Wasathiyah bukan sekadar moderasi beragama, tetapi moderasi gerakan yang bisa memandang semua sebagai kawan. Tantangan ”wasathiyah” saat ini, menahan diri untuk tidak terjebak dalam kepentingan politik praktis.
Oleh
FAUZ NOOR
·4 menit baca
Ketua Tanfidziyah PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) di masa kepemimpinannya yang baru beberapa minggu ini telah melakukan gebrakan yang sangat elegan. Ia berjuang untuk benar-benar mensterilkan NU dari politik kekuasaan. Ia mengancam seluruh PCNU, dari mulai surat peringatan sampai pembekuan, yang terangan terlibat politik praktis. Ia juga melakukan moratorium pengaderan MKNU (Madrasah Kader NU) dan PKPNU (Pelatihan Kader Penggerak NU), serta menghentikan seluruh proses pembuatan E-Kartanu. Salah satu alasannya, sering terjangkit atau terisi kepentingan politik elektoral. ”Jangan bikin malu NU,” ujar putra almarhum al-magfur lah KH Cholil Bisri tersebut.
Nahdlatul Ulama, sebagai ormas Islam terbesar di dunia, mempunyai peran strategis dalam membangun peradaban manusia. Seperti dalam logo NU, ”melintasi bola dunia”. Sungguh menjadi kerdil jika hanya bicara politik kekuasaan yang sempit, yang terpenjara oleh kepentingan partai politik.
Jika memproklamasikan sebagai ormas yang hendak ”melintasi dunia”, satu-satu jalan yang mesti ditempuh adalah meneguhkan wasathiyatul-Islam yang menjadi ciri khas dari Ahlus-sunnah wal-Jama’ah. Meneguhkan wasthiyah sebagai ruh gerakan. Membersihkan wasathiyah dari sahwat politik elektoral.
Adalah lucu, jika wasathiyah yang notabene mempunyai semangat sebagai wasit, sebagai penengah, malah mengkristal menjadi satu identitas yang tertumpangi politik elektoral. Salah satu yang hendak dikikis dari wasathiyah adalah politik identitas atau politisasi agama.
Nah, jika wasathiyah malah terjebak dalam politik praktis, justru membentuk politisasi agama kembali. Wasathiyah mestilah bisa merambah ke semua kekuatan masyarakat, dan menjadi kawan akrab tempat berdialog bagi semua. Wasathiyah bukan sekadar moderasi beragama, tetapi moderasi gerakan yang bisa memandang semua sebagai kawan. Singkat kata, wasit tidaklah punya musuh.
Sungguh, menjadi wasit dalam ruang sosial bukanlah tugas mudah. Siapa pun yang hendak menjadi wasit, selain mesti memenangkan akal atas nasfu, juga mesti menekan tymos dalam dirinya sendiri demi kemaslahatan umat.
Sokrates punya teori, the third of soul. Jiwa manusia memiliki tiga sifat dasar. Pertama, keinginan atau hawa nafsu (desire). Kedua, akal atau rasionalitas (reason). Dua sifat dasar ini sering kali bertempur pada diri manusia, berebut untuk dibumikan. Ketiga, adalah semangat atau spirite, yang dalam bahasa Yunani disebut thymos. Menurut Socrates, thymos adalah suatu sifat yang dimiliki oleh seorang prajurit atau rakyat untuk mengabdi kepada kerajaan. Ketika Timnas Indonesia menang, kita bangga dan senang, adalah karena kita punya tymos nasionaisme. Kader NU militan, adalah tymos ke-Nu-annya yang luar biasa.
Tymos ke-NU-an adalah ahlussunnah wal-Jama’ah yang bercirikan wasathiyah.
Tymos ke-NU-an adalah ahlussunnah wal-Jama’ah yang bercirikan wasathiyah. Sungguh berat karena seluruh kader NU mesti menekan kepentingan pribadi atau golongan, demi mewujud sebagai wasit yang bisa merangkul semua. Sejarah pun membuktikan, menulis dengan tinta emas, para ulama Aswaja adalah penjaga peradaban, adalah perawat tradisi risalah Nabi Muhammad SAW, dan namanya harum sampai detik ini, karena keikhlasan mereka meneguhkan wasathiyah.
Sebut saja sebagai contoh, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam horizon sosial di mana wasathiyah atau NU ditekan dan dimusuhi oleh kekuasaan, ia terus merangkul semua sambil terus merawat tradisi, sehingga dihormati lawan apalagi oleh kawan.
Tidak ada niat baik, tidak ada gerakan, yang tanpa lawan. Toh Rasulullah SAW sendiri mendapatkan banyak rintangan dan perlawanan. Hanya saja, wasathiyatul-Islam mengajarkan untuk berbuat santun kepada siapa pun. Kemanusiaan adalah yang utama.
Dewasa ini, tantangan wasathiyah, selain mesti terus mengampanyekan moderasi beragama, menyegarkan pemahaman tentang Islam yang santun dan damai, meluruskan pemikiran ekstrem yang kerap memakai kekerasan sebagai jalan dakwah, adalah juga menahan diri untuk tidak terjebak dalam kepentingan politik praktis. Karena, bagaimanapun, politik selalu menyimpan kepentingan, dan bertarung demi kepentingan-pribadi atau golongan adalah bukan tymos dari mereka yang bergabung ke dalam wasathiyah. Seperti kata Gus Yahya, ”Silakan kader-kader NU berpolitik, tetapi jangan bawa-bawa NU!”
Nahdlatul Ulama pemegang tongkat estafet Aswaja, mesti menjadi wasit dalam hiruk-pikuk sosial-politik sekarang ini. Mesti mampu merangkul semua. Menjadi kawan semua, baik non-Muslim maupun Muslim. Alahkan elok jika dalam acara-acara NU, sampai dihadiri kawan-kawan mantan FPI dan HTI. Dalam skala lokal, semangat ukhuwwah ini banyak terlaksana, yang kita tunggu adalah silaturahmi nasional yang bisa membuat adem semua warga negara.
Wasathiyatul-Islam bukanlah milik satu ormas, bukan milik NU, bukan milik Muhammadiyah, tetapi semestinya milik semua kaum Muslim. ”Dan telah Kami jadikan kalian (umat Islam) sebagai umat wasathiyah, agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad Saw) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS al-Baraqah: 143).
Fauz Noor, Pengasuh Pondok Pesantren Fauzan Kota Tasikmalaya; Dosen Institute Agama Islam Tasikmalaya; Penulis Novel