Mendamba Kuliah di PTN Lewat Berbagai Jalur
Berkuliah ke perguruan tinggi bermutu dan terjangkau masih jadi dambaan anak muda. Seleksi masuknya perlu dijaga agar transparan dan akuntabel.
Pendidikan masih diyakini dapat menjadi pengungkit kelas sosial masyarakat. Meskipun melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi masih jadi ”kemewahan” bagi sebagian besar lulusan SMA/SMK sederajat di negeri ini, mimpi untuk bisa menjadi mahasiswa di jenjang sarjana terus dipelihara. Tujuan utamanya membidik perguruan tinggi negeri dengan keyakinan kuliah di perguruan tinggi negeri mendapatkan kesempatan pendidikan berkualitas dengan harga yang terjangkau.
Meningkatkan jumlah anak muda yang bisa mengenyam pendidikan tinggi juga terbukti sebagai investasi negara untuk mencetak sumber daya mansuia (SDM) yang berdaya saing tinggi. Di negara lain, jumlah pemuda yang diharapkan bisa kuliah di jenjang pendidikan tinggi, baik yang akademik maupun vokasi, juga terus digenjot. Namun, sejumlah negara lebih unggul. Sesuai data Bank Dunia tahun 2020, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Singapura mencapai 91 persen, Thailand 49 persen, Malaysia 43 persen, dan Indonesia 36,16 persen.
Menurut pemaparan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim saat rapat dengan Komisi X DPR di Jakarta, Selasa (23/8/2022), pada 2021 APK pendidikan tinggi 31,19 persen dari target 34,56 persen. Padahal, dalam Merdeka Belajar terdapat program-program untuk pendidikan tinggi, seperti Kampus Merdeka, transformasi dana pemerintah untuk pendidikan tinggi, Kartu Indonesia Pintar (KIP) Merdeka, dan program perluasan beasiswa LPDP.
Di tengah masih elitisnya pendidikan tinggi bagi sebagian besar anak bangsa, tiba-tiba Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof Karomani. Ia diduga terlibat suap penerimaan mahasiswa baru (PMB) melalui jalur mandiri yang memang berbiaya tinggi.
Baca Juga: Meski Mahal, Kuliah Tetap jadi Pilihan
Nadiem kemudian menindaklanjutinya dengan menunjuk salah seorang pejabat eselon 2 Kemdikbudristek untuk menjadi pelaksana tugas (Plt) Rektor Unila sampai terpilih Rektor Unila baru. Selain itu, memilih pihak dari luar Unila untuk memastikan investigas internal berjalan baik karena tidak ada konflik kepentingan. Penanganan hukum terhadap pimpinan Unila yang diduga korupsi juga tetap berjalan.
”Ke depan kami akan mulai investigasi di luar Unila bagaimana cara-cara sistemik untuk mengeliminasi atau meminimalisir kejadian seperti ini yang sangat mengecewakan agar tidak terulang,” ujar Nadiem.
Ia sepakat bahwa transparansi sangat penting dalam PMB. Kemdikbudristek sedang mendiskusikan cara agar proses PMB terang-benderang. ”Kami melakukan brainstorming tentang ini untuk meningkatkan kualitas PMB,” kata Nadiem.
Sementara itu, Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbudristek Nizam mengatakan, kasus yang terjadi di Unila sangat memprihatinkan dan membuat shock. ”Saat kami menata kampus jadi zona integritas dan seleksi PMB untuk transparan dan akuntabel, terjadi kasus Unila. Ini ulah oknum yang mencederai dunia pendidikan tinggi,” katanya.
Menurut Nizam, dengan menugaskan salah satu direktur di Ditjen Dikti sebagai Plt Rektor Unila masalah di Unila akan diusut tuntas demi mengembalikan kepercayaan publik. Majelis Rektor PTN Indonesia (MRPTNI) juga sudah rapat untuk mendalami dan mempelajari agar seleksi PMB bisa terjaga marwahnya.
”Ditjen Dikti juga melakukan pendalaman dengan Inspektorat Jenderal Kemendibudristek agar dari sisi regulasi bisa dikawal lebih baik lagi,” ucap Nizam.
Saat kami menata kampus jadi zona integritas dan seleksi PMB untuk transparan dan akuntabel, terjadi kasus Unila. Ini ulah oknum yang mencederai dunia pendidikan tinggi.
