Kawal Tuntas Utak-atik RUU Sisdiknas
Munculnya polemik menjadi pertanda agar RUU Sisdiknas tidak buru-buru dibahas. Kritik bukanlah antipati terhadap langkah pemerintah, melainkan kepedulian agar pendidikan tidak diikat oleh regulasi yang membuat resah.
Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional atau RUU Sisdiknas belum dibahas oleh legislatif, tetapi telah memicu kegaduhan di publik. Berbagai kritik pun mengalir deras untuk mengawal regulasi yang berdampak luas terhadap masa depan pendidikan bangsa itu.
Kritik dari organisasi guru, pelajar, serta lembaga pelatihan dan kursus tumpah di Ruang Rapat Komisi X DPR, Jakarta, Senin (5/9/2022). Siang itu, para wakil rakyat menerima banyak catatan tentang RUU Sisdiknas yang telah diajukan pemerintah untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Perubahan 2022.
Padahal, Komisi X DPR belum menerima secara resmi naskah RUU itu. Namun, naskahnya telah beredar luas dan mendapat tanggapan beragam dari publik.
RUU ini akan mengintegrasikan tiga UU, yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Hal itulah yang membuat regulasi ini berdampak luas terhadap nasib guru, dosen, pelajar, dan lembaga pelatihan pendidikan di masa depan.
Sejumlah pihak mencium aroma ketergesa-gesaan dalam penyusunan RUU itu. Salah satu sorotan utama adalah hilangnya tunjangan profesi guru yang dianggap sebagai pelemahan atas profesi tersebut.
Baca juga: Diajukan Masuk Prolegnas, RUU Sisdiknas Menuai Banyak Catatan
Saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi X DPR, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Ali Arahim mengatakan, tunjangan profesi guru masih tercantum dalam RUU Sisdiknas yang beredar April lalu. Namun, ketentuan ini hilang pada RUU yang beredar Agustus.
”Oleh karena itu, kami berharap kepada Komisi X (DPR) untuk memasukkan kembali ketentuan tersebut karena itu adalah roh daripada profesi (guru) itu sendiri,” ujarnya.
Langkah itu diharapkan dapat meredam gejolak 3,4 juta anggota PGRI di Tanah Air yang gelisah dengan RUU tersebut. Menurut Ali, tunjangan guru dan dosen sampai pensiun menjadi harga mati.
Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI Sumardiansyah Perdana Kusuma menuturkan, terdapat empat catatan utama dalam RUU Sisdiknas. Pertama, substansi pendidikan dalam tiga UU yang akan diintegrasikan belum termuat dalam RUU Sisdiknas.
Kedua, RUU Sisdiknas masih menyisakan polemik dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. ”Mengapa? Karena penyusunannya tergesa-gesa, diam-diam, tidak transparan, minim keterlibatan ahli dan partisipasi publik,” ujarnya.
Ketiga, peta jalan yang seharusnya menjadi prasyarat atau acuan penyusunan RUU itu belum tuntas. Keempat, dibutuhkan tim gabungan atau kelompok kerja nasional dari berbagai organisasi ataupun unsur kepakaran untuk membahasnya.
”Dan yang sangat mencoreng kami adalah hilangnya ayat tunjangan profesi dalam RUU Sisdiknas versi Agustus,” katanya.
Baca juga: RUU Sisdiknas yang Segregatif, Liberalistik, dan Etatistik
Sumardiansyah memerinci sejumlah hal yang dianggap tidak sejalan dengan upaya menyejahterakan guru. Dalam Pasal 14 UU Guru dan Dosen, misalnya, guru berkesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.
Dalam Pasal 15, guru berhak mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum yang meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, fungsional, khusus, dan maslahat tambahan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
Sementara dalam Pasal 16, guru mendapatkan tunjangan profesi setara dengan satu kali gaji pokok. Pasal 17 dan 18 mengatur tunjangan fungsional dan khusus.
Penyusunan RUU Sisdiknas terkesan tergesa-gesa. RUU tersebut semestinya berdasarkan peta jalan pendidikan di masa mendatang sehingga memerlukan keterlibatan publik lebih luas.
”Poin-poin yang menginginkan agar guru mendapatkan kesejahteraan di atas minimum hilang dalam RUU Sisdiknas versi Agustus 2022,” katanya.
Sumardiansyah menjelaskan, dalam Pasal 105 RUU Sisdiknas, memang disebutkan pendidik berhak memperoleh penghasilan/pengupahan dan jaminan sosial sesuai ketentuan perundang-undangan. Pada bab penjelasan, perundang-undangan yang dimaksud adalah UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) bagi guru dan dosen negeri serta UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bagi guru dan dosen swasta.
