Pemahaman Agama Mendalam dan Komprehensif Kuatkan Moderasi dan Toleransi
Pemahaman agama yang mendalam dibutuhkan untuk memperkuat sikap toleran. Semangat beragama yang inklusif juga harus dikembangkan demi kemajuan bangsa.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemahaman agama yang mendalam dan komprehensif dinilai bisa memperkuat moderasi dan toleransi dalam beragama. Oleh karena itu, para tokoh agama harus terus mendekatkan umat dengan ajaran agama yang inklusif untuk mendorong tumbuhnya perilaku toleran.
Demikian terungkap dalam webinar ”Peran Tokoh Agama dalam Mewujudkan Ajaran yang Rukun dan Toleran bagi Persatuan Bangsa”, Minggu (8/5/2022). Acara itu diadakan Komisi Hubungan Antar-Agama dan Kemasyarakatan (HAAK) Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) dalam rangka peringatan 215 tahun KAJ.
Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Nasaruddin Umar, mengatakan, salah satu tantangan besar di era modern saat ini adalah adanya kecenderungan umat semakin berjarak dengan agamanya masing-masing. Padahal, saat umat makin berjarak dengan agama, cenderung timbul masalah kemanusiaan.
”Tantangan kita, bagaimana membuat jarak antara umat dan agamanya semakin dekat. Cara mendekati masyarakat kita juga perlu seni tersendiri. Di dalam memperkenalkan dan menekankan aspek-aspek pendalaman keagamaan, itu juga perlu mengindahkan tata krama kebangsaan dan kemasyarakatan kita,” kata Nasaruddin.
Menurut Nasaruddin, semakin dalam seseorang memahami agamanya, ia akan semakin moderat dan toleran. Hal itu juga berlaku sebaliknya. Maka, membuat umat memahami agama secara mendalam dan komprehensif menjadi tantangan, terutama bagi para tokoh agama.
”Bila kita melihat ada orang mengatasnamakan kelompok agama dan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan misi suci agama seperti keadilan, ketenteraman, ketenangan, kesatuan, dan keakraban, maka itu mendemonstrasikan dirinya sebagai orang yang belum memahami agama secara mendalam,” tuturnya.
Pakar dari Aliansi Kebangsaan, Yudi Latif, mengatakan, agama punya kemampuan yang bersifat paradoksal. Di satu sisi, agama bisa mendatangkan kemaslahatan, tetapi di sisi lain jika dijalankan secara keliru dapat membawa kerusakan luar biasa. Oleh karena itu, semangat beragama yang inklusif harus dikembangkan.
Yudi menjelaskan, agama punya fungsi sosiologis dan psikologis. Secara sosiologis, agama adalah institusi sosial dengan semen perekat yang sangat kuat.
Secara psikologis, agama bisa mendorong daya juang dan etos kerja positif. Oleh karena itu, agama memiliki daya motivasi luar biasa untuk mendorong kemajuan suatu bangsa. Namun, apabila dorongan motivasi dari agama itu salah arah, etos keagamaan hanya berhenti pada ritualisme dan formalisme sehingga tidak mendorong kemajuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
”Untuk mengembangkan etos dan etika keagamaan yang kondusif bagi bangsa, kita harus mengembangkan satu spirit agama yang inklusif. Indonesia ini beragam, agar keberagaman menjadi berkah, bukan kutukan, kita harus mampu membangun titik temu,” ujarnya.
Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo mengatakan, selama lima tahun terakhir dan lima tahun ke depan, KAJ ingin mengajak umat Katolik bertumbuh dengan dua sikap utama, yakni cinta Tanah Air dan kepedulian terhadap sesama.
”Saya merasa, bila seandainya semangat cinta Tanah Air semakin berkembang di tengah masyarakat dan kepedulian itu semakin tersiar luas, saya yakin dengan sendirinya toleransi dan moderasi itu pelan-pelan akan tumbuh karena ada dasarnya yang sangat kuat yang perlu dirawat, dijaga, dan dikembangkan,” kata Suharyo.