Semangat Mengajar Agama Tanpa Sekat
Masyarakat kini bisa belajar agama tanpa dibatasi ruang dan waktu seiring kemajuan teknologi. Para guru dituntut kreatif dan mengedepankan moderasi beragama demi menjunjung toleransi.
Gairah warga untuk memperkuat pemahaman agama begitu tinggi. Kini, pendidikan agama tak hanya diajarkan di sekolah, tetapi juga digelar lembaga nonformal hingga dunia digital. Selain untuk memperdalam ilmu agama, pendidikan itu juga untuk membentuk karakter baik pada anak.
Dengan sarana terbatas, para guru bersemangat mengajar agama di sejumlah lembaga pendidikan nonformal. Para guru agama juga beradaptasi dengan teknologi digital untuk mempermudah akses belajar agama bagi para siswa.
Di satuan pendidikan keagamaan Islam nonformal Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA) Lontar, di Dukuh Bitung, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, misalnya, sekitar 70 anak usia sekolah dasar belajar di sana pukul 14.00-16.00 sepulang sekolah.
Sebelum masuk ruangan, anak-anak diminta mencuci tangan dan kaki, lalu berdoa bersama. Anak-anak dibagi sesuai jenjang kelas dan belajar di aula. Anak-anak membaca surat-surat pendek Al Quran 15 menit pertama, dilanjutkan mengaji dan menerima materi pelajaran dari para guru.
Baca juga: Nasib Guru Agama Masih Terpinggirkan
Menurut Majid (33), guru di MDTA Lontar, sekolah itu beroperasi sejak 2017. Dulu, anak-anak di daerah itu kerap bermain setelah pulang sekolah. Kebanyakan orangtua bekerja di pasar sehingga tak bisa mengawasi anaknya. Sebagian anak usia SMP belum bisa mengaji. Jadi, ia bersama istri dan sejumlah teman membuat pesantren Ramadhan lalu berkembang menjadi MDTA.
”Madrasah ini jadi alternatif mengisi waktu anak-anak SD. Murid kami berusia 7-13 tahun. Mereka diajari akidah, fikih, sejarah, bahasa Arab, praktik ibadah, hadis, hingga Al Quran,” kata Majid, Sabtu (25/4/2022). Karena anak-anak berusia lebih muda dititipkan orangtuanya di sekolah itu, Majid akhirnya juga membuat kelas khusus bagi anak berusia di bawah tujuh tahun.
Semula MDTA Lontar menetapkan iuran Rp 30.000 per bulan per anak, tapi pembayaran kerap macet. Padahal, hasil iuran belum cukup untuk membayar honor guru. Pengelola pun menetapkan iuran Rp 1.000 per orang tiap pertemuan. ”Ada alokasi (dana) dari pemilik yayasan untuk honor guru,” ucap Majid, alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir.
Karena tak bisa bergantung kepada pekerjaan sebagai guru mengaji, Majid jadi penerjemah kitab kuning. Majid mempunyai tanggung jawab moral mengajar pendidikan agama. ”Ada orangtua bilang anaknya kini bisa mengaji dan cium tangan orangtua. Itu menyemangati saya mengajar,” katanya.
Beradaptasi
Sementara itu, Firman Mirat, guru Agama Islam di MTs negeri di Majalengka, mengatakan, guru mesti beradaptasi dengan teknologi. Kreativitas mesti diasah agar pelajaran menarik, antara lain membagikan tautan video pelajaran agama di internet ke siswa lalu didiskusikan bersama.
Di sisi lain, perkembangan teknologi memungkinkan publik mendalami agama dengan berbagai cara. Platform konten audio NOICE, misalnya, membuat siniar (podcast) bertajuk ”Kasturi” (Komeng, Adul, Ustaz Subki Tiga Puluh Hari) selama Ramadhan. Siniar ini berisi dakwah Islami yang diselingi komedi.
Platfrom ini juga menyediakan berbagai konten selama Ramadhan, seperti siniar Cerita Nabi dan Rasul yang diisi berbagai kreator. Ada juga siaran langsung saat sahur. ”Kurasi konten telah kami siapkan dalam berbagai vertikal, mulai dari podcast, audiobook, audioseries, hingga NOICE Live,” kata Chief Business Officer NOICE Niken Sasmaya melalui keterangan tertulis, 1 April 2022.
Guru mesti beradaptasi dengan teknologi. Kreativitas mesti diasah agar pelajaran menarik, antara lain membagikan tautan video pelajaran agama di internet ke siswa lalu didiskusikan bersama.
Penguatan pada pengenalan Tuhan secara dini lewat kegiatan Sekolah Minggu (SM) juga dilakukan umat Kristen. Pandemi Covid-19 mengahalangi anak-anak usia balita hingga SD untuk hadir secara langsung di kegiatan SM di geraja. Namun, ibadah SM yang diselingi dengan aktivitas menggambar, kuis, dan main gim berbasis cerita Alkitab tetap bisa dilakukan secara daring.
Baca juga: Setia Mengajar meski Swadaya
Di SM HKBP Pasar Rebo, Jakarta Timur, para guru sekolah Minggu yang terdiri atas anak-anak muda, kreatif untuk menghadirkan acara SM secara daring. Kanal Youtube dipakai sebagai sarana untuk membuat video kebaktian dengan menyanyi dan pembacaan Firman Tuhan serta cerita Alkitab. Lalu, perjumpaan daring yang dibagi sesuai kelas untuk memperdalam pemahaman Alkitab.
