RUU Sisdiknas menjadi payung hukum yang penting untuk penyelenggaraan pendidikan nasional yang semakin berkualitas dan adil di masa depan. Publik mulai mengawal dan mengkaji pembahasan RUU Sisdiknas.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Publik dari berbagai pemangku kepentingan pendidikan mengawal dan mengkaji Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional atau RUU Sisdiknas yang sudah diusulkan pemerintah kepada Badan Legislasi DPR. Meskipun mengakui ada sejumlah perubahan yang lebih baik dalam RUU Sisdknas, masih banyak ditemui kelemahan. Karena itulah, sejumlah organisasi dan pemerhati pendidikan mendesak pemerintah dan DPR tidak tergesa-gesa mengesahkan RUU menjadi UU Sisdiknas tanpa pelibatan publik yang luas dan bermakna.
Badan Legislasi (Baleg) DPR di Jakarta, Senin (29/8/2022), telah menggelar rapat pertama penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas Tahun 2023. Adapun RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, menjadi salah satu RUU usulan pemerintah untuk perubahan Prolgenas Prioritas Tahun 2022.
Terkait usulan RUU Sisdiknas, sejumlah anggota Baleg DPR menyatakan keberatan. Anggota Baleg DPR Zainudddin Maliki meminta RUU Sisdiknas tidak dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2023. Alasannya, masih banyak substansi yang perlu didiskusikan lebih mendalam.
”Karena tahun 2023 adalah tahun politik, supaya kita lebih jernih menghindari situasi menyebabkan kita tidak bisa berpikir jernih untuk mendapatkan RUU Sisdiknas lebih baik. Ini perlu diperhatikan,” kata Zainuddin seperti dikutip dari laman dpr.go.id.
Hal senada disampaikan Anggota Baleg Taufik Basari. Menurut dia, tidak perlu terburu-buru membahas RUU Sisdiknas yang menyatukan tiga UU, yakni UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, serta UU Pendidikan Tinggi. Sebab, pendidikan adalah tujuan negara sehingga perlu disiapkan dulu arah pendidikan nasional.
Pengawalan terhadap RUU Sisdiknas yang draf dan naskah akademiknya sudah dibuka Kemendikbudristek kepada publik sejak Agustus, dengan tegas juga dinyatakan Aliansi Peduli Pendidikan. Aliansi yang terdiri dari sejumlah organisasi pendidikan dan aktivis pendidikan ini sepakat menyampaikan permohonan penundaan pengesahan RUU Sisdiknas masuk ke dalam Prolegnas Prioritas Perubahan 2022.
Aliansi Peduli Pendidikan, antara lain diikuti Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Cecep Darmawan dan Said Hamid Hasan, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta Suyanto, Ahmad Rizali dari NU Circle, Henny Supolo dari Yayasan Cahaya Guru, Indra Charismaidji dari Vox Point Indonesia, dan pengamat pendidikan Darmaningtyas, menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, DPR, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Mendikbudristek, serta guru, dosen, dan insan pemerhati pendidikan.
Aliansi berharap RUU Sisdiknas yang akan mengatur nasib bangsa dan negara disusun secara cermat dengan melibatkan banyak pihak dan tidak tergesa-gesa. Kerusakan dalam regulasi pendidikan itu berarti akan timbulnya kerusakan bangsa selama tiga generasi.
Pengintegrasian tidak jelas
Pandangan terbuka disampaikan Aliansi Peduli Pendidikan yang menilai RUU Sisdiknas 2022 setara dengan omnibus law bidang Pendidikan Nasional karena menggabungkan tiga UU, tetapi pengintegrasiannya tidak tampak jelas. Ketika diimplementasikan, RUU ini dinilai akan mengalami persoalan di lapangan.
Banyak hal yang diatur dalam UU Guru dan Dosen maupun dalam UU Pendidikan Tinggi tidak termuat di dalam RUU Sisdiknas ini. Pengintegrasian dan harmonisasi dengan 23 UU yang lain juga dianggap belum jelas.
”RUU Sisdiknas ini cacat unsur legislasi formil karena penyusunan RUU Sisdiknas seperti hantu, sebab tidak transparan, terburu-buru, dan dikerjakan di ruang gelap serta tidak melibatkan para ahli dari berbagai bidang. Lebih parah lagi, minimnya kolaborasi yang baik antara kementerian dan para penyelenggara pendidikan di lapangan dari Sabang sampai Merauke, baik di kota maupun daerah terpencil,” kata Darmaningtyas.
Naskah akademik dan draf RUU Sisdiknas dinilai tidak menunjukkan pemikiran dan konsep besar yang visioner, tetapi hanya mengabdi pada kepentingan kelompok tertentu.(Darmaningtyas)
Naskah akademik dan draf RUU Sisdiknas dinilai tidak menunjukkan pemikiran dan konsep besar yang visioner, tetapi hanya mengabdi pada kepentingan kelompok tertentu. RUU seperti ini akan menjauh dari tercapainya tujuan pendidikan nasional. Selain itu, belum tersedia road map, cetak biru atau, grand design pendidikan nasional yang merupakan prasyarat untuk dapat menyusun RUU Omnibus Law Sisdiknas yang efisien dan berkelanjutan (sustainable).