”Lagi-lagi terjadi penurunan, kemunduran, yang semula kami mendapatkan kesejahteraan di atas minimum kini dianggap minimum. Ini sebuah analogi di mana kami dilemahkan profesinya, dilecehkan harkat martabatnya,” jelasnya.
Hal positif
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Danang Hidayatullah mengakui, pihaknya dilibatkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam diskusi kelompok terfokus tentang RUU Sisdiknas. Meskipun dalam waktu terbatas, pihaknya telah memberikan masukan tertulis terhadap RUU itu.
”Kami siap mengawal RUU Sisdiknas untuk mewujudkan janji pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan dan kualitas guru yang tertunda,” ujarnya.
Baca juga: Janji Mengakhiri Era Guru Oemar Bakri
Menurut Danang, terdapat beberapa hal positif dalam RUU Sisdiknas. Salah satunya dengan dimasukkannya pendidikan anak usia dini sebagai jenjang pendidikan formal.
Namun, hilangnya klausul tunjangan profesi guru memunculkan beragam persepsi. ”Terdapat beberapa masukan agar RUU Sisdiknas layak dijadikan landasan hukum untuk pemenuhan hak dan kesejahteraan guru. Beberapa pasal memerlukan ayat tambahan,” ujarnya.
Ketua Umum Forum Pengelola Lembaga Kursus dan Kepelatihan Zoelkifli M Adam mengatakan, pihaknya menuntut pengakuan negara terhadap lembaga kursus. Sebab, lembaga itu juga melayani kepentingan pendidikan masyarakat.
”Kami jangankan mendapatkan tunjangan profesi dan insentif, lembaga kami pun mau tidak diakui. Inilah yang kami tuntut dalam RUU Sisdiknas,” katanya.
Perwakilan Poros Pelajar Nasional, Rafani Tuahuns, menuturkan, ketidakterlibatan banyak pihak, seperti guru dan pelajar, dalam pembahasan RUU Sisdiknas menunjukkan tidak sehatnya komunikasi publik pemerintah. Dengan begitu, muncul riak-riak kritik karena perencanaannya kurang transparan.
”Di RUU ini tidak mengindahkan secara eksplisif hak-hak pelajar. RUU Sisdiknas berpotensi melegitimasi komersialisasi pendidikan dan juga menghapus pelibatan masyarakat dalam proses evaluasi pendidikan,” jelasnya.
Tunda setahun
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf menuturkan, pihaknya mengusulkan ke pemerintah untuk terlebih dahulu membuat peta jalan pendidikan. Dengan begitu, dapat diatur lebih jauh mengenai guru, pelajar, dan pendidikan anak usia dini.
Dede mengatakan, draf RUU Sisdiknas itu belum masuk ke Komisi X DPR. ”Namun, kami mendengarkan semua masukan. Jika (pembahasan RUU Sisdiknas) masuk ke Komisi X, kami akan minta ini ditunda selama setahun sampai komunikasi dengan semua pemangku kepentingan tuntas,” jelasnya.
Anggota Komisi X DPR, Nuroji, menyebutkan, penyusunan RUU Sisdiknas terkesan tergesa-gesa. Menurut dia, RUU tersebut semestinya berdasarkan peta jalan pendidikan di masa mendatang sehingga memerlukan keterlibatan publik lebih luas.
”Belum dibahas saja, RUU ini sudah menuai berbagai reaksi dan kontroversi. Saya curiga ini disampaikan pemerintah sudah ada target tayangnya,” katanya.
Baca juga: RUU Sisdiknas Jadikan Pendidikan Pancasila Mata Pelajaran Wajib
Sebelumnya, dalam rapat bersama Komisi X DPR, Selasa (30/8/2022), Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menjelaskan tiga poin penting yang didorong RUU Sisdiknas bagi guru Indonesia. Pertama, guru yang sudah lulus sertifikasi tetap berhak mendapatkan tunjangan profesi dan/atau tunjangan khusus sepanjang masih memenuhi persyaratan.
Kedua, sertifikat pendidikan profesi guru (PPG) adalah prasyarat menjadi guru atau calon guru baru dan bukan untuk prasyarat memberikan penghasilan layak bagi guru yang sudah mengajar. Ketiga, pemerintah ingin mengakui pendidik PAUD, pendidik di pendidikan kesetaraan, dan di pesantren formal.
”Kami harap RUU Sisdiknas ini menjadi RUU bersejarah, RUU yang paling meningkatkan kesejahteraan guru dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Jika ada hal-hal yang belum memenuhi harapan, mari kita bahas bersama dan sempurnakan,” ujarnya.
Polemik yang muncul di masyarakat menjadi pertanda agar RUU Sisdiknas tidak terburu-buru dibahas. Kritik bukanlah antipati terhadap langkah pemerintah, melainkan kepedulian berbagai pihak agar pendidikan ke depan tidak diikat oleh regulasi yang membuat resah.