Menjawab ”Kehausan” Sekolah dan Guru untuk Berubah
Pendidikan bermutu menjadi target yang terus-menerus dibidik pemerintah. Tawaran program sekolah dan guru penggerak diyakini bisa mendorong peningkatan kualitas pendidikan di semua daerah.
Ada keresahan dan kegelisahan di kalangan pimpinan sekolah dan guru tentang pengembangan sekolah yang seakan berjalan di tempat. Keinginan untuk menghadirkan wajah pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak sulit dilaksanakan karena minimnya dukungan sumber daya dan pendampingan yang intensif, inklusif, serta berkelanjutan.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menawarkan program sekolah dan guru penggerak sebagai bagian dari Merdeka Belajar untuk menghadirkan transformasi eksosistem pendidikan di sekolah. Program yang memberikan oase terhadap ”kehausan” sekolah dan guru mendapatkan pendampingan serta pelatihan ini memang masih perlu pembuktian ke depan.
Berdasarkan data di laman sekolah.penggerak. Kemdikbud.go.id, ada 9.237 sekolah penggerak dari jenjang pendidikan anak usia dini hingga SMA/SMK. Adapun program guru penggerak hingga tahun 2024 akan menyasar 405.900 guru. Program ini memperkuat paradigma pembelajaran baru yang diwujudkan antara lain dengan mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.
Di Tanah Papua, keinginan untuk memberikan layanan pendidikan yang bermakna bagi peserta didik juga jadi kerinduan pimpinan sekolah serta guru. Ketertinggalan dalam capaian pembelajaran tidak diterima dengan pasrah, tetapi harus diatasi dengan semangat dan cara yang efektif.
Belasan tahun, SMA Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Diaspora Kotaraja di Kota Jayapura, Papua, bergeming dari akreditasi B. Pendidikan berjalan terus, tetapi peningkatan mutunya belum sesuai harapan.
SMA Gabungan Kota Jayapura, yang didirikan pada 1957 sebagai salah satu sekolah tertua, juga berjibaku dengan layanan pendidikan yang belum optimal. Kondisi lingkungan sekolah gabungan Kristen dan Katolik ini belum tertata baik dan fasilitasnya kurang. Kemampuan guru untuk menghadirkan proses belajar yang menantang dan mengasyikkan bagi siswa belum sesuai harapan.
Kondisi di SMA Negeri 5 Jayapura yang didirikan tahun 2002 juga masih jauh dari target. Pencapaian prestasi siswa dalam berbagai kompetisi sains tingkat nasional yang pernah naik, belakangan turun. Padahal, sekolah ini dirancang untuk melatih keunggulan siswa asli Papua di bidang sains dengan hanya membuka kelas jurusan Ilmu Pengetahuan Alam,
Kehausan pada program yang benar-benar berdampak pada perubahan mutu pendidikan mendorong para kepala sekolah dan guru untuk masuk dalam tawaran program berlabel ”penggerak”. Mereka ingin mendapatkan dukungan transformasi pendidikan yang bukan hanya bergantung pada capaian prestasi sekolah, melainkan pada visi dan misi pendidikan yang bermutu.
Kepala SMA YPK Diaspora Kotaraja Alfrets R mengakui, upaya mereka untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah berjalan di tempat. Minimnya peningkatan kapasitas guru dan kepala sekolah membuat layanan pendidikan minim inovasi dan kreativitas.
”Keinginan untuk bisa meningkatkan mutu pembelajaran agar capaian pembelajaran siswa baik dan siswa merasa senang belajar, kami temukan lewat program sekolah penggerak. Para kepala sekolah diminta untuk mendaftar dan ikut seleksi. Bagi saya, ini kesempatan untuk bisa mendapatkan dukungan yang dibutuhkan sekolah agar dapat membenahi cara mengajar guru yang amsih belum banyak berubah, masih konvensional,” kata Alfrets di Jayapura, Papua, Senin (13/6/2022).
Menurut Alferts, sekolah penggerak mendapatkan intervensi pendampingan selama tiga tahun guna menciptakan ekosistem pembelajaran di sekolah yang berorientasi pada mutu. Para guru diperkuat untuk memahami paradigma baru dalam pembelajaran yang berorientasi/berpusat pada siswa, termasuk memahami pembelajaran yang terdiferensiasi. Selain itu, para guru dikuatkan juga dalam pemanfaatan teknologi digital dalam pendidikan dan peningkatan kualitas proses pembelajaran yang mendorong peserta didik lebih aktif.