RUU Sisdiknas ini akan mendorong percepatan alih status perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi PTN badan hukum (PTN BH). Padahal dalam praktiknya, PTN BH yang ada saat ini cenderung komersial sehingga makin sulit diakses oleh masyarakat kebanyakan.
Tidak ada sikap yang jelas dari pemerintah mengenai wajib belajar itu gratis atau membayar. Selain itu, dihilangkan pula peran masyarakat melalui Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Secara terpisah, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Danang Hidayatullah menyatakan siap mengawal RUU Sisdiknas untuk mewujudkan janji pemerintah dalam memajukan kesejahteraan dan kualitas guru yang tertunda belasan tahun.
IGI sebagai organisasi profesi guru telah menelaah naskah akademik beserta naskah RUU Sisdiknas, khususnya pada Pasal 104 sampai dengan Pasal 112 terkait pendidik atau guru.
Menurut Danang, di dalam naskah RUU Sisdiknas ada beberapa hal positif yang menjadi energi baru bagi guru. Misalnya, dimasukkannya pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai salah satu jenjang pendidikan.
Hal positif lain adalah tentang karier guru. Namun, perlu ada pengaturan lebih lanjut mengenai hal tersebut.
”Di dalam naskah akademik RUU Sisdiknas juga dijelaskan upaya dan niat baik pemerintah terkait pemisahan pengaturan antara sertifikasi dan penghasilan guru. Namun, niat baik tersebut tidak tertuang dalam batang tubuh RUU Sisdiknas sehingga memunculkan berbagai persepsi di kalangan guru dan penggiat pendidikan. Salah satunya adalah terkait hilangnya klausul tunjangan profesi guru. Dalam tataran implementasi, yang menjadi dasar kebijakan adalah UU Sisdiknas, bukan naskah akademik,” ujar Danang.
Hapuskan dikotomi guru
Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Tety Sulastri Lokolo mengatakan, di era merdeka belajar saat ini, sangat penting adanya ruang inovasi dan kreativitas dalam sistem pendidikan. Karena itu, hal tersebut harus terkandung jelas di RUU Sisdiknas dan setiap pasalnya tidak boleh ada yang mengabaikan hak-hak guru dan hak-hak pelajar. Guru yang sudah merdeka dengan tingkat kesejahteraan yang layak akan berdampak pada peningkatan kualitas pelajar sebagai generasi bangsa yang berkarakter Pancasila.
Menurut Tety, RUU Sisdiknas jika disahkan menjadi UU bersifat omnibus law yang akan menghilangkan hak-hak guru yang selama ini sudah jelas diakomodasikan UU Guru dan Dosen. ”Dalam RUU Sisdiknas tidak secara jelas mengatur hak-hak guru. Dari sini pemerintah dengan jelas mempertahankan dikotomi guru aparatur sipil negara atau ASN dan guru non-ASN atau swasta,” kata Tuty.
Padahal, guru di satuan pendidikan apa pun punya kewajiban sama dalam mendidik anak-anak bangsa. Mereka memperkuat karakter dan life skill warga negera, bukan produk berupa barang dan jasa.
Tuty melanjutkan, demi kesetaraan guru, FGII memandang adanya pengaturan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan yang tertuang secara jelas dalam RUU Sisdiknas dengan memuat ada klausul pemisahan tanggung jawab guru sepenuhnya oleh negara atau pemerintah. Adapun mengenai sarana dan prasarana pendidikan merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.
Disayangkan juga RUU Sisdiknas hanya mengatur ketersediaan daya tampung pendidikan profesi guru, bukan ketersediaan guru untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. FGII berkeyakinan, jika ketersediaan guru tidak dijamin pemerintah, permasalahan alokasi, status, dan kesejahteraan guru tidak akan selesai.
Untuk itu, pembahasan RUU harus dijadikan mementum pemerintah untuk mengambil tanggung jawab sepenuhnya terhadap keberadaan guru. Dengan demikian, ke depan tidak akan ada keragaman status guru.
Di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, seharusnya hanya ada guru negara. Negara akan lebih mudah mengalokasikan dan melakukan pemerataan kualitas guru karena guru milik negara.
”Melalui RUU Sisdiknas, pemerintah harus mengembalikan keberadaan guru dalam tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab sekolah, tidak mempertegas dikotomi status guru. Karena, mendapatkan pendidikan adalah hak warga negara dan kewajiban menyediakan pendidikan yang layak dan berkualitas berada pada negara,” tegas Tuty.
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek, Anindito Aditomo mengatakan, Kemendikbudristek sudah meluncurkan laman resmi yang bisa diakses publik di alamat sisdiknas.kemdikbud.go.id. Laman ini untuk memberi informasi terkini dan tepercaya tentang perkembangan pembentukan RUU Sisdiknas.
Kemendikbudristek mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan RUU Sisdiknas dengan mempelajari naskah akademik RUU Sisdiknas dan memberi masukan.
RUU Sisdiknas merupakan integrasi dari UU Sisdiknas Tahun 2003, UU Guru dan Dosen, serta UU Pendidikan Tinggi yang dijadikan satu UU. Usulan perubahan RUU Sisdiknas ini untuk melaksanakan amanah UUD 1945 tentang satu sistem pendidikan dan agar pengaturan di tingkat UU tidak tumpang tindih.