Penghentian sementara program guru penggerak memunculkan pesimisme bahkan skeptisme terkait upaya pemerintah meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru. Perlu langkah peneguhan program ini.
Oleh
RIDUAN SITUMORANG
·6 menit baca
Kemendikbudristek baru-baru ini mengeluarkan surat bernomor 1560/B3/GT.03.15/2022 tentang Penghentian Sementara Pelaksanaan Program Guru Penggerak. Mereka yang terdampak sementara adalah Calon Guru Penggerak Angkatan IV dan V.
Sesuai surat tersebut, Calon Guru Penggerak (CGP) terdampak akan melanjutkan pembelajaran sampai Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Satuan Kerja (Balai Besar Guru Penggerak/BBGP dan Balai Guru Penggerak/BGP) telah terbit. Hal ini terjadi karena ada perubahan struktur organisasi di Kemendikbudristek. Tidak ada yang tahu pasti tentang perubahan tersebut. Satu yang pasti, perubahan ini terjadi dimungkinkan karena dua hal, yaitu peneguhan atau malah keraguan.
Peneguhan, misalnya, karena penundaan ini menjadi momentum untuk menyolidkan status organisasi sehingga kedudukan guru penggerak semakin kukuh. Peneguhan ini dimungkinkan karena kini sudah terbentuk BGP di 33 provinsi melalui Permedikbudristek Nomor 14 Tahun 2022.
Dengan berdirinya BGP tersebut, berarti Program Guru Penggerak (PGP) sudah lebih terencana untuk jangka waktu yang lebih lama sehingga tak lagi sebatas proyek satu musim menteri seperti program sebelum-sebelumnya. Ini menjadi bukti bahwa Mas Menteri mempunyai visi jauh ke depan.
Namun, hal yang pantas disayangkan adalah bahwa PGP ini masih jauh dari upaya penyejahteraan guru. Mengekor pada Permendikbud Nomor 14 Tahun 2022, misalnya, tegas disebutkan bahwa tugas BGP adalah melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan guru, pendidik lainnya, tenaga kependidikan, calon kepala sekolah, kepala sekolah, calon pengawas sekolah, dan pengawas sekolah (Pasal 3).
Dari pasal itu dapat dipahami bahwa menjadi guru penggerak tak berarti otomatis sejahtera, terutama bagi honorer. Sebab, bagi honorer dipastikan bahwa mereka tak akan mendapatkan dampak apa pun dalam kariernya, apalagi kesejahteraannya.
Lembaga ”kosong”
Siapa pun tahu, honorer tak akan mungkin diangkat sebagai kepala sekolah dan pengawas. Di sinilah letak perbedaan utama antara PGP dan Program Sertifikasi Guru. PGP dengan jangka waktu sembilan bulan pendidikan hanya berorientasi peningkatan mutu, sementara Program Sertifikasi (tiga bulan) berorientasi lebih luas: peningkatan mutu sekaligus kesejahteraan, bahkan juga karier.
Memang, seiring dengan hadirnya PGP, pemerintah telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. Namun, Permendikbudristek ini pun sesungguhnya tidak mengistimewakan lulusan PGP.
Kalau harus jujur, permendikbudristek ini justru bisa dikatakan hanya penambahan syarat administratif untuk menjadi kepala sekolah. Pasalnya, dalam Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021, kepemilikan Sertifikat Pendidik (a) masih lebih diutamakan daripada kepemilikan Sertifikat Guru Penggerak (c).
Program Guru Penggerak tidak menyentuh urusan penyejahteraan guru sama sekali dan tidak lebih baik dari Program Sertifikasi.
Dari sini dapat diambil kesimpulan secara kasar bahwa Program Guru Penggerak tidak menyentuh urusan penyejahteraan guru sama sekali dan tidak lebih baik dari Program Sertifikasi. Dalam lajur berpikir seperti itulah kita harus memahami mengapa animo pendaftar untuk PGP semakin rendah.
Menjadi berbanding terbalik dengan Program Sertifikasi Guru. Dari tahun ke tahun, peminatnya selalu membeludak karena langsung menjawab tiga kebutuhan mendasar seorang guru, yaitu kesejahteraan, jenjang karier, juga jabatan strategis.
Serangkaian dengan itulah kiranya dapat ditelusuri bahwa sangat terbuka kemungkinan kalau PGP ini akan bermuara pada keraguan seperti sudah disingggung di atas. Keraguan bagi calon guru penggerak sekaligus keraguan juga bagi penanggung jawab. Sebab, jamak diketahui, diberhentikannya sementara PGP adalah memang karena perubahan nomenklatur di Kemendikbudristek.
