Keanekaragaman Hayati yang Menopang Gizi Masyarakat
Berhentinya kegiatan berladang menyebabkan menghilangnya beragam sumber pangan lokal. Hal ini pada akhirnya menurunkan keberagaman pangan yang dibutuhkan untuk kesehatan.
Oleh
AHMAD ARIF, DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·6 menit baca
Makan makanan yang beragam dan seimbang merupakan kunci bagi diet sehat. Di tiga desa di komunitas Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah, teridentifikasi ratusan sumber pangan lokal, tetapi banyak yang hilang sejak berladang dilarang pada 2015. Proyek lumbung pangan yang bersifat monokultur bakal mempercepat hilangnya keragaman sumber pangan ini.
Identifikasi keberagaman pangan lokal Dayak Ngaju ini dilakukan dengan mewawancarai petani dan tokoh adat di tiga desa yang menjadi bagian proyek food estate (lumbung pangan), yaitu Desa Kalumpang, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas; Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau; dan Desa Tewai Baru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas. Wawancara dilakukan terpisah pada 15-25 Juli 2022.
Di Kapuas, informasi ini didapatkan dari Mantir Adat Kalumpang, Sanyo; Nenek Lamsi (68); dan Heri Pato (53), petani. Di Desa Pulang Pisau, informasi didapatkan dari tokoh adat Pilang, Iber Jamal (81), dan Ketua Kelompok Tani Sei Hanau, Ardianto (45).
Adapun di Gunung Mas, informasi didapatkan dari petani yang juga Sekretaris Desa Tewai Baru, Alung (57), dan petani yang juga Ketua Majelis Hindu Kaharingan Tewai Baru, Rangkap (52). Hasil wawancara kemudian kami konfirmasikan kepada antropolog Dayak Kalimantan Tengah, Marko Mahin.
Kalumpang berada di tepi Sungai Kapuas, didominasi rawa gambut dengan ketinggian lahan 0-8 meter di atas permukaan laut (mdpl). Pilang berada di tepi Sungai Kahayan dengan topografi 0-50 mdpl.
Seperti Kalumpang, sebagian besar kawasan Pilang juga rawa gambut. Sementara Desa Tewai Baru berada di bagian hulu Sungai Kahayan, berketinggian 50-100 mdpl dengan kondisi tanah umumnya berpasir.
Sebelum tahun 2015, masyarakat di tiga desa ini mayoritas berladang dengan tanaman utama padi lokal. Tewai Baru memiliki keberagaman padi lokal terbanyak, mencapai 14 varietas. Kalumpang memiliki 13 varietas padi dan Pilang tujuh varietas padi. Sebagian besar varietas di tiga desa ini memiliki kemiripan walaupun penamaannya berbeda.
Secara garis besar ada dua jenis padi yang dibudidayakan, yaitu beras dan ketan. Rata-rata satu keluarga peladang bisa menanam 5-10 varietas padi, dengan satu atau dua padi utama yang disebut upun benyi.
Benih padi utama ini biasanya ditanam persis di tengah ladang, dikelilingi beberapa jenis padi lain. Bagian paling luar biasanya ditanami padi pulut atau ketan. Sebagian peladang juga menanam jagung atau bahkan tebu di pinggir lahan. Dulu, mereka juga menanam jewawut dan jali-jali yang dianggap bisa jadi pelindung padi.
”Tanaman-tamanan pelindung itu untuk memancing dan menahan hama, seperti tikus, atau burung agar tidak memakan padi yang di tengah,” kata Sanyo.
Benih padi utama biasanya diwariskan secara turun-temurun dan harus selalu ditanam setiap musim agar tidak hilang. Setiap keluarga memiliki padi utama, misalnya keluarga Sanyo menjadikan gragai yang berasnya harum sebagai padi utama. Adapun beberapa varietas padi yang lain bisa berganti.
Marko Mahin mengatakan, orang Dayak sangat hormat pada benih utama ini. ”Benih utama itu akan dijaga mati-matian. Kalau satu musim tidak bisa tanam, petani akan menitipkan benih itu ke kerabatnya agar tidak punah, dan setelah dia bisa menanam kembali akan meminta benihnya lagi,” katanya.
Sekalipun setiap keluarga memiliki padi utama yang menjadi sumber makan sehari-hari, bukan berarti mereka akan mengabaikan beragam padi yang lain, termasuk jenis padi ketan yang juga harus ada walaupun hamparan tanamnya relatif terbatas. ”Padi ketan itu wajib ditanam di ladang, sebagai syarat adat,” kata Marko.
Kemandirian dan keberagaman diet yang tercukupi dengan berladang masyarakat Dayak Ngaju, seperti dikisahkan Alung dan para petani lain, kini tinggal cerita karena larangan berladang sejak 2015.