Kepala SMA Gabungan Jayapura Sandra Titihalawa mengatakan, selama ini intervensi sekolah biasanya mengutamakan sekolah negeri terlebih dahulu. Kesempatan bagi sekolah swasta untuk mendapatkan pendampingan dan dukungan sumber daya dalam jangka waktu panjang menegaskan bahwa kesempatan setara itu ada jika pemerintah dan dinas pendidikan di daerah mengutamakan komitmen pada peningkatan mutu untuk semua sekolah.
Di SMA Gabungan Jayapura, dua guru terpilih sebagai guru penggerak angkatan pertama. Sekolah semakin merasa berdaya untuk berubah karena memiliki guru yang dapat memberikan pelatihan bagi guru lain. Di sekolah pun dilaksanakan komite pembelajaran atau komunitas praktisi yang mengenalkan para guru untuk mau duduk bersama dan berkolaborasi lintas mata pelajaran.
Mulailah para guru dikenalkan pada pembelajaran berbasis proyek yang menggabungkan kompetensi senapas dari berbagai mata pelajaran. Para guru diajak untuk paham tentang pembelajaran yang berpusat pada siswa, antara lain dengan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi untuk membantu siswa berkembang sesuai potensi dan kebutuhannya.
Saya hanya merasa ingin menjadi guru yang baik, yang bisa membuat siswa menikmati proses belajar sehingga mereka bisa sukses sesuai tantangan zaman.
Di sekolah penggerak SMAN 5 Jayapura, Papua, pembelajaran berbasis proyek menjadi salah satu transformasi proses pembelajaran. Pemilihan ketua OSIS di sekolah, misalnya, jadi pembelajaran berdemokrasi bagi siswa dan guru.
Kolaborasi guru menghasilkan proyek pembelajaran yang bermakna dan relevan untuk siswa. Kekayaan budaya dari tanah Papua mulai dilirik sebagai materi ajar.
Para siswa diajak berkelompok untuk bisa membahas tentang pembuatan noken dalam lintas ilmu hingga akhirnya mereka ikut belajar membuat noken. Ide pun berkembang untuk proyek pembelajaran lainnya, seperti pembuatan es krim dari sagu. Selama ini, sagu yang biasanya hanya untuk membuat papeda, ternyata bisa diolah pula untuk membuat es krim yang mengenyangkan.
Sekolah penggerak bertujuan membantu siswa mencapai hasil belajar yang optimal dalam ilmu pengetahuan dan karakter. Pendampingan sekolah oleh ahli/fasilitator, keberadaan komunitas, hingga dukungan dana/bantuan operasional sekolah (BOS) Kinerja selama tiga tahun (selain BOS reguler), membuat sekolah percaya diri untuk bergerak mencapai mutu.
Baca juga: Sekolah Terus Didorong Bertransformasi
Butuh belajar
Bagi guru, tawaran untuk bergabung menjadi guru penggerak ibarat setetes air pelepas dahaga dari minimnya sentuhan pemerintah daerah untuk menguatkan kapasitas yang seiring dengan perubahan zaman. Anna Farida, Guru SMAN 5 Jayapura yang terpilih sebagai guru penggerak angkatan pertama, mengaku sudah 27 tahun menjadi guru PNS.
”Bukan lamanya jadi guru yang membuat hebat, melainkan (pengalaman) ini belum membuat saya bisa menjadi guru terbaik yang memahami dan mendukung anak siswa dengan proses belajar yang baik. Saya selama ini terpaku untuk meningkatkan kognitif anak mencapai nilai kriteria ketuntasan minimal atau KKM dan prestasi olimpiade. Namun, mindset saya kini berubah,” kata Anna.
Santi Juliana Senduk, guru Bahasa Jepang, dan Dolvina Lea Ansanay, guru Geografi di SMA Gabungan Jayapura, tak menyangka bisa merasakan program guru penggerak. Ada kebutuhan belajar yang selama ini sulit dipenuhi sendiri jika tak ada program dukungan dari pemerintah.
”Apalagi untuk program tingkat nasional, guru di sekolah swasta dan daerah jarang jadi sasaran. Awalnya kaget ketika dinyatakan lulus. Tapi saya senang karena bisa banyak belajar hal-hal baru yang membantu saya lebih baik dalam mengajar siswa,” kata Santi.
Bagi Dolvina, tak penting apakah guru penggerak dipersiapkan sebagai kepala sekolah atau pengawas nantinya. ”Saya hanya merasa ingin menjadi guru yang baik, yang bisa membuat siswa menikmati proses belajar sehingga mereka bisa sukses sesuai tantangan zaman,” katanya.
Trias Agata Roni, guru honorer Bahasa Inggris di SMA YPK Diaspora Kotaraja, juga memberanikan diri untuk ikut seleksi. Ada kebutuhan dirinya untuk berkembang, tetapi selama ini tak mendapat dukungan yang optimal.
