Biaya kuliah yang mahal menghambat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia melanjutkan pendidikan ke universitas. Namun, meneruskan kuliah tetap menjadi pilihan.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, M PUTERI ROSALINA
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS Pembicaraan mengenai biaya kuliah di beberapa akun media sosial Twitter cukup ramai setelah pengumuman penerimaan mahasiswa melalui sistem Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Beberapa pemilik akun Twitter yang lolos SBPMPTN bercerita mengenai kekhawatiran tidak bisa membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) karena faktor ekonomi. Beberapa lagi mengeluhkan tidak lolos seleksi Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-Kuliah) yang akan meringankan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa miskin.
Di sisi lain, bagi yang tidak lolos SBMPTN, mereka dibayangi mimpi buruk tidak bisa melanjutkan kuliah. Bagi mereka, jika harus melalui jalur mandiri perguruan tinggi negeri (PTN), biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan jalur reguler. Selain itu, jika memilih perguruan tinggi swasta (PTS) pun, biayanya sama mahalnya.
Cuitan dari beberapa akun Twitter tersebut mewakili keresahan masyarakat pada tingginya biaya kuliah. Hal yang sama juga ditemukan dalam jajak pendapat Kompas awal Juli lalu.
Sebanyak 62,4 persen masyarakat dari 508 responden menilai, biaya kuliah di PTN cukup mahal. Adapun untuk perguruan tinggi swasta, juga dianggap mahal oleh tiga perempat responden.
Dari hasil perhitungan Kompas rata-rata biaya kuliah tertinggi untuk jalur reguler di 20 PTN dan 10 PTS di Indonesia pada 2022 selama satu semester sekitar Rp 18,7 juta. Jajak pendapat menggolongkan penghasilan menjadi 4 kategori, yakni golongan bawah dengan penghasilan kurang dari 1 juta, golongan menengah bawah (Rp 1-3 juta), golongan menengah atas (Rp 3-7 juta), dan golongan atas (lebih dari Rp 7 juta).
Jika keluarga tidak menyiapkan tabungan pendidikan, masing-masing harus menyisihkan uang per bulan sekitar Rp 3,1 juta untuk membayar uang kuliah satu semester. Golongan ekonomi bawah dan menengah bawah akan sulit menyimpan dana kuliah karena melebihi penghasilannya per bulan.
Sebanyak 62,4 persen masyarakat dari 508 responden menilai, biaya kuliah di PTN cukup mahal. Adapun untuk perguruan tinggi swasta, juga dianggap mahal oleh tiga perempat responden
Golongan menengah atas yang bergaji Rp 7 juta, masih bisa menyisihkan 40 persen penghasilannya per bulan untuk membayar kuliah. Namun bisa jadi proporsi tersebut akan mengganggu pengeluaran keluarga lainnya seperti untuk kesehatan, makan sehari-hari, atau pun biaya transportasi.
Golongan ekonomi atas yang bergaji lebih dari Rp 7 juta yang lebih leluasa untuk membayar rata-rata biaya kuliah satu semester tersebut.
Analisis Kompas juga menemukan, jika orang tua sudah menabung sejak anak lahir, gaji lulusan SMA pun hanya bisa menutup 48,4 persen total biaya kuliah tahun 2022 atau setara membayar 4 semester saja. Adapun keluarga dengan penghasilan lulusan universitas atau mewakili golongan menengah atas, sanggup membayar biaya kuliah anak hingga lulus.
Lebih terjangkau
Meski biaya kuliah dinilai mahal, hampir tiga perempat responden mengandalkan PTN untuk melanjutkan pendidikan. Alasan separuh responden karena biaya kuliah di PTN lebih murah.
Biaya kuliah di PTN mulai tahun 2013 menggunakan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). Besaran UKT ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi masyarakat dalam beberapa kategori. Mulai dari yang terendah, Rp 500.000 hingga tertinggi mencapai puluhan juta.
Jadi dengan nilai UKT per semester minimal Rp 500.000, ada peluang bagi masyarakat bawah untuk kuliah di PTN. Syaratnya, masuk PTN melalu jalur reguler seperti SNMPTN dan SBMPTN.
Di sisi lain, juga ada program Bidikmisi atau yang sekarang menjadi Kartu Indonesia Pintar (KIP)-Kuliah untuk membantu mahasiswa tidak mampu. Seperti Rachel Hosanna (28) yang pernah mendapat Bidikmisi selama kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia tahun 2011-2015 lalu. Menurut Rachel yang sekarang sudah bekerja di sebuah bank swasta, beasiswa itu cukup membantu proses kuliah. Meski demikian, dia harus tetap bekerja menjadi asisten dosen dan guru les privat untuk mencukupi biaya hidup selama 'ngekost'.
Alternatif
Perguruan tinggi swasta bisa menjadi alternatif untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Dari data Statistik Perguruan Tinggi, jumlah PTS tahun 2021 mencapai 3.044 atau hampir 25 kali lipat jumlah PTN yang hanya 122.
PTS menjadi pilihan hampir 14 persen responden. Alasan yang disebut : faktor lokasi (26,5 persen), kualitas PTS lebih bagus (23,5 persen), serta peluang masuk PTS lebih mudah (20,5 persen).
Dari sisi akreditasi, catatan Statistik Pendidikan Tinggi 2020, ada 38 PTS yang memiliki nilai A yang mayoritas berlokasi di Pulau Jawa.