Kelas SM untuk anak-anak Kristen digelar secara gratis. ”Ada hampir satu tahun anak saya tidak aktif SM secara daring. Karena pandemi Covid-19 berkepanjangan, saya merasa khawatir dengan pertumbuhan rohani anak saya. Pelan-pelan, saya ajak anak-anak untuk zoom bersama kakak SM. Tidak tiap Minggu bisa rutin ibadah online, tapi anak-anak mulai menikmati,” kata Faider, orangtua anak SM di HKBP Pasar Rebo.
Menurut Faider, sebagai orangtua tentu ingin anak-anak kuat dalam iman agar tidak mudah tergoda pada hal-hal tidak baik, terutama ketika besar nanti. Karena itu, pendidikan agama jadi prioritas di dalam keluarga yang juga diperkuat di sekolah dan gereja lewat SM anak.
Tidak sekadar hafalan
Sementara itu, di pendidikan formal, para guru agama juga mulai mengembangkan pendidikan agama yang tak sekadar hafalan ayat dari isi kitab agama masing-masing. Pendidikan agama dibawa untuk juga memperkuat kesadaran pada keberagaman, kemanusiaan, dan kebangsaan.
Para guru pendidikan agama Islam di sekolah umum yang tergabung di Asosiasi Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) di tahun 2020 meluncurkan Guru Pelopor Moderasi (GPM). Sejauh ini, GPM tak hanya menjangkau guru PAI, tetapi juga guru agama lain, yakni Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu.
Ketua Umum AGPAII Mahnan Marbawai mengatakan, GPM diluncurkan 26 Maret 2020 pada kegiatan tahunan Musyawarah Nasional AGPAII yang dihadiri secara daring oleh Menteri Agama Yaqut Kholil Qaumas.
Baca juga: Menabur Benih Kebaikan dengan Mengajar Pendidikan Agama
Awalnya kegiatan GPM dilaksanakan oleh guru AGPAII, lalu melibatkan guru-guru semua agama. Ada sekitar 78 guru Pendidikan Agama Islam dan sekolah madrasah yang terlibat tanpa pendampingan, petunjuk teknis, dan pendanaan.
Mereka menjadi guru pelopor moderasi dengan menjadi sukarelawan, menyemai nilai-nilai toleransi, dan menghargai perbedaan agama serta keragaman lain. Setiap dua minggu sekali, guru GPM memaparkan gagasan-gagasan baik moderasi beragama.
Berbagi praktik baik para volunter GPM dituliskan di buku berjudul ”Guru Pelopor Moderasi: Best Practice Moderasi Beragama di Sekolah dan Madrasah”. Penerbitan buku ini atas kerja sama AGPAII dan Kementerian Agama di tahun 2021.
Pendidikan agama dengan semangat moderasi beragama ini untuk menjawab tantangan nyata di lembaga pendidikan saat ini. Ada intoleransi (tidak menghargai perbedaan, penyebaran ujaran kebencian, diskriminasi, eksklusif, dan paham radikal teroris).
Ada pula kekerasan atas nama agama dan sosial (penolakan, pemaksaan, pengucilan, pengusiran, intimidasi, dan hoaks) serta penguatan isu moderasi di sekolah (kebangsaan, nasionalisme, ideologi Pancasila, dan kearifan lokal).
Guru Agama PAI SMPN 1 Cirebon, Asep Syaefurrachman, menguatkan ekstrakurikuler keagaman di sekolah yang bernama ESQul The Voissa dengan kegiatan majalah dinding dan buletin Islam, nasyid, dan tahfizhul, dengan isu moderasi agama. Supaya menarik minat siswa, pemanfaatan teknologi digital jadi sarana yang utama.
”Saya ingin mengajak anak-anak menginternalisasi Islam moderat, toleransi, hingga antikekerasan. Sesuai dengan gaya anak sekarang, teknologi digital atau media sosial harus dimanfaatkan,” ujar Asep.
Baca juga: Moderasi Beragama
Jadilah Pekan Moderasi Beragama (Pesima) penambah kegiatan ekskul tiap bulan. Asep merancang pemahaman tetang moderasi beragama lewat kreativitas siswa. Ada empat indikator moderasi beragama yang bisa dipilih, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan akomodatif terhadap budaya lokal.
Pesan moderasi beragama dalam PAI dibuat bervarisi. Ada dalam bentuk video pendek 1 menit, podcast, radio streaming, poster, dan diskusi. Karya siswa ini bisa disaksikan di media sosial.
”Penyelenggaraan relatif murah. Saya bermodal Rp 150.000 untuk beli satu set trofi penghargaan dan e-sertifikat tanpa modal. Saya ingin mengajak siswa bisa melaksanakan dan mempromosikan cara beragama yang inklusif dan toleran di dunia digital. Akhirnya, program ini mendapat dukungan sekolah,” tuturnya.
Berbagai inovasi yang dilakukan para guru agama membuka sekat-sekat komunikasi dan sosial di masyarakat. Selain memperluas akses belajar agama tanpa batas melalui pendidikan informal dan teknologi informasi, sejumlah guru juga menunjukkan semangat moderasi beragama untuk membuka sekat-sekat antarumat beragama.