Kerinduan Guru Mengajar dengan Hati dan Berkualitas
Program unggulan pemerintah untuk meningkatkan mutu guru yang berdampak pada kualitas pendidikan terus berganti. Kini, lewat program guru penggerak, guru-guru bermutu disiapkan menjadi pemimpin pembelajaran.
Guru berperan penting mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menghadirkan pendidikan bermutu sesuai dengan tantangan dan kebutuhan zaman di ruang kelas dan sekolah. Namun, guru juga kerap ”tertinggal” dan menjadi kambing hitam dari rendahnya capaian hasil pendidikan Indonesia hingga saat ini.
Kebijakan Merdeka Belajar dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim pada tahun 2020 menempatkan guru menjadi bagian transformasi pendidikan. Program Guru Penggerak (GP) dihadirkan untuk ”menangkap” sosok guru yang mau belajar dan berubah serta siap menjadi pemimpin pembelajaran.
Dalam perkembangannya, Kemendikbudristek mengamankan program GP melalui Peraturan Mendikbudristek Nomor 26 Tahun 2022. Salah satu isinya mengatakan, sertifikat GP yang diperoleh peserta dapat digunakan untuk pemenuhan salah satu persyaratan sebagai kepala sekolah, pengawas sekolah, atau penugasan lain di bidang pendidikan.
Jadi oase
Program GP pun menjadi perbicangan para guru. Ada kesempatan untuk bisa ikut GP dengan insiatif sendiri selama lolos berbagai tahapan seleksi. Selama ini, kesempatan menjadi guru yang mendapat pelatihan di tingkat nasional menjadi ”kemewahan” bagi guru-guru di daerah karena biasanya bergantung pada dinas pendidikan.
Baca juga: Bergerak Bersama Guru Penggerak
Pelatihan yang mengutamakan pembelajaran mandiri secara daring (dalam jaringan) lalu belajar bersama pendamping dan GP lain di daerahnya seakan menjadi oase minimnya kesempatan peningkatan kapasitas guru lewat pelatihan.
Santi Juliana Senduk, guru Bahasa Jepang, dan Dolvina Lea Ansanay, guru Geografi, yang sama-sama mengajar di SMA Gabungan Jayapura, Papua, sekadar mencoba peruntungan. Jika ada pelatihan dari pemerintah pusat, jarang guru swasta menjadi sasaran.
Penulisan esai untuk seleksi pun dijadikan Dolvina untuk melepaskan unek-unek, betapa dirinya selama ini belum jadi guru yang optimal dalam pembelajaran berkualitas untuk siswa. Lalu, dirinya menyampaikan keinginan untuk bisa belajar dan mencoba hal-hal baru yang akan membuat pembelajaran di kelasnya lebih baik dan menyenangkan bagi siswa.
Betapa bahagianya Dolvina, yang juga aktif membuka taman bacaan masyarakat untuk membantu siswa SD dan anak usia dini di sekitar rumahnya ini suka membaca, bisa lolos. Dia tak mengira pelatihan panjang hampir 10 bulan harus dilalui.
Apalagi, pembelajaan secara daring di Jayapuara juga penuh tantangan, pernah internet sangat bermasalah. Namun, Dolvina bersemangat, apalagi ada rekan guru di sekolahnya yang juga lolos sebagai GP sehingga dapat saling menyemangati.
”Tak masalah membagi waktu mengajar siswa, lalu saya harus belajar dan mengerjakan tugas. Tantangan ini mengasyikkan karena ada pendampingan dan umpan baik yang membuat saya bisa belajar banyak hal baru untuk mendukung peningkatan mutu pendidikan,” kata Dolvina yang dijumpai dalam acara press tour yang digelar Kemendikbudristek pada pertengahan Juni 2020.
Baca juga: Guru Penggerak: Layu Sebelum Berkembang
Meski bisa menjadi tiket melesatkan karier di kemudian hari, Dolvina Lea Ansanay, yang jadi salah satu guru penggerak angakatan pertama, hanya ingin menjadi guru yang berbeda dan berubah. Bagi Dolvina tak penting apakah guru penggerak dipersiapkan sebagai kepala sekolah atau pengawas nantinya.