Secara terpisah, Ketua MRPTNI Jamal Wiwoho menyampaikan, para rektor pimpinan PTN meyakini sistem PMB, termasuk jalur seleksi mandiri, merupakan sistem yang andal, teruji, dan tidak diragukan akuntabiltasnya. Pelaksanaan seleksi mandiri di perguruan tinggi negeri berbasis pertimbangan akademik dengan prinsip tata kelola atau good governance dan akuntabilitas yang tinggi.
Sesuai kemampuan ekonomi
Sesuai ketentuan UU Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012, PMB di PTN ditetapkan melalui tiga jalur. Masyarakat pun dikenalkan dengan pembayaran uang kuliah berdasarkan kondisi ekonomi keluarga. Mahasiswa kaya akan membayar lebih besar dari mahasiswa tidak mampu untuk subsisi silang demi tetap memberikan pendidikan berkualitas.
Seleksi tanpa tes atau jalur prestasi (SNMPTN) dan seleksi dengan ujian tes berbasis komputer (SBMPTN) dilaksanakan secara nasional oleh Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) di bawah MRPTNI. Adapun seleksi mandiri dilakukan setelah seleksi nasional. PTN selain badan hukum diperkenankan mengalokasikan penerimaan melalui jalur mandiri maksimal 30 persen dari kuota penerimaan mahasiswa baru. Adapun untuk PTN badan hukum maksimal 50 persen.
Di jalur mandiri, PTN dapat memungut uang pangkal atau sumbangan pembangunan institusi kepada mahasiswa baru yang diterima yang besarannya bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Meskipun jalur mandiri dikenal masyarakat sebagai jalur bagi calon mahasiswa baru ”berduit”, dalam praktiknya, PTN tetap menerima calon mahasiswa baru dari keluarga tidak mampu di jalur ini. Sebab, tiap PTN ditetapkan wajib untuk menerima mahasiswa berprestasi dari keluarga tidak mampu minimal 20 persen dari daya tampung mahasiswa baru. Mahasiswa tidak mampu ada yang mendapat keringanan uang kuliah atau mendapat beasiswa dan biaya hidup, seperti KIP Kuliah dari Kemdikbudristek atau beasiswa dari pemerintah daerah serta lembaga swasta.
Dugaan suap calon mahasiswa baru lewat jalur mandiri di Unila yang dilakukan pimpinan kampus membuat masyarakat menyoroti keberadaan jalur mandiri. Ada kecurigaan jalur ini menjadi jalan yang direstui pemerintah bagi kampus untuk mendapatkan dana masyarakat ketika kucuran dana pemerintah ke PTN terbatas, sementara target peningkatan kualitas pendidikan termasuk menjadi universitas kelas dunia dibebankan kepada PTN.
Praktisi pendidikan Darmaningtyas yang juga penulis buku Pendidikan Rusak-rusakan dan Melawan Liberalisasi Pendidikan mengatakan, komersialisasi pendidikan memang terjadi di perguruan tinggi. Salah satunya, melegalkan PMB jalur mandiri. ”Sejak awal dirancang, telihat jalur mandiri sebagai media penerimaan mahasiswa baru berdasarkan kemampuan membayar calon mahasiswa. Semakin tinggi kemauan calon mahasiswa untuk membayar, semakin tinggi pula probabilitasnya untuk diterima di PTN tersebut,” kata Darmaningtyas.
Baca Juga: Kasus Suap Rektor Unila Tamparan bagi Dunia Pendidikan Lampung
Namun, anggapan komersialisasi kampus ini ditepis Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan Universitas Gadjah Mada Djagal Wiseso Marseno. Pada Juli lalu, ia mengatakan, sebagai kampus kerakyatan, UGM terus menjaga komitmennya. Sekitar 74 persen mahasiswa UGM saat ini berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi kelas menengah ke bawah. Bahkan, sekitar 30 persen berasal dari keluarga miskin.
Hingga tahun 2021, kata Djagal, jumlah mahasiswa penerima beasiswa dan besaran nominal beasiswa terus meningkat. Beasiswa diwujudkan dalam bantuan uang kuliah, biaya hidup, dan relaksasi uang kuliah. ”Pada 2021, UGM mengelola 190 jenis beasiswa yang bersumber dari 117 mitra dengan nominal mencapai Rp 295 miliar yang disalurkan kepada 19.766 mahasiswa, baik mahasiswa diploma, sarjana, maupun pascasarjana,” kata Djagal.