Soal kualitas yang lebih bagus untuk salah satu program studi di PTS inilah yang membuat Lusika (44), warga Semarang, memilih PTS sebagai tempat kuliah anak pertamanya. Setahun yang lalu, anak pertamanya tidak diterima masuk jalur SBMPTN program studi Psikologi di salah satu PTN.
Jika orang tua sudah menabung sejak anak lahir, gaji lulusan SMA pun hanya bisa menutup 48,4 persen total biaya kuliah tahun 2022 atau setara membayar 4 semester saja. Adapun keluarga dengan penghasilan lulusan universitas atau mewakili golongan menengah atas, sanggup membayar biaya kuliah anak hingga lulus
Sebenarnya anak pertama Lusika bisa saja kuliah di PTN dengan mengambil jalur mandiri yang biayanya lebih mahal. Tapi menurut Lusika, biaya PTN jalur mandiri mirip dengan biaya PTS.
“PTN jalur mandiri itu kalau dihitung-hitung ya mirip PTS. Malah karena jalur prestasi, anakku dapat keringanan biaya masuk,” tambahnya lagi.
Sebagai contoh, rata-rata biaya kuliah per semester prodi psikologi jalur ujian mandiri Universitas Diponegoro Rp 4.25 juta Ditambah dengan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) sebesar Rp 30 juta hingga 40 juta. Total yang harus dibayar di awal kuliah sekitar Rp 34 hingga 44,25 juta.
Bandingkan dengan Unika Soegijapranata Semarang. Uang kuliah per semester sekitar Rp 9,2 juta. Kemudian di awal kuliah, mahasiswa wajib membayar Uang Pengembangan Pembangunan (UPP) Rp 27 juta dan siswa berprestasi bisa digratiskan atau mendapat keringanan. Jika dijumlah, total yang harus dibayar saat semester 1, sekitar Rp 34,2 juta.
Melanjutkan
Meski biaya pendidikan tinggi dinilai mahal, tapi 80 persen responden memilih untuk tetap melanjutkan kuliah. Dari angka tersebut, sekitar 40 persen hanya berkuliah saja dan 41,3 persen kuliah sambil bekerja.
Motivasi melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi bukan sekadar untuk mencari penghasilan yang lebih tinggi. Dari hasil jajak pendapat diketahui, hampir 30 persen responden beralasan mencari peluang yang lebih tinggi. Kemudian seperempat lebih terdorong karena ingin meningkatkan soft skill dan 13 persen untuk mengembangkan minat.
Seperti yang dilakukan Shela (22), mahasiswa Komunikasi Universitas Terbuka asal Cileungsi Bogor. Dia memutuskan kuliah, setelah bekerja setahun sebagai pramuniaga toko.
"Tapi karena hanya punya ijazah SMK, hanya bisa menjadi pegawai kontrak selama 2 tahun. Kalau saya punya ijazah S1, saya bisa jadi karyawan tetap dan nanti ke depannya bisa jadi supervisor”, katanya.
Shela tetap bekerja sembari kuliah. Beberapa pekerjaan paruh waktu telah dijalani selama hampir 4 tahun kuliah ini. Dari menjadi pramuniaga, kasir, karyawan taman wisata hiburan, hingga karyawan restoran.
Bukan hanya Shela saja yang kuliah sambil bekerja. Tercatat dari data BPS tahun 2021 ada 25,6 persen mahasiswa yang bekerja. Sebanyak 67,2 persen bekerja di sektor jasa, 19,98 persen di industri, dan 12,8 persen di bidang pertanian.
Persiapan biaya
Biaya kuliah yang dinilai mahal tersebut membuat orangtua menyiapkan dana pendidikan khusus sejak anak masih di pendidikan dasar. Sebanyak 65 persen responden memilih menabung. Sekitar 10 persen berinvestasi melalui reksa dana, properti, ataupun emas.
Asuransi pendidikan menjadi dana pendidikan khusus yang disiapkan hampir 4 persen responden. Ada juga 13,5 persen responden yang memilih untuk menjual asetnya seperti rumah, tanah, atau ternak untuk membiayai kuliah.
Golongan menengah atas dan atas dari hasil jajak pendapat ini mempunyai banyak variasi cara untuk membayar biaya pendidikan tinggi. Sementara golongan bawah dan menengah bawah memilih cara konvensional seperti menabung. Bahkan ada juga sekitar 20 persen responden yang mengaku tidak mempunyai perencanaan keuangan khusus untuk dana pendidikan tinggi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyarankan keluarga sebaiknya menyisihkan dana pendidikan sebesar 20 persen dari penghasilan. Hal ini untuk mengimbangi kenaikan biaya pendidikan yang naik antara 15-20 persen.
OJK juga menyebutkan, ada beberapa solusi untuk mempersiapkan dana pendidikan masa depan anak dengan beberapa instrumen investasi. Diantaranya tabungan pendidikan bank, asuransi pendidikan, dana pendidikan melalui investasi (obligasi, reksadana, saham, dan logam mulia pegadaian).
Setiap bentuk cadangan dana pendidikan memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Hal ini tergantung pada kebutuhan dan kemampuan masing-masing orang tua.
Melanjutkan sekolah hingga bangku kuliah menjadi impian banyak orang, meski biayanya mahal. Masyarakat berupaya mewujudkannya dengan mencari beasiswa, kuliah sambil bekerja, dan orang tua menyiapkan anggaran khusus untuk pendidikan anaknya sejak dini.