”Saya hanya merasa ingin menjadi guru yang baik, yang bisa membuat siswa menikmati proses belajar sehingga mereka bisa sukses sesuai tantangan zaman. Selama ini pendampingan untuk peningkatan mutu guru pendek dan penuh teori sehingga seusai pelatihan tak berdampak panjang,” ujar Dolvina.
Santi pun merasa dibangunkan kembali untuk memahami dan mengimplementasikan filsafat pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara, salah satunya pendidikan yang berpusat pada anak. Dia pun menaruh perhatian untuk membantu siswa menggali potensi diri dan mengenali diri dengan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak atau berdiferensiasi.
”Dapat juga ilmu-ilmu kepemimpinan untuk guru dapat mengambil keputusan dan berpikir. Bagi saya, guru haus terus mengisi diri karena zaman yang terus berubah demi anak-anak didik,” ujar Santi.
Guru penggerak pun menjadi rujukan bagi guru lain, setidaknya di sekolah, untuk bisa berbagi tentang paradigma pembelajaran baru yang berpusat pada anak. Di sekolah ada komunitas praktisi atau komunitas belajar guru, narasumber pun untuk bisa melakukan in house training tak lagi mengandalkan dari luar, tetapi dari GP di sekolah.
Para GP ini berbagi praktik baik yang bisa diterapkan guru lain dari implementasi Kurikulum Merdeka, tes diagnostik untuk memetakan kebutuhan dan kemampuan belajar siswa, pembelajaran berdiferensiasi untuk melayani gaya dan cara belajar siswa yang berbeda, hingga penguatan karakter Profil Pelajar Pancasila lewat sejumlah tema proyek.
Sementara bagi Anna Farida, Guru SMA Negeri 5 Jayapura yang juga GP angkatan 1, tawaran untuk bergabung menjadi GP menjadi setetes air pelepas dahaga dari minimnya sentuhan pemerintah daerah untuk menguatkan kapasitas diri sebagai pendidik yang mengikuti perubahan zaman. Dia mengaku sudah 27 tahun menjadi guru PNS.
”Bukan lamanya jadi guru yang membuat hebat. Tapi, ini belum membuat saya bisa menjadi guru terbaik yang memahami dan mendukung anak siswa dengan proses belajar yang baik. Saya selama ini terpaku untuk meningkatkan kognitif anak mencapai nilai kriteria ketuntasan minimal atau KKM dan prestasi olimpiade. Namun, mindset (pola pikir) saya kini berubah,” kata Anna.
Baca juga: Yang Absen dalam Program Guru Penggerak
Trias Agata Roni, guru honorer Bahasa Inggris di SMA YPK Diaspora Kotaraja, meskipun awalnya buta tentang apa yang akan diikuti sebagai guru penggerak, memberanikan diri untuk ikut seleksi. Ada kebutuhan dirinya untuk berkembang, tetapi tidak mendapat dukungan yang optimal.
Bukan lamanya jadi guru yang membuat hebat. Tapi, ini belum membuat saya bisa menjadi guru terbaik yang memahami dan mendukung anak siswa dengan proses belajar yang baik.
”Saya merasakan cara mengajar saya yang masih berorientasi ke materi tanpa memahami kesiapan dan kebutuhan siswa membuat para siswa jadi bosan dan tidak semangat belajar. Saya merasa memiliki kemampuan mengajar yang belum inovatif dan kreatif sehingga ketika dikenalkan dengan program guru penggerak, ya, ingin menambah ilmu lagi,” ujar Trias.
Trias mengakui, sebelum menjadi guru penggerak, saat mengajar dia hanya memikirkan target materi di buku teks selesai. Padahal, belajar Bahasa Inggris bagi para siswa yang berasal dari sejumlah daerah pedalaman di Papua umumnya hal baru sehingga sulit memahami dengan cara belajar yang seragam.
Jadi kebanggaan
Cerita-cerita sukses, kreativitas, dan perubahan GP memang terus digelorakan Kemendikbudristek. Guru pun antusias untuk mendaftar dan menjadi bagian GP karena sedang mendapat dukungan penuh dari pemerintah pusat dan daarah. Mereka jadi kebanggaan sekolah dan daerah.
Di era digital, guru penggerak semakin canggih membagikan pengalaman praktik mengajar dan perubahan yang dilakukan. Seorang guru dari Kabupaten Solok, Sumatera Utara, Ririn Sanusi, yang merupakan calon GP 4, berbagi tips untuk lulus seleksi di akun Youtube-nya.
