Menakar Implementasi Kurikulum Merdeka secara Mandiri
Implementasi Kurikulum Merdeka pada Juli 2022 makin luas baik di sekolah penggerak maupun satuan pendidikan secara mandiri. Tantangan penerapan Kurikulum Merdeka pada implementasi yang sesuai dengan prinsip.
Tahun ajaran baru 2022/2023 tinggal menghitung hari. Pemulihan pembelajaran akibat pandemi Covid-19 dilakukan dengan mengoptimalkan pembelajaran tatap muka dan implementasi Kurikulum Merdeka secara masif. Ada 143.265 satuan pendidikan jenjang pendidikan anak usia dini hingga SMA/MA-belum termasuk SMK-yang bakal menerapkan Kurikulum Merdeka.
Meskipun belum jadi kurikulum resmi, Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) sudah ditawarkan secara sukarela, dimulai dari sekolah penggerak yang menjadi program Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) secara mandiri. Ada tiga kategori IKM sesuai kesiapan sekolah, yakni Mandiri Belajar, Mandiri Berubah, dan Mandiri Berbagi.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbudristek Iwan Syahril, dalam webinar ”Sapa GTK” episode ke-6, Jumat (1/7/2022), mengutarakan, pilihan Mandiri Belajar memberi kebebasan pada satuan pendidikan saat menerapkan Kurikulum Merdeka pada beberapa bagian sesuai prinsip Kurikulum Merdeka.
Hal itu bisa dilakukan tanpa mengganti kurikulum satuan pendidikan yang sedang diterapkan pada satuan pendidikan PAUD, kelas 1 dan 4 SD, kelas 7 SMO, serta kelas 10 SMA dan sederajat.
Adapun pada kategori Mandiri Berubah, pilihan ini memberikan keleluasaan kepada satuan pendidikan saat menerapkan Kurikulum Merdeka dengan memakai perangkat ajar yang tersedia pada satuan pendidikan. Mandiri Berbagi berarti satuan pendidikan diberikan keleluasaan menerapkan Kurikulum Merdeka dengan mengembangkan sendiri berbagai perangkat ajar pada satuan pendidikan.
Sementara itu, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo, di webinar forum "Temu Inovasi" ke-13, beberapa waktu lalu, menyampaikan dua kata kunci Merdeka Belajar, yakni kualitas dan berkeadilan. Dalam hal mutu, anak-anak harus dipastikan tak hanya sekolah, tetapi juga bertumbuh dan berkembang agar mendapat stimulasi karakter dan kompetensi dasar untuk masa depan.
Tahun ini hampir 150.000 sekolah mendaftar untuk menerapkan Kurikulum Merdeka. Hal itu menandakan tingginya antusiasme dari para guru dan kepala sekolah untuk menyediakan pembelajaran bermutu bagi anak-anak.
”Namun, pergantian kurikulum bukanlah tujuan, melainkan sebagai cara mencapai cita-cita. Dalam hal implementasi, penting membangun kolaborasi yang solid dengan pemerintah daerah sebagai bagian dari penyelenggara pendidikan,” kata Anindito.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP) Irsyad Zamjani menambahkan, studi tentang peran kurikulum dalam mengatasi learning loss (hilangnya pembelajaran) dan meningkatkan kemampuan literasi serta numerasi siswa telah dilakukan bersama INOVASI.
Dari studi itu terungkap, kesenjangan pembelajaran (learning gap) terjadi di 600-an satuan pendidikan di Indonesia jika dibandingkan hasil belajar siswa yang menerapkan kurikulum darurat ternyata mampu memitigasi risiko hilangnya pembelajaran (learning loss) sebulan untuk literasi dan dua bulan untuk numerasi.
”Sementara, sekolah yang menerapkan Kurikulum 2013 hasilnya, baik literasi maupun numerasi, ditemukan adanya kesenjangan sebanyak empat bulan,” urai Irsyad.
Ada daerah yang mendesak sekolah-sekolah bergabung sebagai pelaksana IKM secara mandiri. Namun, sekolah-sekolah ini tidak mendapatkan pengarahan, pendampingan, dan pembimbingan yang memadai dari dinas pendidikan daerah dan Kemendikbudristek. (Satriwan Salim)
Advisor program Inovasi, Robert Randall, menemukan adanya indikasi hilangnya lima bulan pembelajaran untuk numerasi dan enam bulan pembelajaran untuk literasi. Studi ini menjadi pijakan dan optimisme bagi Kemendikbudristek dalam implementasi Kurikulum Merdeka.
Studi PSKP dan INOVASI menunjukkan kurikulum yang lebih fleksibel lebih mampu mengakomodir karakter siswa yang beragam sehingga guru dapat memberikan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa.
Robert memaparkan mengenai manfaat dari Kurikulum Merdeka yaitu adanya ekspektasi yang jelas. ”Kita bisa lihat apa yang kita harapkan dari anak-anak, apa yang ingin anak-anak pelajari. Ekspektasi yang jelas ini terjadi di berbagai fase,” ujar Robert.
Ia menambahkan, pembelajaran berbasis proyek dalam Kurikulum Merdeka dapat membantu siswa memperdalam pelajaran. ”Pembelajaran semisal ini bisa meningkatkan relevansi antara teori dan realitas. Kurikulum Merdeka memberikan lebih banyak fleksibilitas dan meningkatkan pendekatan tim/kolaborasi dari guru dengan latar belakang yang beragam. Orang yang berkumpul dalam kelompok, mereka bisa saling belajar satu sama lain,” jelas Robert.
