Menjaga Kiprah Pesantren Menebarkan Toleransi dan Mengutuhkan Bangsa
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam kunjungannya ke sejumlah pesantren di Jawa Timur mengingatkan agar para santri senantiasa menebar toleransi, menjadi insan dengan pemikiran dinamis dan moderat.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·5 menit baca
Wakil Presiden Ma’ruf Amin kembali mengenang pendiri Pesantren Tebuireng, KH Hasyim Asy'ari, saat menghadiri halalbihalal dan temu alumni nasional Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Sabtu (4/6/2022). Pada kesempatan itu, Wapres juga berziarah ke makam KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, dan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Wapres mengenang KH Hasyim Asy'ari sebagai sosok karismatik yang memperjuangkan ahlussunnah wal jamaah (komunitas atau sekelompok orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya). Sosok yang menebarkan toleransi dan keutuhan bangsa.
Saat hadir sebagai pembicara dalam seminar bertajuk ”Aktualisasi Pemikiran Aswaja Hadratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari di Era Disrupsi” di pesantren itu, Wapres Amin mengajak para pendidik, lulusan, dan santri agar dapat meneruskan warisan ilmu yang diberikan KH Hasyim Asy’ari. ”Kita harapkan apa yang diwariskan Hadratus Syeikh benar-benar terus menjadi akidah umat, menebarkan toleransi, menebarkan keutuhan bangsa,” katanya.
Kehadiran Wapres di Pesantren Tebuireng merupakan bagian dari rangkaian perjalanan kunjungan kerjanya pada pekan pertama Juni 2022 di Provinsi Jawa Timur. Dalam perjalanan itu, Wapres mendatangi sejumlah pesantren di Jombang dan Mojokerto.
Sebelumnya, Jumat (3/6/2022), Wapres Amin mengunjungi Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Ulum di Desa Rejoso, Peterongan, Kabupaten Jombang. Pada kunjungan sekitar 2 jam tersebut, Wapres berkesempatan menjadi imam shalat Jumat di Masjid Ponpes Darul Ulum.
Selain itu, Wapres juga bersilaturahmi dengan keluarga besar pesantren dan memotivasi para santri. Wapres Amin berziarah ke makam KH Romly Tamim yang berada di dalam kompleks pesantren. Kiai Romly adalah pendiri sekaligus pengasuh generasi kedua pengurus Ponpes Darul Ulum. Dahulu, KH Romly Tamim berguru kepada kakek buyut Wapres Amin, yakni Kiai Abdul Karim, saat keduanya berada di Mekkah.
Selanjutnya, Wapres Amin menuju Pondok Pesantren Amanatul Ummah dan Institute KH Abdul Chalim di Jalan Raya Tirtowening, Paras, Kembangbelor, Pacet, Kabupaten Mojokerto untuk menghadiri sarasehan bersama Pimpinan Pusat dan Wilayah Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) dan alim ulama.
Saat memberi sambutan di Ponpes Darul Ulum dan sarasehan bersama Pergunu tersebut, Wapres Amin mengungkap beragam tantangan yang kian berat serta mesti diwaspadai dan diantisipasi,antara lain, disrupsi teknologi informasi di era digital, kerusakan lingkungan, dan krisis pangan. Pesantren dan guru berperan penting dalam mendidik santri dan murid menghadapi beragam tantangan ke depan tersebut.
Ada harapan silaturahmi seperti ini dapat terus dilanjutkan sebab dapat tercipta wawasan-wawasan dan ide baru dari para peserta yang hadir.”Saya menganggap pertemuan ini forum silaturahmi dan saya kira kita perlu dukung, kita jaga, supaya para kader-kader yang dididik di tempat ini bisa mewarisi semangat dan cara berpikir yang dinamis tapi juga moderat," kata Wapres Amin di Pesantren Tebuireng.
Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz mengharapkan forum pertemuan dan silaturahmi tersebut dapat menjadi modal dan bekal mempererat persatuan antara santri dan alumni Ponpes Tebuireng.”Mudah-mudahan kita mampu memberikan manfaat, mampu memperkuat persatuan kesatuan Indonesia, dan menjadikan negara Indonesia negara yang maju,” kata Abdul Hakim Mahfudz.
Mudah-mudahan kita mampu memberikan manfaat, mampu memperkuat persatuan kesatuan Indonesia, dan menjadikan negara Indonesia negara yang maju.
