Sekolah Diminta Mempelajari Sendiri Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka mendorong guru dan sekolah untuk memiliki inisiatif memperbaiki kualitas pendidikan. Tanpa harus menunggu pelatihan, setiap sekolah bisa belajar menerapkan Kurikulum Merdeka sesuai kapasitas.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi Kurikulum Merdeka dapat dilakukan sendiri sebagai inisiatif sekolah meskipun struktur kurikulum di sekolah tetap mengacu pada Kurikulum 2013. Tidak ada lagi pelatihan berjenjang seperti di masa lalu, tetapi guru dan sekolah dapat mempelajari secara mandiri dari sumber-sumber yang disediakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
”Sekolah-sekolah yang tidak mendaftar untuk mengimplementasikan Kurikulum Merdeka bisa tetap menerapkan prinsip-prinsip pembelajarannya dengan Kurikulum 2013 selama setahun ke depan. Kami mendorong guru untuk membaca panduan yang sudah disiapkan. Jangan menunggu sosialisasi, pelatihan undangan karena materi sudah tersedia. Tinggal inisiatif guru dan kepala sekolah untuk memanfaatkan,” jelas Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo dalam webinar Silaturahmi Merdeka Belajar ”Meluruskan Miskonsepsi Implementasi Kurikulum Merdeka”, Kamis (21/7/2022).
Anindito memaparkan, setidaknya ada lima miskonsepsi dalam implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) yang tahun ini dilaksanakan lebih dari 140.000 sekolah, mulai dari pendidikan anak usia dini hingga SMA/SMK sederajat. Menurut dia, jika menempatkan ganti kurikulum sebagai tujuan, guru dan sekolah sibuk dengan masalah administratif, ganti istilah, format, atau dokumen.
”Pergantian kurikulum ini sebagai alat untuk mencapai perbaikan kualitas pembelajaran di kelas/sekolah. Kurikulum Merdeka satu bagian saja dari upaya yang lebih menyeluruh untuk meningkatkan perbaikan kualitas pembelajaran yang butuh sistemik atau menyeluruh,” ujar Anindito.
Miskonsepsi berikutnya menyatakan seolah-olah ada cara penerapan Kurikulum Merdeka yang benar dan salah secara absolut. Penerapan Kurikulum Merdeka ini kontekstual sesuai kebutuhan, karakteristik, dan fasilitas sekolah yang berbeda-beda. Dengan demikian, kriteria salah atau benar implementasi Kurikulum Merdeka dilakukan dengan melihat apakah berdampak dalam menstimulasi tumbuh kembang, karakter, dan kompetensi anak didik.
Berikutnya, ada anggapan bahwa penerapan Kurikulum Merdeka juga seolah-olah harus menunggu pelatihan dari pusat. Kenyataannya, sekolah tidak perlu menunggu pelatihan dari pusat karena percaya guru dan sekolah bisa mengambil inisiatif untuk mengembangkan kapasitas secara mandiri.
”Kemendikbudristek menyediakan sumber daya dan perangkat belajar untuk digunakan guru dan sekolah secara mandiri sesuai kapasitas. Tidak ada pelatihan seragam atau mengasumsikan dari pusat yang paling tahu langkah baku yang bisa diterapkan di semua sekolah. Semua harus mencoba untuk memahami dan menerjemahkan secara mandiri sesuai konteks masing-masing,” papar Anindito.
Selanjutnya, ada anggapan proses penerapan Kurikulum Merdeka bisa instan, langsung bisa dan tuntas. Kenyataannya, cara mengajar guru tidak seketika bisa berubah. Sebab, proses perubahan tidak bisa instan karena seperti proses belajar, ada naik dan turun. Namun, yang penting, guru menerapkan siklus belajar dan merefleksikannya.
Semua harus mencoba untuk memahami dan menerjemahkan secara mandiri sesuai konteks masing-masing. (Anindito Aditomo)
Selain itu, Kurikulum Merdeka dituding seolah-olah hanya bisa diterapkan di sekolah dengan fasilitas lengkap. Menurut Anindito, justru Kurikulum Merdeka fleksibel sehingga bisa diterjemahkan dan dioperasionalkan menjadi kurikulum sesuai kebutuhan sekolah di mana pun, termasuk di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) atau sekolah dengan fasilitas minim. Guru yang belum siap tetap bisa menerapkan sesuai tingkat kesiapan dan konteks sekolah.
Anindito menegaskan, prinsip Kurikulum Merdeka berorientasi pada murid dengan memprioritaskan tumbuh kembang, kompetensi, dan karakter. Bagi guru, kurikulum ini berorientasi pada murid karena materi berfokus pada hal-hal esensial. Guru jadi tidak terburu-buru dalam mengajar dan dapat mengembangkan berbagai metode belajar interaktif, mendalam, serta menyenangkan.
Ada jam pembelajaran khusus sekitar 20-30 persen jam pelajaran untuk pembelajaran berbasis proyek, seperti membuat karya seni, kewirausahaan, dan memecahkan masalah di sekitar sekolah. Pembentukan karakter siswa terbentuk dari pengalaman belajar yang interaktif, aplikatif, dan kontekstual.
Suparmin Setto, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, mengatakan, pemerintah daerah mentransformasi pendidikan dengan dukungan INOVASI sejak 2017, terutama di jenjang SD. Hal ini berawal dari capaian asesmen literasi dan numerasi yang rendah.
”Awalnya kesulitan untuk mengajak guru berubah, mau belajar dan meningkatkan kompetensi dan kapasitas. Dengan menguatkan komunitas belajar guru dan kepala sekolah, perubahan bisa terjadi. Ketika Kurikulum Merdeka diterapkan, para guru sudah biasa melakukan prinsip-prinsipnya, seperti asesmen diagnostik pada baseline dan mengajar secara berbeda sesuai kebutuhan siswa,” kata Suparmin.
Kepala SMPN 7 Makassar, Sulawesi Selatan, Muhammad Nasir mengakui guru dan tenaga kependidikan awalnya kebingungan dan tidak yakin dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Ada berbagai pendapat dalam mengimplementasikan, terutama tentang pembelajaran berbasis proyek untuk Profil Pelajar Pancasila.
Namun, sosialisasi dan komunikasi terus dilaksanakan dengan guru dan tenaga kependidikan, juga siswa serta orangtua. Akhirnya, pembelajaran berbasis proyek untuk Profil Pelajar Pancasila bisa berjalan dan berdampak baik bagi siswa yang mampu belajar secara kreatif.
”Kami mengajak siswa untuk mencoba mengenali lingkungan sekitar dan mencari solusi. Kreativitas bermunculan sehingga solusi yang ditawarkan tidak satu, tetapi beragam,” kata Nasir.
Yenni Puspandari, guru penggerak dari SMPN 1 Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, mengakui awalnya pemahaman guru beragam dan banyak miskonsepsi, tetapi kini makin baik karena ada komunitas belajar di daerah dan sekolah. Ada platform Merdeka Mengajar untuk mendukung guru belajar secara mandiri, berbagi, dan berjejaring.