Namun, santer juga tersebar bahwa pemberhentian sementara ini adalah karena masalah dana. Dana menjadi masalah karena adanya perubahan penanggung jawab PGP dari sebelumnya Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Pendidikan Jasmani dan Bimbingan Konseling ke BGP yang sudah terdistribusi di setiap provinsi.
Diharapkan, pemerintah daerah akan menanggulangi dana, tetapi tentu saja hal itu akan mempunyai kesulitan tersendiri. Maka, jadilah BGP saat ini sebagai lembaga ”kosong”. Malangnya, lembaga ini kemungkinan pun akan kosong peminat pula. Setidaknya, hingga kini, banyak honor asesor yang belum dibayarkan honornya. Sekaitan dengan itu, uang transportasi CGP pun mulai dikurangi.
Nah, dari fakta ini kiranya semakin terlihat bahwa PGP dibuat dengan dasar yang sangat rapuh dan kurang terencana, bahkan tanpa tujuan jangka panjang dalam rangka mewujudkan keberpihakan kepada guru. Karena itu, menjadi beralasan jika kini mulai muncul kerisauan di antara guru bahwa pada akhirnya program ini akan menjadi macan ompong.
Pada titik terjauhnya, program ini pun akan layu sebelum berkembang. Sungguh miris dan ironis. PGP yang harusnya melejitkan optimisme justru menimbulkan pesismisme, bahkan skeptisme. Kita tentu tak mau hal itu terjadi dan terulang lagi dan lagi.
Mau sampai berapa lama kita bertaruh dan bermain-main dengan program, apalagi menyangkut guru. Karena itu, perlu langkah peneguhan supaya PGP ini berkorelasi positif dalam peningkatan kualitas pendidikan. Kiranya, langkah ini bisa dipertimbangkan.
Pertama, pemerkuatan regulasi untuk PGP dalam keterkaitan yang berhubungan langsung dengan tiga komponen mendasar kebutuhan guru: kesejahteraan, peningkatan mutu, juga jenjang karier. Bagaimanapun, kesejahteraan dan peningkatan kualitas guru tak bisa dipisahkan. Keduanya justru harus saling mendukung dan menguatkan supaya tujuannya benar-benar tercapai.
Kita tunggu saja
Dalam pada itu, menjadi sangat mendesak untuk merevisi kembali Permendikbudristek Nomor 26 Tahun 2022 tentang Pendidikan Guru Penggerak yang baru saja ditetapkan pada 13 Juni 2022. Setelah salinan Permendikbud Nomor 26 tersebut dikeluarkan dan disebar ke WAG, Guru Penggerak dan Calon Guru Penggerak merasa dipermainkan. Soalnya, pada Pasal 13, Sertifikat Guru Penggerak hanyalah salah satu syarat untuk menjadi kepala sekolah. Tak dinyana lagi, PGP ini benar-benar jauh dari upaya menyejahterakan guru. Padahal, kesejahateraan selalu berbanding lurus dengan kualitas.
Kedua, supaya tidak tumpang tindih, lembaga pengampu guru juga harus satu, jangan dibuat terpisah-pisah. Urusan kualitas, misalnya, pada lembaga BGP dan urusan kesejahteraan ke lembaga lain. Hal itu akan sangat mengganggu. Terlalu banyak lembaga justru akan cenderung menghilangkan tanggung jawab. Semula saling mengandalkan ujung-ujungnya saling melemparkan tanggung jawab.
Pada titik lain, juga akan terjadi ego sektoral. Sebagai dampaknya, urusan untuk memperbaiki kualitas dan menyejahterakan guru menjadi isu terbelakang dan terlupakan. Kita akhirnya kehilangan fokus justru pada manajemen lembaga.
Betapa tidak? Untuk saat ini, misalnya, dalam hal penanganan penjaminan mutu, distribusi kewenangan dilakukan pemerintah pusat melalui pendirian Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM). Namun, kini, ditambah pula dengan BGP. Di aras nasional, jika BBGP ditugaskan untuk mempersiapkan pendidikan kepala sekolah, bukankah kita sudah mempunyai Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah (LPPKSPS)? Masih banyak lagi untuk disebut.
Karena itulah saya selalu berpikir bahwa stagnannya kualitas pendidikan bukan karena guru, melainkan justru karena gagalnya pemerintah untuk membuat manajemen yang solid. Sebagai dampaknya, seperti sediakala, semua program pun layu sebelum berkembang, termasuk dengan PGP. Kita tunggu saja!
(Riduan Situmorang, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan; Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional; Calon Guru Penggerak; Pengurus PGRI Humbang Hasundutan)