emosi yang tengah-tengah, mereka umumnya kalau tidak benci, ya cinta. Inilah kenapa ada fenomena remaja fans setengah mati atau benci pada suatu publik figur karena otak emosional belum ada rem yang jelas,” kata Philip.
Di fase remaja, mereka mengalami perubahan bentuk badan, banjir hormon, perubahan dalam berinteraksi sosial, perubahan respons badaniah, hingga perubahan respons emosional. Termasuk mulai ada gap atau jarak ketika mengobrol dengan lawan jenis.
Remaja juga impulsif dan ditambah segala tantangan di media sosial seperti TikTok dengan banyak video tantangan, baik yang postif dan negatif, mereka tertarik mencoba.
Bahkan, ada tindakan berbahaya yang mereka lakukan, seperti menantang menghentikan sopir truk yang mengemudikan kendaraa kencang. Ada tekanan teman dan bullying, hal ini dapat membuat tornado emosional para remaja.
Philip mengatakan, penting bagi orangtua dan guru untuk membantu para remaja mengenali emosi dengan rasa yang timbul (menamakan rasa) bahwa saya sedang marah, sedih, khawatir, bingung, dengan dinamai. ”Jangan lagi dengan istilah galau, malas, ini enggak spesifik, jadi kita tidak tahu kebutuhan di baliknya,” kata Philip.
Selanjutnya, membantu para remaja untuk mengetahui kebutuhan di balik rasa. Mereka pun jadi paham ketika marah karena ada keinginan/kebutuhan seperti apa, lalu strategi pemenuhan kebutuhan.
Philip mengatakan, rentang rasa ada banyak. Para remaja dibantu untuk memahami rasa yang timbul. Semisal ketika badan terasa tidak enak, bantu untuk bisa menunjukkan di bagian mana.
Lalu, diajak untuk memahami munculnya bagian tubuh yang tidak enak, seperti leher kaku, biasanya ketika merasakan perasaan marah, sedih, banyak pikiran atau hal lainnya. Lalu, kaitkan kebutuhan di balik rasa itu, apakah apakah butuh istirahat, ketenangan, berprestasi, atau diakui.