Langkah Awal Menjadikan Kebaya Warisan Budaya UNESCO
Kebaya berkaitan dengan identias budaya dan lekat dengan perempuan Indonesia. Identitas itu rencananya dibawa ke hadapan dunia dengan menjadikannya warisan budaya tak benda yang diakui UNESCO.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Ada wacana mengusulkan kebaya sebagai warisan budaya tak benda yang diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Namun, ada proses panjang yang mesti dilalui sebelum diakui, seperti mengarusutamakan penggunaan kebaya di masyarakat.
Gerakan masyarakat pecinta kebaya dan wastra menggeliat beberapa tahun terakhir. Mereka hadir di ruang publik dengan kebaya, lengkap dengan wastra warna-warni. Busana mereka membuat orang-orang tak tahan untuk menoleh. Beberapa orang bahkan memberanikan diri bertanya soal busana yang mereka kenakan.
“Saya pernah berkebaya di Amerika Serikat. Ada beberapa orang yang bertanya ini baju dari mana karena khas sekali. Ada juga yang berhasil menebak ini busana dari Indonesia,” kata pendiri komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) Rahmi Hidayati, Selasa (12/6/2022).
Obrolan dengan warga negara asing tersebut secara tidak langsung mendorong interaksi budaya. Orang-orang asing jadi bisa mengenal Indonesia melalui busana. Sebaliknya, saat kebaya dikenakan di dalam negeri, ada harapan agar publik menyadari dan mengingat busana nasional Indonesia ini.
Kebaya ditetapkan sebagai busana nasional melalui Keputusan Presiden RI Nomor 18 Tahun 1972 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Busana Nasional dalam Keprotokolan. Di sisi lain, kebaya mewujud menjadi jati diri dan identitas perempuan Indonesia.
Mengenakan kebaya di ruang publik sesungguhnya upaya membangun narasi bahwa kebaya adalah busana versatilealias serba guna. Selama ini, kebaya masih lekat dengan titel sebagai “baju kondangan” yang hanya digunakan di kesempatan formal. Padahal, tidak juga.
Perempuan Indonesia mengenakan kebaya sejak beberapa ratus tahun lalu. Busana itu digunakan untuk pergi ke pasar, mengerjakan pekerjaan rumah, hingga jalan-jalan. Kebaya juga digunakan ketika perempuan menghadiri acara. Tentu kebaya yang digunakan untuk keduanya tidak sama. Umumnya, faktor pembedanya ada di bahan kebaya.
Desainer Didiet Maulana mengatakan, kebaya yang digunakan sehari-hari mesti nyaman dan tidak membatasi gerak pemakainya. Agar nyaman, kebaya harian bisa dibuat dari katun, batik, atau kain lurik tipis. Belakangan, ada pula yang membuat kebaya dengan bahan kaus. Kebaya juga bisa dipadukan bawahan kain berbagai model, baik yang dibuat menjadi rok maupun kulot.
“Bahan dan siluet kebaya bisa disesuaikan agar menjadi pakaian sehari-hari. Selain nyaman, kebaya juga harus bisa menunjukkan identitasnya, baik dari pilihan corak maupun warna,” ujar Didiet yang juga penulis buku Kisah Kebaya.
Sementara itu, kebaya bernuansa formal dapat dibuat dari bahan yang lebih sophisticated, seperti beludru atau brokat. Didiet menegaskan bahwa pada dasarnya, kebaya mesti jadi busana yang membuat pemakainya nyaman.
Kenyamanan pula yang berupaya dipromosikan oleh Rahmi dan kawan-kawan di PBI. Menurut Rahmi, selama ini orang-orang malas berkebaya dan berkain karena khawatir tidak nyaman. Sebagian orang juga menilai berkebaya itu merepotkan.
Padahal, dengan teknik pemakaian kain yang tepat serta pemilihan kebaya yang tepat pula, perempuan bisa saja berlari-lari. Rahmi bahkan pernah naik gunung dengan kebaya dan wastra. Ia menambahkan, dia dan teman-temannya berencana ikut lomba mendayung di Jakarta sambil berkebaya.
“Sebenarnya berkain dan berkebaya itu mudah. Kadang kita hanya butuh satu buah peniti,” kata Rahmi. “Kami berencana membuat video pendek tentang cara memakai kain yang praktis,” kata Rahmi.
Kendati dapat dimodifikasi, kebaya mesti tetap berpegang pada pakem agar tidak kehilangan esensinya. Kebaya mesti memiliki bukaan depan, simetris di sisi kiri dan kanan, serta berlengan. Beberapa kebaya yang kerap digunakan masyarakat adalah kebaya kutubaru, kebaya Kartini, kebaya krancang atau kebaya encim, dan kebaya noni.
Diklaim negara tetangga
Menurut Rahmi, kesadaran menjadikan kebaya sebagai WBTB yang diakui UNESCO bermula saat rekannya bertugas ke negara tetangga. Panitia acara di sana berkebaya. Mereka mengatakan bahwa kebaya adalah budaya negara mereka.
Sesampainya di Indonesia, Rahmi dan kawan-kawan berinisiatif mengadakan gerakan berkebaya. Pada Maret 2017, mereka menggelar acara Seribu Perempuan Berkebaya di Jakarta. Mulanya, gerakan mereka itu bertujuan agar ada hari berkebaya nasional. Untuk itu, mereka pun membuat gerakan Selasa Berkebaya.
Gerakan mereka pun meluas, begitu pula tujuannya. Selain menargetkan penetapan hari berkebaya nasional, mereka mendorong agar kebaya didaftarkan sebagai WBTB UNESCO. Wacana ini didukung banyak pihak, salah satunya Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang menghadiri peluncuran “Kebaya Goes to UNESCO” di Jakarta, Juni 2022.
“Pengakuan dari UNESCO butuh perjalanan panjang. Belum lagi, UNESCO hanya menerima satu usulan (WBTB) per dua tahun dari setiap negara,” kata Rahmi. “Kami sedang menyiapkan hal-hal yang bisa disiapkan sambil menunggu, misalnya kajian akademis soal sejarah kebaya. Kebetulan ada teman kami yang mempelajari busana (kebaya) dari naskah kuno,” tambahnya.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengatakan, pihaknya mendukung semua gerakan yang menegaskan identitas nasional melalui berbagai ekspresi budaya. Pihaknya juga memfasilitasi pertemuan dan membantu perumusan naskah pengusulan kebaya sebagai WBTB ke UNESCO.
“Kebaya punya sejarah panjang terkait identitas budaya. Kebaya tidak lagi terikat hanya pada satu-dua kelompok etnik, tapi pada masanya digunakan secara luas oleh perempuan Indonesia, bahkan Asia Tenggara,” kata Hilmar.