Pangan Liar, Lumbung Dayak di Alam
Pengetahuan lokal masyarakat Dayak tentang keanekagaman pangan, termasuk pangan liar, sangat penting untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Masyarakat tradisional di Kalimantan Tengah secara turun-temurun telah memanfaatkan pangan liar sebagai komponen penting diet mereka, selain pangan dari budidaya. Sebagian pangan liar ini terbukti memiliki komponen gizi mikro yang baik dan memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim sehingga bisa memperkuat ketahanan pangan ke depan.
Pemetaan di tiga desa di Kalimantan Tengah pada 15-25 Juli 2022 menemukan beragam sumber pangan liar. Tiga desa tersebut adalah Kalumpang di Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas; Pilang di Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, dan Tewai Baru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas.
Untuk karbohidrat kompleks nonberas, masyarakat di Kalumpang, membudidayakan 16 jenis tanaman umbi. Namun, mereka juga mengenal 4 jenis umbi liar. Masyarakat Desa Pilang juga membudidayakan 11 jenis umbi dan mengenal 4 jenis umbi liar. Umbi liar di Pilang ini di antaranya saing atau gadung, uwi baputi (putih), uwiungu, dan uwi kuning. Sementara itu, di Kalumpang, selain gadung, ada uwi tunjuk, uwi sumau dan uwi larut.
Menurut Heri Pato (43), petani di Kalumpang, umbi-umbian yang tumbuh liar di hutan ini masih dikonsumsi, terutama untuk mengurangi ketergantungan pada beras. ”Biasanya direbus atau dikukus. Namun, untuk uwi gadung harus direndam air dulu untuk menghilangkan racunnya,” ujarnya.
Baca juga : Keanekaragaman Hayati yang Menopang Gizi Masyarakat
Khusus di kawasan gambut seperti Kalumpang dan Pilang juga terdapat tanaman sagu rumbia (Nypa fruticans Wurmb) atau dikenal sebagai hambiye, yang umumnya tumbuh di tepi sungai atau rawa-rawa. Berlimpahnya sagu rumbia di dua desa ini bisa memperkuat cadangan pangan lokal, mengingat tanaman endemis ini memiliki kemampuan adaptasi sangat baik di lingkungan tropis dan tidak dipengaruhi oleh musim ataupun perubahan iklim.
Sejumlah penelitian telah membuktikan pohon sagu memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap kondisi ekstrem, seperti banjir, kekeringan, dan angin kencang. Sebuah studi kasus yang dilakukan di Filipina menunjukkan bahwa tanaman sagu hanya mengalami sedikit kerusakan, yaitu hanya 12 persen saat terjadi topan Haiyan pada 2013 (Nishiyama S, 2014).
Sistem perakaran serabutnya yang berserat juga mampu memerangkap muatan lumpur dan menghilangkan polutan, kontaminan feses, hingga logam berat. Bahkan, tanaman sagu diketahui bisa tumbuh di daerah perairan payau dekat dengan pantai dan dianggap toleran terhadap garam (Yamamoto, 1996; Flach, 1977).
Umbi-umbian yang tumbuh liar di hutan ini masih dikonsumsi, terutama untuk mengurangi ketergantungan pada beras. Biasanya direbus atau dikukus. Namun untuk uwi gadung harus direndam air dulu untuk menghilangkan racunnya.
Saat ini pati sagu ini kebanyakan diambil untuk pakan ternak, tetapi dulu biasa dikonsumsi masyarakat. ”Biasanya dibuat bubur hambiye atau kalau dimakan kering dan bisa disimpan lama menjadi kupuk (pati sagu sangrai dicampur kelapa), tetapi sekarang sudah jarang yang membuat," kata Lamsi (68), perempuan peladang dari Kalumpang.
Zat gizi mikro
Untuk sayur dan buah-buahan, masyarakat Dayak Ngaju juga banyak tergantung pada tanaman liar. Masyarakat di Kalumpang, misalnya, memiliki 31 jenis sumber sayur dari dedaunan yang dibudidaya dan 10 sayur dedaunan liar. Sebagian sayur budidaya ini juga dipetik dari suluh atau pucuk dedaunan tanaman keras, misalnya suluh jambu mete dan suluh kopi.
Beberapa jenis sayur liar itu di antaranya bajei atau pakis hijau, kalakai atau pakis merah, dan daun karamunting. Selain dari dedaunan, mereka juga mengonsumsi sayur dari singkah atau umbut, yaitu batang tanaman yang masih muda.
Di Kalumpang ada empat singkah yang dibudidaya, termasuk singkah pisang, lengkuas, kujang atau talas, dan enyuh atau kelapa. Sementara singkah tanaman liar yang bisa dikonsumsi ada 14, termasuk di antaranya singkah uhut (rotan) dan hambiye (rumbia atau sagu).
Baca juga : Robohnya Lumbung Pangan Dayak Kalimantan
Sebagian warga mengetahui manfaat spesifik sebagian pangan liar ini untuk kesehatan. Salah satunya kelakai yang merupakan sumber sayur favorit masyarakat Dayak Ngaju. ”Tanaman kelakai (pakis merah) dianjurkan untuk dikonsumsi perempuan habis melahirkan, bisa menambah darah dan menambah air susu ibu,” kata Lamsi.
