Menajamkan Program Sekolah Penggerak
Kita sangat berharap bahwa Program Sekolah Penggerak ini akan memberikan efek ”multiplier” ke sekolah-sekolah di sekitarnya. Adanya efek ini tentu akan bermuara pada percepatan peningkatan mutu pendidikan di daerah.

”Merdeka Belajar” sudah sampai pada episode VII: Program Sekolah Penggerak (PSP). Ada empat sasaran PSP. Pertama, hasil belajar di atas rata-rata. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat empat tahapan pada sasaran pertama ini: 3 tingkat di bawah level yang diharapkan; 1-2 tingkat di level yang diharapkan; di level yang diharapkan; di atas level yang diharapkan.
Ada yang perlu dipertajam di sini: apa itu level yang diharapkan dan bagaimana ukurannya? Selama ini, ukuran pengetahuan, meski tak sahih, bisa dilihat dari ujian nasional (UN). Namun, saat ini, UN dengan skema sensus sudah ditukar asesmen nasional (AN) dengan skema survei. AN tak bisa menjadi ukuran.
Pengertian ”hasil belajar di atas rata-rata” pun masih belum operasional. Apakah arti ”hasil di atas rata-rata” adalah di atas hasil belajar seluruh siswa Indonesia? Jika maksudnya demikian, sekolah penggerak berarti sama saja dengan sekolah berlabel unggulan/favorit.
Selain itu, apakah fokusnya pada hasil? Jika berorientasi hasil, skema pendidikan kita sudah salah kaprah. Pendidikan seharusnya berorientasi pada proses sehingga perekrutan siswa tidak berdasarkan seleksi akademis, seperti yang berlaku pada sekolah berlabel favorit.
Sasaran kedua mengenai lingkungan belajar juga perlu dikritisi. Kemendikbud memang sudah merincinya menjadi empat tahap: perundungan masih menjadi norma; perundungan masih terjadi, tetapi bukan norma; tidak ada perundungan; aman, nyaman, inklusif-menyenangkan.
Namun, kelihatan Kemendikbud terlalu meringkas bahwa persoalan lingkungan belajar adalah semata tentang perundungan. Padahal, ada banyak masalah yang justru jauh lebih urgen. Sudah bukan rahasia lagi bahwa berkali-kali kasus intoleransi sangat awet di sekolah. Kewajiban memakai jilbab bagi non-Muslim hanya kasus kecil.

Siswa Jurusan Pedalangan SMK Negeri 12 Surabaya, Jawa Timur, Rabu (2/9/2020), belajar di dalam kelas. Sekolah menengah kejuruan seni tersebut kembali menyelenggarakan sekolah tatap muka dan memberlakukan sistem sekolah bergilir bagi siswanya.
Lebih produktif
Sasaran ketiga terkait pembelajaran yang berpusat pada siswa harus diakui patut diapresiasi. Sebab, selama ini pembelajaran berfokus pada guru. Walau demikian, mengingat gegasnya tuntutan zaman, metode berpusat pada siswa agaknya sudah ketinggalan. Perlu lompatan kuantum agar pembelajaran berfokus pada tuntutan zaman sehingga pola pendidikan tak lagi mengarus utama pada knowledge daripada skill.
Pasar sudah mereaksi bahwa skill lebih penting daripada knowledge. Google dan Tesla, misalnya, sudah terang-terangan mengakui bahwa mereka tak akan melihat calon karyawan dari almamater.
Pelan-pelan, langkah besar dari Google dan Tesla akan ditiru oleh perusahaan besar lainnya. Intinya, sistem pendidikan harus menjadi yang terdepan untuk membekali peserta didik dalam menghadapi zaman. Ini menjadi pikiran kita bersama, tentu saja. Sebab, mengutip Yuval Noah Harari, kita tidak tahu bakal seperti apa pasar kerja pada tahun 2030 atau 2040. Berita buruknya, kita juga tak tahu apa yang harus diajarkan kepada anak-anak kita. Artinya, metode pembelajaran berpusat pada siswa nyata-nyata sudah tidak relevan lagi, apalagi berpusat pada guru.
Yang lebih menarik perhatian saya sebenarnya sasaran keempat: refleksi diri dan pengimbasan. Sasaran ini dimulai dengan perencanaan program dan anggaran berdasarkan refleksi diri (guru dan sekolah). Dengan demikian, penganggaran pendidikan tidak lagi otomatis berdasarkan jumlah siswa seperti sedia kala, tetapi berdasarkan kebutuhan siswa berbekal dari pengalaman-pengalaman guru saat mengajar. Jika hal ini dilakukan, saya sangat yakin bahwa pembiayaan pendidikan kita akan jauh lebih produktif dari sebelum-sebelumnya sehingga pembiayaan berdampak pada pertumbuhan kualitas.