Sehubungan dengan peran pesantren, Guru Besar Bidang Hukum dan Politik Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum serta Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Masykuri Abdillah, saat dimintai pandangan, Sabtu, menuturkan bahwa pesantren merupakan produsen ilmu-ilmu keagamaan. ”Jadi, di situlah akan kelihatan apakah orang itu memahami agama secara radikal, ekstrem, atau moderat. Pesantren, terutama yang di bawah NU, semuanya adalah mengajarkan Islam moderat,” katanya.
Dalam makalahnya yang berjudul ”Aktualisasi Pemikiran Aswaja KH Hasyim Asy’ari: Perspektif Sosial Politik”, Masykuri menekankan bahwa pemikiran Kiai Hasyim yang mengusung doktrin ahl al-Sunnah sangat penting diaktualisasikan saat ini. Pemikiran tersebut penting diaktualisasikan, baik dalam kehidupan sosial maupun politik.
Menurut Masykuri, dengan pemahaman dan pelaksanaan Islam menurut paham ahl al-Sunnah tersebut, umat Islam dapat toleran terhadap perbedaan yang ada; baik perbedaan mazhab, perbedaan agama, perbedaan suku, maupun perbedaan pilihan politik.
Bersikap moderat
Saat diwawancara selama perjalanan darat dari Surabaya ke Jombang, Sabtu, Masykuri, staf khusus Wapres RI dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, menuturkan peran penting pesantren dalam mempersiapkan tokoh-tokoh agama yang berpikir dan berperilaku moderat sehingga ke depan Indonesia tetap aman, damai, dan rukun. Bahkan, Indonesia pun dapat berbagi gagasan moderasi tersebut ke luar negeri.
Berkaitan munculnya guru-guru bangsa dari kalangan santri atau pesantren, Masykuri menyebut ada banyak faktor yang memengaruhinya. ”Secara intelektual mereka adalah orang-orang yang memiliki intelektualitas tinggi, secara akademik juga hebat; (seperti) Gus Dur, Nurcholish (Madjid), Syafii Maarif. Selain memiliki intelektualitas tinggi, mereka juga punya ketokohan,” kata Masykuri.
Gus Dur, misalnya, pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Adapun Nurcholish Madjid pada masa mudanya pernah menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam. “Dan, mereka bicara di saat orang sedang membutuhkan (tawaran pemikiran), jadi tidak lepas dari konteks jaman. Ketika pada saat itu orang banyak membicarakan persoalan agama dan negara, dan belum ada jawaban secara intelektual akademik, (mereka) ini muncul sehingga (pemikiran mereka) kemudian sangat tampak saat itu, terutama di dekade 70-an dan 80-an,” kata Masykuri.
Apalagi, saat itu belum banyak orang yang muncul dengan lontaran pemikirannya mengenai persoalan tersebut. Jumlah orang yang berpendidikan tinggi kala itu pun belumlah sebanyak tahun-tahun belakangan sehingga figur yang memiliki kelebihan dalam ilmu akan jelas terlihat.
”Kemudian juga konteksnya. Konteksnya sekarang sudah cair, penjelasan tentang agama dan negara itu sudah cair. Walaupun tetap ada yang mempersoalkan, tetapi sudah cair. Berbagai macam pandangan (sekarang) sudah muncul, kalau waktu itu, kan, belum,” kata Masykuri.
Berkenaan dengan toleransi, Masykuri menuturkan bahwa Indonesia sangat menekankan hal tersebut. ”Jadi, memahami Islam rahmatan lil alamin dalam bentuk toleransi, kehidupan toleransi. Toleransi itu ada tiga, pertama hubungan internal umat Islam,” katanya.
Kedua, toleransi dalam kaitan hubungan Muslim dan non-Muslim. ”Kita sangat rukun. Dan kita (Muslim) tidak menganggap mereka (non-Muslim) sebagai musuh. Kita menganggap mereka non-Muslim, tidak kafir,” ujar Masykuri.
Kita bisa menoleransi Indonesia adalah negara Pancasila. Bahkan bukan hanya toleran, kita mendukung, karena itu adalah hasil perjuangan para ulama juga pada masa pembentukannya, terutama di masa revolusi.
Ketiga, toleransi dalam kaitannya dengan negara. Mayoritas muslim di Indonesia menerima Pancasila. ”Jadi, (berkenaan dengan) negara yang disepakati oleh bangsa Indonesia, (oleh) tokoh bangsa Indonesia, termasuk di antaranya adalah ulama, kita menerima sehingga kita bisa menoleransi Indonesia adalah negara Pancasila. Bahkan bukan hanya toleran, kita mendukung, karena itu adalah hasil perjuangan para ulama juga pada masa pembentukannya, terutama di masa revolusi,” kata Masykuri.