Persiapan IKM supaya bisa diterapkan bulan ini terus berlangsung. Mengoptimalkan teknologi digital, seperti lewat Platform Merdeka Mengajar hingga berbagai program webinar terkait IKM, dilakoni sekolah-sekolah yang mandiri untuk dapat menerapkannya.
Berbeda
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Satriwan Salim, mengatakan, dinamika regulasi dalam penerapan IKM sama halnya seperti awal diterapkan Kurikulum 2013 perlu diikuti para guru. Utamanya oleh dinas pendidikan, pelatih, atau narasumber agar memastikan informasi yang sesuai perkembangan sehingga tidak terdistorsi.
Baca juga: Implementasi Kurikulum Merdeka secara Mandiri Dibagi Tiga Kategori
Apalagi, kata Satriwan, dalam penerapan Kurikulum Merdeka ini ada perbedaan. Bagi sekolah dengan label sekolah penggerak yang kepala sekolahnya mengikuti seleksi, maka ada dukungan dari Kemendikbudristek dan dinas pendidikan daerah. Selama tiga tahun, ada pelatih ahli, in house training, dan progam pendampingan. Bahkan, ada dukungan pendanaan untuk bisa mempersiapkan transformasi.
Tak dimungkiri, ujar Satriwan, ada daerah yang mendesak sekolah-sekolah bergabung sebagai pelaksana IKM secara mandiri. Namun, sekolah-sekolah ini tidak mendapatkan pengarahan, pendampingan, dan pembimbingan yang memadai dari dinas pendidikan daerah maupun Kemendikbudristek.
”Memang perlu menjadi catatan, ketika sekolah secara mandiri, yang artinya swadaya dan swadana. Kalau sekolah mandiri IKM ini punya akses ke narasumber, pelatih kurikulum, atau sekolah penggerak, ya bisa lebih baik. Kalau tidak ada kan, sayang sekali,” ujarnya.
Padahal, menurut Satriwan, sekolah penggerak dan yang mandiri sama-sama mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Ini jadi tantangan untuk tidak membeda-bedakan.
”Kalau makna mandiri untuk pendataan, boleh saja. Tapi tetap harus ada pendampingan, pelatihan, dan sama-sama mendapatkan pendanaan. Supaya tidak terkesan perlakuan berbeda,” kata Satriwan, yang mengajar di sekolah penggerak SMA Labschool, Rawamangun, Jakarta Timur.
Satriwan mengingatkan, dalam perubahan kurikulum, implementasi harus dipastikan berjalan baik. Untuk itu, pelatihan bagi guru dan kepala sekolah untuk memahami substansi dan teknis harus benar. Apalagi, di Kurikulum Merdeka mengusung semangat kemerdekaan, fleksibilitas, dan penyederhanaan.
Kenyataannya masih cukup banyak pelatih atau narasumber yang justru tidak memahami prinsip-prinsip dasar dan paradigma Kurikulum Merdeka, termasuk tidak mengikuti perkembangan regulasi yang dikeluarkan Kemendikbudristek. ”Akibatnya, untuk pedoman perangkat ajar saja yang bisa leluasa, ada yang menyeragamkan. Padahal bisa namanya RPP, perangkat ajar, atau modul ajar asal substansinya jadi pedoman perangkat ajar sehari-hari,” kata Satriwan.
Penyiapan guru
Upaya pemulihan dan transformasi pendidikan dengan beragam program yang menyasar langsung sekolah tentunya butuh peran guru. Untuk itu, penyiapan guru menjadi hal yang harus serius dilakukan sesuai dengan kebutuhan guru dalam melaksanakan pendidikan.
Co-Founder Guru Sekolah Menyenangkan (GSM) Novi Poespita Candra mengatakan, sejak lama GSM merangkul para guru, terutama dari sekolah pinggiran, untuk mendukung dalam pelatihan perubahan mindset, strategi pembelajaran, hingga wadah berbagi antarguru. Tak heran jika dari survei tentang kesiapan menerapkan IKM, sekitar 99 persen guru yang ikut GSM menyatakan program dalam GSM yang mereka ikuti selama ini dapat mendukung IKM.
Total ada 1.328 jawaban dari 433 guru yang menyatakan GSM mendukung IKM dan berperan dalam pelatihan perubahan mindset, informasi strategi mengajar, wadah berbagi komunitas, pendampingan penciptaan kultur sekolah, dan penyediaan bahan ajar. Terdapat pula tiga jawaban di luar pilihan, yaitu pendampingan ke orangtua, penciptaan sekolah berprestasi, dan GSM mudah masuk ke struktur kurikulum
Sebaliknya, dari guru non-GSM yang menyatakan sudah siap menerapkan Kurikulum Merdeka, hampir 50 persen menyatakan karena kewajiban dari pemerintah. Sementara, sepertiganya berharap IKM dapat membantu proses pembelajaran dan sisanya karena siapnya sarana-prasarana sekolah.
Baca juga: Kurikulum Merdeka Dilaksanakan secara Mandiri di Tahun Ajaran Baru 2022/2023
Adapun guru non-GSM yang menyatakan belum siap menerapkan IKM, sekitar 41 persen karena guru merasa belum mengetahui strategi mengajar yang tepat dan 32 persen menyatakan belum menguasai keterampilan mengajar yang dibutuhkan. Hampir seperlimanya karena keterbatasan dalam mendapatkan referensi ajar dan akan menimbulkan administrasi baru.
”Dengan menyediakan pelatihan perubahan mindset, pendampingan kultur profesionalisme guru dan wadah berkolaborasi untuk saling bertukar praktik, pengetahuan, dan pengalaman, dan berbagai strategi mengajar dapat membantu kesiapan guru/sekolah dalam menerapkan IKM. Karena itu, sinergitas harus dibangun,” kata Novi.