Fakta nutrisi dari berbagai kajian mendukung pengetahuan lokal ini. Misalnya, kajian Daisy Irawan dan tim dalam di jurnal Tropics (2016) menyebutkan, analisis nutrisi kelakai kandungan berbagai gizi, di antaranya zat besi atau Fe (41,53 ppm/bagian per juta), Cu (4,52 ppm), vitamin C (15,41 mikrogram/100gram), protein (2,36 persen), beta karoten (66,99 ppm), dan asam folat (11,30 ppm).
Sementara untuk buah-buahan, di Kalumpang ditemukan 24 jenis liar dan 61 budidaya. Masyarakat Desa Pilang memiliki 67 buah budidaya dan 32 buah liar. Adapun di Tewai Baru terdapat 70 buah budidaya dan 15 buah liar. Sekalipun merupakan budidaya, umumnya buah-buahan ini ditanam di hutan sekunder atau tersier dan sangat terbatas yang ditanam di sekitar perkampungan.
Para ilmuwan dari Royal Botanic Gardens dan Imperial College London dalam laporannya di jurnal Nature Plants pada Kamis (24/2/2022) telah mengidentifikasi lebih dari 1.000 tanaman yang selama ini jarang dimanfaatkan, tetapi ternyata kaya zat gizi mikro, salah satunya Durio kutejensis atau durian liar dari Kalimantan. Keberadaan Durio kutejensis atau biasa disebut lai atau pakin yang tidak berbau menyengat ini ternyata kayaserat, kalium, vitamin C, dan vitaminB kompleks.
Untuk pemenuhan kebutuhan protein, warga Desa Kalumpang dan Pilang mengandalkan ikan sungai. Di Pilang setidaknya terdapat 54 jenis ikan sungai, 5 jenis udang, 2 jenis kepiting, dan 2 jenis kerang. Sementara di Kalumpang terdapat 70 jenis ikan sungai, 5 jenis udang, 2 jenis kepiting, dan 3 jenis kerang.
Sumber protein lain yang juga menjadi andalan warga adalah aneka jenis ulat atau jamur. Di ketiga desa ini masing-masing bisa ditemukan 12 jenis jamur yang biasa bisa ditemukan tumbuh liar di kebun atau hutan.
Selain itu, ketiga warga desa ini juga mendapatkan tambahan protein dari hewan buruan, di Kalumpang ada 38 jenis, di Pilang 35 jenis, dan Tewai Baru 41 jenis. Sekalipun mereka mengonsumsi hewan liar, namun masyarakat di tiga desa ini juga memiliki pantangan berburu dan mengonsumsi beberapa jenis hewan, baik karena alasan adat maupun kepercayaan.
Beberapa binatang yang dilindungi masyarakat di tiga desa ini di antaranya orangutan, bekantan, beruang madu, kucing merah, burung elang, dan burung enggang. Secara tidak langsung, tabu atau pantangan ini berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem.
Pangan berkualitas
Ahli gizi dari IPB University, Drajat Martianto, mengatakan, pengetahuan lokal masyarakat tentang keanekaragaman sumber pangan, termasuk pangan liar ini sangat penting dalam menopang kebutuhan gizi masyarakat. ”Masalah pangan terbesar kita saat ini sebenarnya bukan kekurangan kalori, secara umum ini sekarang sudah tercukupi. Tetapi, yang terutama harus diperbaiki adalah kualitas pangan,” ujarnya.
Buruknya kualitas pangan di Indonesia tecermin dari triple burden of malnutrition (TBM) atau tiga beban malnutrisi, yaitu adanya masalah kelebihan berat badan atau obesitas, kekurangan gizi atau wasting,termasuk stunting, dan defisiensi mikronutrien. Mengacu pada data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, ibu hamil dengan anemia di Indonesia 48,9 persen, meningkat dibandingkan data tahun 2013 sebesar 37,1 persen.
Padahal, ibu hamil yang mengalami anemia berisiko lebih tinggi melahirkan bayi dengan defisiensi besi sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan bayi. ”Sayuran, buah, kacang, dan protein hewani seperti daging dan ikan adalah komponen terpenting kualitas pangan, termasuk mencegah stunting. Jangan hanya memikirkan pemenuhan karbohidrat, apalagi hanya dari beras, apalagi sampai menggusur keanekaragaman pangan masyarakat,” tuturnya.
Stunting atau tengkes yang bisa berdampak permanen bagi masa depan anak telah menjadi masalah besar di Indonesia, yang menurut hasil Survei Status Gizi Indonesia pada 2022 masih sebesar 24,4 persen. Angka ini masih di atas ambang yang ditoleransi Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO sebesar 20 persen. Tengkes merupakan gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis.
Sumber zat gizi mikro seperti vitamin B kompleks yang banyak terdapat beragam pangan lokal bisa jadi modal penting untuk menghadapi masalah ini. Oleh karena itu, keanekaragaman sumber pangan, termasuk pangan liar, yang telah menjadi bagian dari diet masyarakat Dayak seharusnya bisa mendukung upaya pemenuhan pangan ini sehingga harus diperkuat, di antaranya dengan menjaga kelestarian lingkungan.
Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund - Pulitzer Center