Guru mengajar siswa Jurusan Kriya Tekstil SMK Negeri 12 Surabaya menenun, di Jawa Timur, Rabu, (2/9/2020). Sekolah menengah kejuruan seni tersebut kembali menyelenggarakan sekolah tatap muka dan memberlakukan sistem sekolah bergilir bagi siswanya.
Nah, yang menjadi misteri dalam benak sekolah sekarang adalah kriteria menjadi sekolah penggerak. Dari laman Kemendikbud diketahui bahwa hanya ada total 2.500 sekolah penggerak. Tak lama ini, LTMPT (lembaga tes masuk perguruan tinggi) merilis 1.000 SMA dengan nilai rerata UTBK tertinggi.
Dari 1.000 SMA itu, hanya 20 yang masuk dari Sumatera Utara. Kedua puluh SMA dari Sumut itu hanya 4 berstatus negeri, selebihnya swasta. Dan, kedua puluh SMA itu adalah SMA yang sangat terkenal di Sumut. Sebagai catatan, dari 2.500 calon sekolah penggerak, hanya 374 SMA yang akan dipilih.
Jika data LTMPT sah, jika calon sekolah penggerak dilihat dari ”gengsi” selama ini, maka dari 374 SMA calon sekolah penggerak, terkhusus di Sumatera Utara, kuota ini akan menjadi milik sekolah berlabel swasta. Memang, dilihat dari laman resmi Kemendikbud, definisi sekolah penggerak secara teknis bukan sekolah unggulan. Karena itu, sekolah penggerak nantinya tidak akan mengubah input siswa. Perlu diketahui, di negara ini, sekolah yang mengandalkan kualitas pembelajaran hanya 1 persen. Sisanya, 99 persen hanya mengandalkan best input (Tom J Parkins, 2003).
Sangat berharap
Namun, sekolah penggerak ini akan mencakup seluruh sekolah (swasta dan negeri). Sudah menjadi rahasia umum, input siswa sekolah swasta tak pernah seragam karena mereka tidak menggunakan sistem zonasi. Lantas, apa kriteria menjadi sekolah penggerak? Kalau bukan dari ”kualitas” selama ini, lalu dari mana? Apakah diseleksi dari tahapan demi tahapan, bahwa, misalnya, selain tidak terjadi perundungan, ternyata juga mengalami peningkatan hasil belajar di atas rata-rata? Bagaimana kalau perundungan itu disembunyikan? Dari mana pula ukuran bahwa terjadi peningkatan hasil belajar yang berada di atas rata-rata?

Siswa mempersiapkan karya penelitian ilmiah mereka untuk dipamerkan dan dipresentasikan pada acara pembukaan pameran pengalaman belajar dengan tema ”Merdeka Belajar” oleh siswa kelas XII SMA Kanisius di Jakarta, Senin (20/1/2020). Lewat kegiatan ini, diharapkan para siswa dapat membagikan hasil penelitian mereka kepada masyarakat luas, menghasilkan perubahan yang nyata, dan mampu membangun sebuah komitmen diri menjadi pemimpin yang visioner dalam memecahkan persoalan zaman pada era Revolusi Industri 4.0.
Semua pertanyaan kritis itu sengaja dibeberkan agar kita tak lagi jatuh pada lubang yang sama. Lubang yang sama itu adalah pembiayaan membengkak, tetapi minim produktivitas. Bagaimanapun kita tak bisa membakar banyak uang lagi untuk sesuatu yang semu belaka.
Yang pasti, kita sangat mendukung upaya kolaborasi Kemendikbud dan pemda dalam menjalankan PSP ini. Hanya saja, adanya pilihan kata ”intervensi secara holistik (SDM sekolah, pembelajaran, perencanaan, dan digitalisasi)” bisa juga bermakna bahwa sekolah itu malah tidak mandiri dan bebas dalam menjalankan pendidikan.
Padahal, judul besar dari PSP adalah ”Merdeka Belajar”. Jika sekolah sudah tidak mandiri dan bebas dalam membuat rancangan pembelajaran, bagaimanapun sekolah itu sudah tidak merdeka lagi. Ketidakmerdekaan itu bisa bermula secara soft, semisal penguatan SDM melalui pelatihan dan pendampingan intensif dengan pelatih yang sudah disediakan oleh Kemendikbud.
Saya harus mengutarakan fakta ini: pendidikan kita selama ini terlalu beraroma Jawa. Karena itu, harus dikritisi agar pendampingan dan pelatihan dari Kemendikbud tidak jatuh sebagai ”penjajahan” pusat ke daerah.
Yang pasti, di samping berbagai catatan itu, kita sangat berharap bahwa PSP ini akan memberikan efek multiplier ke sekolah-sekolah di sekitarnya. Adanya efek ini tentu akan bermuara pada percepatan peningkatan mutu pendidikan di daerah. Jika mutu pendidikan di daerah masing-masing sudah berkembang, kita akan dengan mudah menggapai visi pendidikan kita: mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila. Akhirnya, semoga catatan kritis ini bisa dimaknai dan dijabarkan secara teknis dalam penerapan PSP!
(Riduan Situmorang, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan di Toba Writers Forum)