”Sederhana saja saya jawab, mau ikut karena mau jadi guru yang kreatif. Tiap guru punya tujuan dan cara yang berbeda mengatasi permasalahan di sekolah. Ada banyak pertanyaan pas seleksi oleh tim, bergantung pada guru untuk menjawabnya sesuai dengan kondisi guru dan sekolahnya,” kata Ririn.
Guru Penggerak Angkatan ke-3 yang baru menuntaskan pelatihan selama sembilan bulan, salah satunya Salim Munajat dari Kabupaten Krawang, Jawa Barat, mengakui awalnya dia beranggapan siswa harus dijejali materi saja. Dengan mengikuti GP, pola pikirnya berubah. ”Sekarang saya berpikir bahwa dalam mengajar, saya harus lebih memperhatikan kebutuhan siswa,” ujarnya.
Dengan fasilitasi dan pengembangan diri guru yang terstruktur, gairah belajar guru untuk bertransformasi menghadirkan pendidikan berkualitas dengan hati sesungguhnya bisa ditumbuhkan.
Sayangnya, sering kali nama program berganti untuk menyiapkan guru unggul di negeri ini, termasuk kini GP jadi tiket untuk jadi pemimpin pendidikan, tetapi pengembangan diri guru yang berkelanjutan dengan fasilitasi dan kualitas yang baik belum menjangkau semua guru.
Wakil Sekretaris Jenderal Penguru Besar Persatuan Guru Republik Indoneia Dudung Abudl Qodir mengatakan, pelayanan pendidikan selama ini masih diskriminatif. Program sekolah dan guru penggerak, terbatas, dan pilihan belum menjadi program yang menyeluruh. Akibatnya, sekolah dan guru yang tersentuh program peningkatan mutu juga terbatas. Dampaknya, para siswa belum merasakan pendidikan berkualitas.
”Program-program baru dan berganti ditawarkan. Tapi, sering kali kepala sekolah dan guru kesulitan untuk mengimplementasikan karena program yang datang bukan sesuai kebtuhan, melainkan berdasarkan proyek. Transformasi pendidikan bermutu harus dibenahi dari tata kelola yang menyeluruh agar berdampak panjang,” kata Dudung.
Berbagi praktik baik
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek Iwan Syahril di acara penutupan Pendidikan Guru Penggerak (PGP) angkatan ketiga secara daring, Rabu (20/7), mengatakan, PGP memasuki angkatan kelima dan mendapat sambutan luas dari guru-guru. Semangat bergerak para GP terus tumbuh dan ada kekuatan yang mendorong berkontribusi bagi pendidikan terbaik anak bangsa.
”Para guru penggerak ke depan dapat membagikan praktik-praktik baik yang didapat selama mengikuti pelatihan. Para GP dapat menjadi mentor untuk pendidik lain serta dapat menularkan semangat dan membagikan praktik baik keilmuannya dalam pengembangan potensi guru-guru lain,” ujarnya.
Direktur Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, Tenaga Kependidikan, Ditjen GTK Praptono mengatakan, selama masa pelatihan, peserta menyelesaikan tiga paket modul yang terdiri dari 10 modul. Paket modul satu tentang paradigma dan visi guru penggerak, paket modul dua soal praktik pembelajaran yang berpihak kepada anak, dan paket modul tiga tentang pemimpin pembelajaran dalam pengelolaan sekolah.
Selama program, peserta telah mendapatkan pendampingan dari pengajar praktik dan telah melaksanakan lokakarya bersama rekan guru lainnya untuk menguatkan proses implementasi Merdeka Belajar dan internalisasi sebagai guru penggerak.
Pada akhir pendidikan guru penggerak, peserta berbagi praktik, baik melalui lokakarya panen hasil belajar. Dengan lokakarya itu, setiap peserta dapat saling berbagi dan mendalami apa yang sudah dijalankan di sekolahnya masing-masing.
Pada 2024 ditargetkan ada 405.000 GP. Mereka akan meneruskan transformasi pendidikan dengan paradigma baru dalam eksosistem pendidikan saat menjadi pemimpin pembelajaran, seperti kepala sekolah.