Pelarangan berladang tradisional dengan membakar di Kalimantan Tengah, sementara hutan dan gambut dibongkar untuk cetak sawah dan singkong. Hal ini merupakan bentuk nyata ketidakadilan iklim.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Pelarangan berladang tradisional dengan membakar di Kalimantan, sedangkan pada saat sama gambut dibongkar untuk cetak sawah dan hutan ditebang untuk menanam singkong. Situasi itu merupakan bentuk nyata ketidakadilan dalam mitigasi dan adaptasi iklim. Selain melepaskan emisi karbon dari pembongkaran hutan dan gambut, budidaya padi di sawah jadi penyumbang metana, gas rumah kaca paling merusak.
Sorotan dunia internasional terhadap kebakaran hutan dan lahan yang meluas di Kalimantan Tengah (Kalteng) pada 2015 membuat pemerintah menempuh jalan pintas: melarang seluruh pembukaan lahan dengan membakar. Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan diimplementasikan di lapangan dengan penangkapan peladang tradisional.
Padahal, menurut laporan Suriansyah Murhaini dan Achmadi di jurnal Heliyon (2021), membakar gulma sebelum menanam merupakan cara petani Dayak beradaptasi dengan lingkungan spesifik. Abu dan arang yang dihasilkan dari hasil pembakaran dibutuhkan untuk menyuburkan lahan. Berbeda dengan pertanian di Pulau Jawa dan Bali yang secara alami mendapatkan hara dari erupsi gunung api, Kalimantan tidak memiliki gunung api.
Setelah ditanami beberapa musim dan unsur hara menipis, lahan akan ditinggalkan sehingga menjadi hutan, sebelum kembali ditebas, dibakar, dan ditanami lagi. Teknik bercocok tanam ini bukanlah perladangan berpindah, namun teknik bertani gilir balik.
Pembakaran ladang dilakukan melalui berbagai peraturan adat, termasuk dengan membuat sekat bakar untuk menjaga agar kebakaran tidak meluas. Dengan pengetahuan tradisional ini, para peladang Dayak menolak dikambinghitamkan atas kebakaran hutan dan lahan yang meluas pada 2015 ataupun setelahnya.
Infografik Tahapan Budaya Berladang Suku Dayak
Kebakaran hutan dan lahan yang meluas biasanya dilakukan untuk penguasaan lahan skala besar, biasanya terkait usaha perkebunan, dan hal itu bisa dipastikan bukan oleh peladang untuk tanaman pangan yang luasnya rata-rata hanya 2 hektar.
Studi ilmiah juga menunjukkan teknik pertanian gilir balik ini lebih ramah lingkungan diabndingkan semua jenis pembukaan hutan untuk penggunaan lahan lain di Kalimantan, termasuk untuk perkebunan monokultur kelapa sawit dan karet (Nicolas Labrière, dkk. dalam PLOS ONE 2015).
Emisi metana
Ketika petani tradisional dilarang membuka ladang, pemerintah membuat Proyek Lumbung Pangan atau Food Estate di Kalteng. Proyek ini dilakukan dengan intensifikasi sawah yang sudah ada dan ekstensifikasi atau pencetakan sawah baru di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau. Sementara di Gunung Mas, hutan dibuka untuk ditanami singkong.
Jika dalih pelarangan berladang untuk mengurangi emisi, pembongkaran lahan gambut di Kapuas dan Pulang Pisau untuk mencetak sawah, yang sebagian merupakan eks proyek Pengolahan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar, jelas melepaskan banyak emisi karbon. Hal serupa dengan pembukaan hutan untuk lahan singkong di Gunung Mas.
Sejumlah studi juga menunjukkan,teknik bercocok tanam padi di sawah juga penyumbang utama emisi metana, gas rumah kaca paling merusak. Secara global, padi sawah menghasilkan 12 persen emisi metana global dan 1,5 persen dari total emisi gas rumah kaca.
Laporan Xiaoming Xu dari University of Illinois dan tim (Nature Food, 2021) menunjukkan, padi sawah merupakan kontributor emisi tertinggi kedua di antara semua produk pertanian setelah peternakan sapi. Padi sawah mengeluarkan sekitar 30 kilogram emisi untuk memproduksi 1 kg beras.
Tingginya emisi dari padi ini karena adanya bakteri penghasil metana di dalam kondisi anaerobik di sawah yang tergenang. Emisi dari budidaya padi sawah yang intensif juga bisa berasal dari pupuk kimia, yang berbahan dasar minyak bumi.
Jika dihitung secara adil, emisi yang dikeluarkan dari perladang tradisional Dayak bisa jadi lebih rendah dibandingkan budidaya padi sawah. Apalagi, jika dibandingkan gaya hidup populasi di perkotaan, jejak karbon petani tradisional per kapita dipastikan lebih rendah.
Tradisi berladang tradisional di Kalimantan sudah dipraktikkan turun-temurun selama ribuan tahun. Jika hal itu dianggap sebagai sumber kerusakan lingkungan, hutan di Kalimantan pasti sudah habis sejak lama. Faktanya, deforestasi dan kehancuran lahan gambut baru terjadi beberapa dekade terakhir, terutama setelah proyek gagal PLG Satu Juta Hektar pada tahun 1995/1996.
Jika dihitung secara adil, emisi yang dikeluarkan dari perladang tradisional Dayak bisa jadi lebih rendah dibandingkan budidaya padi sawah.
Membuka lahan dengan cara membakar hutan memang dilarang undang-undang. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 angka 24 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengubah Pasal 69 Ayat (1) huruf h UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Namun, ketentuan ini dikecualikanbagi masyarakat yang melakukan pembukaan lahan tersebut dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
Kearifan lokal yang dimaksud ialah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Ini artinya, membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan persyaratan tertentu.
Jadi, apa kemudian alasan pelarangan berladang tradisional di Kalteng? Kalaupun membuka ladang tradisional tetap dilarang, petani harus diberikan jalan keluar. Misalnya, dengan pengelolaan lahan tanpa bakar melalui program Desa Peduli Gambut (DPG) yang tidak terlihat gaungnya di tingkat tapak.
Para petani di Kapuas dan Pulang Pisau sebenarnya telah mencoba mempraktikkan menanam tanpa membakar, namun menuai kegagalan, dan akhirnya menyerah. Serangkaian laporan Kompas pada awal September 2022 menunjukkan, perladangan tradisional di wilayah Kalteng, seperti Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau, dan Gunung Mas, telah terhenti. Hal ini kemudian berdampak melemahkan ketahanan pangan masyarakat, memicu pemiskinan struktural, bahkan meningkatkan pernikahan dini di pedesaan.
Efek bola salju dari kebijakan ini juga meluas. Para keluarga petani kemudian beralih menjadi penambang emas ilegal yang menjamur di sepanjang sungai dan kawasan hulu. Ketidakadilan iklim itu telah memicu bencana baru bagi lingkungan, selain bencana sosial.