Secara fungsional, keberagaman varietas padi yang ditanam di tiap keluarga ini juga merupakan upaya mitigasi. Jika ada satu jenis yang gagal, mereka masih bisa berharap dari yang lain. Beberapa varietas padi lokal ini diketahui memiliki karakteristik berbeda. Padi siam, misalnya, memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik di lahan pasang surut.
”Sekarang semua jenis padi lokal di desa kami sudah hilang karena tidak ada lagi yang tanam,” kata Sanyo. Situasi yang sama disampaikan Alung dari Gunung Mas.
Lumbung biodiversitas
Sekalipun padi menjadi tanaman utama yang menopang kebutuhan pangan masyarakat, sistem perladangan Dayak pada dasarnya berupa budidaya campuran. Para peladang biasa menanam beragam jenis sayuran dan tanaman bumbu di ladang mereka. Identifikasi di tiga desa menemukan, mereka juga membudidayakan beragam jenis umbi-umbian dan pisang.
Di Desa Tewai Baru dibudidayakan 16 jenis tanaman umbi. Di Kalumpang, selain dibudayakan 16 jenis tanaman umbi, juga dikenal empat jenis umbi liar. Adapun warga Desa Pilang membudidayakan 11 jenis umbi dan mengonsumsi empat jenis umbi liar.
Sementara itu, ragam pisang yang ditanam di Desa Kalumpang dan Pilang masing-masing sebanyak 14 jenis. Yang menjadi favorit adalah pisang talas, mahuli, dan pulau pinang. Lalu, di Desa Tewai Baru terdapat 11 pisang budidaya.
Selain itu, mereka juga membudidayakan beragam sayuran, seperti terong, labu putih, timun suri, sayur katu, bawang dayak (Eleutherine bulbosa), cabai, serta empon-empon untuk bumbu. Di sekitar ladang, yang berdekatan dengan hutan, biasanya juga terdapat aneka buah-buahan, baik yang dibudidayakan maupun buah liar.
Di Kalumpang, misalnya, ditemukan 24 jenis buah liar dan 61 buah budidaya. Masyarakat Desa Pilang memiliki 67 buah budidaya dan 32 buah liar. Sementara di Tewai Baru terdapat 70 buah budidaya dan 15 buah liar.
Tak hanya itu, di ladang juga biasanya terdapat beje, yaitu kolam alami yang terbentuk oleh pasang surut sungai. Saat surut banyak ikan yang terjebak sehingga bisa membantu menopang kebutuhan protein.
”Ladang adalah lumbung pangan segar yang menyediakan seluruh kebutuhan makan. Itulah mengapa kami bisa membawa seluruh anggota keluarga selama berhari-hari di ladang karena semua kebutuhan sudah ada. Tinggal membawa garam,” kata Alung.
Meski demikian, kemandirian dan keberagaman diet yang tercukupi dengan berladang masyarakat Dayak Ngaju, seperti dikisahkan Alung dan para petani lain, kini tinggal cerita karena larangan berladang sejak 2015. Ladang mereka telah dibiarkan telantar dan para petani Dayak kini bergantung pada makanan yang dibeli dari para pedagang sayur keliling atau dari pasar. Pangan instan dan yang diproses mulai masuk ke desa-desa menggantikan beragam pangan segar.
Padahal, banyak studi menunjukkan, makan makanan yang beragam merupakan kunci bagi kesehatan. Studi ahli nutrisi Ty Bel dari University of California dan tim di jurnal Maternal & Child Nutrition (2018) menemukan, masalah utama tingginya prevalensi tengkes pada anak balita, mencapai 29,9 persen pada 2018, dan anemia ibu hamil yang mencapai 48,9 persen pada tahun yang sama adalah ketergantungan ekstrem pada nasi dan rendahnya asupan makanan bergizi, seperti buah-buahan dan sayuran.
Menurut penulis yang sama, orang Indonesia harus mengganti nasi dengan lebih banyak variasi makanan pokok, meningkatkan asupan buah-buahan dan sayuran tradisional, meningkatkan konsumsi protein dan lemak—terutama pada mereka yang kurang gizi, serta mengurangi makanan olahan yang kaya akan gula dan minyak tambahan.
Indonesia kaya akan beragam sumber pangan dan masyarakat tradisionalnya, seperti di Dayak Ngaju, memiliki pengetahuan lokal untuk membudidayakan dan mengonsumsi beragam makanan. Namun, kebijakan negara yang obsesif pada penyeragaman dan komodifikasi pangan telah menghancurkan bukan hanya kemandirian pangan, tetapi juga kesehatan dan harapan hidup warganya sendiri.
Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center