Perlu dievaluasi
Desakan mengevaluasi jalur mandiri pun menguat. Bahkan, ada yang mendesak agar jalur mandiri dihapuskan. Rektor IPB University Arif Satria mengatakan, jalur masuk seluruh perguruan tinggi di semua PTN pada dasarnya sama, yaitu jalur SNMPTN, SBMPTN, dan jalur mandiri. ”Di IPB, jalur mandiri hanya berkontribusi 20 persen, tetapi sangat penting bagi IPB. Melalui jalur mandiri inilah jalur-jalur talenta tertentu diseleksi,” kata Arif.
Mengevaluasi penyelengaraan PMB bukan hal tabu. Evaluasi yang dilakukan pemerintah selama ini lebih fokus pada jalur seleksi nasional. Pemerintah menjaga agar seleksi nasional dapat dilakukan. Bahkan, di jalur SNMPTN atau jalur prestasi, biayanya gratis karena disubsidi penuh pemerintah, sedangkan jalur SBMPTN atau jalur tes biaya pendaftarannya disubsidi.
Pada 2017, ada evaluasi terhadap jalur SNMPTN atau jalur prestasi akademik/non-akademik. Kuota pernah ditetapkan minimal 50 persen, lalu di tahun 2017 ditetapkan 30 persen. Dalam perkembangannya terus dikurangi sehingga akhirnya ketentuan sekarang minimal 20 persen.
Pengurangan dilakukan berdasarkan kajian. Menurut kajian itu, jika batas minimal ditetapkan di atas 30 persen, mahasiswa dari jalur SNMPTN yang memiliki indeks prestasi kumulatif (IPK) 2,5-4,0 lebih rendah 30-35 persen dari mahasiswa yang diterima lewat jalur tes atau SBMPTN. Selain itu, nilai rapor siswa SMA/SMK yang secara nasional makin tinggi tak tecermin pada hasil ujian nasional yang nilainya lebih rendah.
Peningkatan kuota minimal pun ditingkatkan di jalur tes yang dinilai lebih obyektif. Saat ini, untuk PTN nonbadan hukum ditetapkan kuotanya minimal 40 persen, sedangkan di PTN badan hukum minimal 30 persen.
Bahkan, demi meningkatkan kualitas jalur prestasi, kuota peserta yang ikut ditetapkan berdasarkan akreditasi sekolah. Ada ketentuan pula, siswa yang lolos di jalur prestasi tidak boleh melepaskan pilihannya jika diterima. Ada konsekuensi siswa tersebut ditolak ikut ujian tulis berbasis komputer (UTBK) yang berarti tidak bisa ikut jalur tes. Bahkan, bisa terganjal juga di jalur mandiri karena mulai banyak PTN yang memakai nilai UTBK dalam penerimaan mahasiswa baru di jalur mandiri.
Baca Juga: KPK Temukan Sejumlah Bukti dari Penggeledahan di Rektorat Unila
Jalur nasional sedemikian ketat dikontrol. Sebaliknya, jalur mandiri longgar karena peserta bisa mencoba tes di berbagai PTN selama bisa membayar uang pendaftaran yang besarnya bisa dua kali lipat atau lebih dari jalur tes. Selain itu, peserta harus siap membayar uang pangkal dan uang kuliah yang sudah ditetapkan pimpinan PTN tujuan.
Sejak awal, kuota jalur mandiri ditetapkan maksimal 30 persen untuk semua PTN berstatus satuan kerja, badan layanan umum, ataupun badan hukum. Dalam perjalanannya, kuota itu ditingkatkan menjadi maksimal 50 persen untuk PTN badan hukum.
Kasus di Unila membuka mata semua pihak bahwa penerimaan mahasiswa baru di PTN, terutama jalur mandiri, rawan korupsi dan ketidakdilan. Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mengatakan, pembenahan PMB di PTN ini akan dikawal.
”Di Komisi X ada panitia kerja pendidikan tinggi, nanti sekalian dibahas evaluasi dan perbaikan sistem PMB di PTN, termasuk jalur mandiri,” kata Fikri.