”Saya merasakan cara mengajar saya yang masih berorientasi ke materi tanpa memahami kesiapan dan kebutuhan siswa membuat para siswa jadi bosan dan tidak semangat belajar. Saya merasa memiliki kemampuan mengajar yang belum inovatif dan kreatif sehingga ketika dikenalkan dengan program guru penggerak, ya ingin menambah ilmu lagi,” ujar Trias.
Trias mengakui, sebelum menjadi guru penggerak, saat mengajar dia hanya memikirkan target materi di buku teks selesai. Padahal, belajar bahasa inggris bagi siswa pedalaman di Papua umumnya merupakan hal baru sehingga sulit dipahami dengan cara belajar yang seragam.
Dengan program guru penggerak yang membantu peningkatan kapasitas guru selama sembilan bulan secara daring dan luring, Trias mendapatkan ”suntikan” untuk membenahi cara mengajarnya yang selama ini kurang berdampak kepada siswa. ”Hal sederhana saja, dari mulai masuk kelas, saya lebih memperhatikan kesiapan belajar siswa dulu. Saya sediakan games atau cara belajar yang memancing siswa untuk semangat. Saya bersyukur, meskipun masih dengan Kurikulum 2013, dengan proses belajar yang lebih memacu siswa aktif, mereka jadi lebih berani bertanya dan mengemukakan pendapat,” ujarnya.
Lebih menyenangkan
Transformasi pembelajaran yang menguatkan proses belajar memberikan dampak positif bagi siswa. Mereka yang menggunakan Kurikulum Merdeka dan Kurikulum 2013, dengan kehadiran guru yang memahami proses belajar aktif, para siswa menjadi lebih bergairah belajar. Ruang-ruang kelas tak lagi monoton dan didominasi guru.
Di SMAN 5 Jayapura, pembelajaran berbasis proyek dijalankan dengan pembuatan noken, papeda, hingga tanaman hidroponik. Suara demokrasi pemilihan ketua OSIS juga menjadi cara baru yang membuat mereka senang belajar.
Mereka mengenal kolaborasi dan pembagian tugas. Mereka mengenal manfaat belajar satu ilmu dengan ilmu lainnya yang dibutuhkan untuk menuntaskan suatu proyek.
Para siswa pun tak dipaksa untuk mengerjakan hal yang sama. Siswa bisa menghasilkan produk yang sesuai dengan minat, baik itu video, presentasi, gambar/grafis, hingga seni tari. Semuanya bisa dipilih sebagai pertanggung jawaban hasil belajar.
Frits Yosefus Darinya (17), siswa kelas X mengaku, proses pembelajaran yang aktif membuat siswa menjadi lebih berani untuk bertanya tanpa takut salah. Apalagi guru semakin mampu menjalankan perannya sebagai fasilitator.
”Belajar jadi lebih menyenangkan, jadi lebih termotivasi. Saya dapat rasakan bedanya saat belajar di SMP yang gurunya cuma menyelesaikan buku teks dengan di SMA sekarang karena guru-guru yang mendorong siswa aktif,” kata Frits.
Secara terpisah, di acara ”Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi bertajuk Mau Dibawa Kemana Pendidikan Indonesia”, Minggu (26/6/2022), Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Dudung Abdul Qodir mengatakan, layanan pendidikan selama ini masih diskriminatif. Program sekolah dan guru penggerak masih terbatas dan belum menjadi program yang menyeluruh.
Karena itu, sekolah-sekolah dan guru yang tersentuh program peningkatan mutu masih terbatas. Dampaknya, para siswa belum bisa merasakan pendidikan yang berkualitas.
”Program-program baru dan berganti ditawarkan. Sering kali kepala sekolah dan guru kesulitan untuk mengimplementasikan karena program yang datang bukan sesuai kebutuhan, tetapi berdasarkan proyek. Transformasi pendidikan bermutu harus dibenahi dari tata kelola yang menyeluruh agar berdampak panjang,” kata Dudung.
Baca juga: Dibutuhkan Intervensi untuk Tingkatkan Kualitas Pembelajaran
Sementara itu, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan mengatakan, pemerintah harus menjamin bahwa pendidikan di tiap sekolah tersedia dengan jumlah dan mutu guru sesuai standar, termasuk pula fasilitasnya. ”Selama ini guru dalam keadaan ’lapar’ dan ’lelah’ tetapi diminta untuk berprestasi, Banyak program yang sudah dilakukan, tetapi memastikan program ini sesuai dengan sasaran peningkatan mutu pendidikan masih jadi tantangan,” kata Said.