Revisi UU Sisdiknas Diperlukan, tetapi Mesti Mengakomodasi Berbagai Kepentingan
RUU Sisdiknas diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pendidikan yang terus berkembang. Namun, juga mesti mengakomodasi berbagai kepentingan sehingga tidak merugikan sejumlah pihak.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional atau RUU Sisdiknas diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang terus berkembang. Namun, revisi juga mesti mengakomodasi berbagai kepentingan sehingga tidak mengorbankan hak-hak yang telah dijamin dalam regulasi saat ini.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Asep Saifuddin Chalim mengatakan, pihaknya mendukung revisi UU Sisdiknas, tetapi juga menyampaikan sejumlah catatan. Oleh karena itu, draf RUU tersebut harus diperbaiki.
”Kami melihat semangat Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) untuk merevisi UU Sisdiknas cukup baik. Kami mengajukan kritik dengan segala argumentasinya, antara lain tentang dihapusnya tunjangan guru,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum dengan DPR, di Jakarta, Jumat (23/9/2022).
Asep mengajak semua pihak berupaya menyempurnakan draf RUU yang akan mengintegrasikan tiga UU tersebut. Ketiga UU itu adalah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
”Ketika prosesnya masih banyak kelemahan, semua pihak harus mengupayakan agar UU Sisdiknas lahir dalam kesempurnaan,” katanya.
Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Pergunu Ahmad Zuhri menuturkan, perubahan UU Sisdiknas diperlukan untuk menjawab sejumlah persoalan, seperti pembangunan sumber daya manusia, tertinggalnya infrastruktur pendidikan, dan belum meratanya pembangunan antardaerah.
Menurut Zuhri, RUU ini menjadi pintu masuk bagi pemangku kepentingan pendidikan untuk mendedikasikan pemikiran dan gagasan dalam mencapai cita-cita pendidikan Indonesia. Selain itu, juga mengakomodasi berbagai aspirasi secara demokratis dan inklusif.
”RUU Sisdiknas seharusnya menyejahterakan, mengayomi, dan melindungi kepentingan pendidikan nasional. Bukan hanya pada era ini, tetapi juga pembangunan pendidikan Indonesia jangka panjang,” ucapnya.
Badan Legislasi DPR mengembalikan draf RUU Sisdiknas kepada pemerintah untuk dirapikan. Dengan begitu, RUU tersebut tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.
Zuhri mengatakan, guru dan dosen harus dilindungi dan diperlakukan khusus sebagai profesi mulia. Anggaran untuk menyejahterakan guru dan dosen diharapkan tidak menjadi ”kambing hitam”untuk mengafirmasi narasi ketidakmampuan anggaran negara.
”Jika ada upaya penghapusan skema tunjangan profesi guru yang telah diatur dalam UU Guru dan Dosen, berarti itu sama saja dengan upaya memiskinkan guru. Dengan tegas Pergunu menolak wacana tersebut,” jelasnya.
Zuhri menambahkan, RUU Sisdiknas semestinya memastikan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) 20 persen digunakan untuk kesejahteraan guru. Oleh sebab itu, pihaknya menganggap RUU itu tetap perlu didorong untuk dibahas oleh DPR.
Hilangnya frasa tunjangan profesi guru menjadi salah satu isu krusial dalam RUU Sisdiknas. Pasal 145 memang menyebutkan setiap guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan, yang diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tetap menerima tunjangan tersebut sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi, dalam Pasal 147 disebutkan peraturan pelaksana harus ditetapkan paling lambat dua tahun sejak UU itu diundangkan. Sementara pada Pasal 149 diuraikan, saat RUU Sisdiknas diundangkan, tiga UU yang diintegrasikan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Anggota Komisi X DPR, Zainuddin Maliki, mengatakan, Badan Legislasi DPR mengembalikan draf RUU Sisdiknas kepada pemerintah untuk dirapikan. Dengan begitu, RUU tersebut tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.
”Karena memang ada yang harus disempurnakan, baik pada prosedur maupun substansinya,” katanya.
Maliki menuturkan, meskipun Kemendikbudristek menegaskan sudah membuka ruang publik dalam penyusunan RUU Sisdiknas, tetap sejumlah pihak merasa belum dilibatkan. Kalaupun diajak berdialog, masih sebatas formalitas.
”Dari sisi substansi, semangat untuk melakukan perubahan itu sangat tinggi. Kalau mau buat perubahan, buatlah yang lebih baik. Jadi, bukan langsung menganggap (UU) yang lama jelek semua,” ujarnya.
Pengamat kebijakan pendidikan dan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan menyebutkan, RUU Sisdiknas juga perlu memuat standar minimal pendidikan nasional dengan berbagai indikator yang terukur. Dengan begitu, penyusunan RUU Sisdiknas sebaiknya diawali evaluasi terhadap capaian standar pendidikan tersebut.
”Itulah pentingnya evidence based policy (kebijakan berbasis bukti) untuk mengetahui standar yang sudah tercapai dan yang belum. Gambaran ini bisa dipakai untuk memperkuat RUU Sisdiknas,” ucapnya.