Menabur Benih Kebaikan dengan Mengajar Pendidikan Agama
Jumlah guru pendidikan agama yang belum memadai membuat sebagian siswa kesulitan belajar agama di sekolah. Sebagian orang pun mengabdikan diri agar siswa tetap bisa belajar.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Dalam perspektif sebagian orang, pelajaran Agama bukan termasuk daftar mata pelajaran ”penting”. Jumlah guru Agama pun tergolong sedikit. Ini berimbas ke terbatasnya akses pelajaran agama bagi para siswa. Walakin, ada yang rela mengabdikan diri mengajar Agama walau imbalannya tak seberapa.
Dulu, saat masih mengajar di sebuah sekolah swasta di Tebet, Jakarta Selatan, John Paul (29) menerima tawaran untuk mengajar Agama Katolik di sebuah SMA negeri di Bekasi. Siswa Katolik di SMA itu tidak mempunyai guru Agama dan selalu menunggu di luar kelas setiap jam pelajaran Agama Islam. Mereka pun minta disediakan pelajaran Agama Katolik kepada pihak sekolah.
”Dulu, sempat ada bruder (rohaniwan Katolik) yang mengajar di sana. Saya menggantikan bruder karena beliau hanya bisa mengajar sebentar. Mencari guru agama Katolik memang sulit. Karena itu, saya memberanikan diri mengajar di sana sejak 2017,” kata John saat diwawancarai, Minggu (24/4/2022).
Keputusan itu membuat ia kian sibuk. Ia mesti menuntaskan kewajiban mengajar di sekolah swasta terlebih dahulu dari pagi hingga pukul 14.30. Ia baru mengajar di SMA pada sore hari. Hal itu dilakukan setidaknya tiga kali dalam seminggu.
Kini, John bekerja sebagai guru agama Katolik di sekolah yang dikelola yayasan Buddha. Ia mengajar di sana pada hari Rabu hingga Sabtu. Hari Senin dan Selasa pun digunakan untuk mengajar di SMA. Mengajar di dua tempat membuat ia mesti pintar membagi waktu. Ini karena ia harus mengajar siswa kelas 10, 11, dan 12 di SMA negeri, serta siswa SD, SMP, dan SMA di yayasan Buddha.
Selain waktu, tantangan lain yang dihadapi adalah honor. Sebagai guru honorer di SMA negeri, John, mengaku tidak menerima gaji. Ia hanya menerima uang transportasi dari pihak sekolah. Jumlahnya Rp 450.000 per bulan saat ia pertama kali mengajar di 2017. Uang transportasinya kini sekitar Rp 600.000 per bulan.
”Orang lain berpikir gaji saya tinggi karena mengajar di dua tempat, padahal tidak. Saya mengajar sebagai bentuk pelayanan,” kata John. ”Untuk hidup sehari-hari, saya mengandalkan gaji dari pekerjaan saya di yayasan. Jumlahnya memadai,” ujarnya.
Bukan ASN
John yang bukan aparatur sipil negara (ASN) berniat mengikuti program profesi guru atau PPG. Namun, ia dan guru-guru agama lain mengaku tidak mendapat informasi yang cukup. Sementara itu, pihak sekolah umumnya memprioritaskan guru senior untuk ikut PPG. John yang baru beberapa tahun mengajar hanya bisa menunggu giliran.
Adapun Firman Mirat, guru pendidikan agama Islam (PAI) di MTs Negeri di Majalengka, mengatakan, dirinya adalah guru bukan ASN. Sebelumnya, ia merupakan guru honorer yang digaji sekitar Rp 20.000 per jam pelajaran. Ia mengajar 26 jam pelajaran seminggu.
Firman yang menyandang gelar S-2 ini telah menyelesaikan PPG pada 2019. Gajinya kini Rp 1,5 juta.
Sejak mengajar pada 2008, ia belum menjadi ASN. Ia telah mengikuti tiga kali tes, tetapi belum berhasil. Ia tidak bisa ikut tes lagi karena sudah berusia di atas 35 tahun.
”Mengajar itu lebih ke pengalaman spiritual buat saya. (Gaji) kok bisa cukup? Padahal, saya punya anak dan istri. Saya anggap itu barokah. Mungkin ada kebaikan di proses belajar mengajar sehingga saya dicukupkan (oleh Allah),” ujar Firman.
Pentingnya belajar agama
Kendati menghadapi berbagai tantangan, Firman tetap mengajar karena memiliki tanggung jawab moral. Lulusan pondok pesantren ini diberi amanah oleh gurunya untuk berkecimpung di dunia pendidikan, kemudian meneruskan ilmunya ke anak-anak.
Mengajar itu lebih ke pengalaman spiritual buat saya. (Gaji) kok bisa cukup? Padahal, saya punya anak dan istri. Saya anggap itu barokah. Mungkin ada kebaikan di proses belajar mengajar sehingga saya dicukupkan (oleh Allah).
Firman menambahkan, perkembangan teknologi membuat anak jadi mudah mengakses segala informasi, termasuk soal agama. Ia khawatir anak-anak belajar agama dari sumber yang ilmunya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Itu sebabnya ia tetap teguh menjadi guru agama.
”Kehausan orang untuk belajar agama cukup tinggi, tetapi ini tidak dibarengi dengan adanya guru yang mumpuni. Anak-anak sekarang lebih mengedepankan apa yang mereka dapat dari medsos, dari orang lain tanpa mengklarifikasi keilmuan gurunya,” ucapnya.
Sementara itu, John menilai bahwa beragama saja belum cukup. Pendidikan agama penting karena mengajarkan berbagai perspektif dan kedalaman iman. ”Nilai agama kerap saya kaitkan dengan nilai dan moral di masyarakat,” katanya.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, moderasi beragama merupakan perekat semangat beragama dan komitmen bangsa. Mendesain moderasi beragama dinilai mesti terjadi di sektor pendidikan, baik pendidikan formal maupun nonformal.
”Untuk menguatkan moderasi beragama, kami telah mengembangkan empat modul. Salah satu modul menyoal integrasi moderasi beragama pada pendidikan agama Islam. Kami harap para guru pendidikan agama Islam tidak berhenti pada kegiatan simbolik, tetapi aksi nyata untuk siswa,” kata Yaqut (Kompas.id, 27/3/2021).