Lagi, Puluhan Bangunan di Kota Malang Ditetapkan sebagai Cagar Budaya
Pemkot Malang kembali menetapkan puluhan bangunan dan benda bersejarah di wilayahnya sebagai cagar budaya. Bangunan yang ditetapkan sebagai cagar budaya mendapat keringanan pajak.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Pemerintah Kota Malang kembali menetapkan puluhan bangunan dan benda bersejarah di wilayahnya sebagai cagar budaya. Dengan penetapan itu, bangunan dan benda tersebut diharapkan tetap dilestarikan dan tidak dirusak.
”Ada perjuangan banyak pihak di balik upaya pelestarian aset sejarah kota kita tercinta. Semoga warisan yang tak ternilai ini tetap lestari untuk pembelajaran kita dan masa depan anak cucu. Untuk semua itu, terima kasih dari kami dan atas nama warga bumi Arema,” kata Wali Kota Malang Sutiaji, Selasa (24/5/2022).
Sebanyak 47 cagar budaya telah diserahkan penandanya secara simbolis oleh Sutiaji pekan lalu kepada instansi pengelola dan atau pemilik aset. Cagar budaya yang ditetapkan terbagi atas beberapa jenis, yakni benda dan bangunan.
Cagar budaya berjenis benda antara lain Prasasti Widodaren I dan II serta Arca Adhi Kuranandin yang dimiliki Hotel Tugu, Yoni Mertojoyo, dan kostum busana Dara Puspita. Sementara cagar budaya berbentuk bangunan di antaranya The Shalimar Boutique Hotel, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Bromo, SD Kristen Brawijaya, dan Fendy’s Homestay.
Kostum panggung Dara Puspita, band perempuan pertama Indonesia yang berhasil menggelar tur ke Asia dan Eropa, yang ditetapkan sebagai cagar budaya adalah kostum yang dijahit sendiri oleh Titiek AR, sang gitaris, saat di Belanda tahun 1970. Busana itu kini tersimpan di Museum Musik Indonesia (MMI) di Jalan Nusakambangan, Kota Malang.
Adapun Gedung Hotel Shalimar yang menjadi cagar budaya jenis bangunan dibangun pada tahun 1933 oleh Ir Muler, arsitek berkebangsaan Belanda. Bangunan yang dulu disebut sebagai Gedung Maconieke Lodge itu berlokasi di Taman Cerme (dulu Tjermeeplein). Gedung ini sudah beberapa kali mengalami perubahan fungsi, termasuk menjadi Gedung Radio Republik Indonesia (RRI) Malang pada tahun 1964 sebelum akhirnya direnovasi dan dialihfungsikan menjadi hotel pada 1993 hingga saat ini.
Bangunan yang ditetapkan sebagai cagar budaya mendapat keringanan pajak.
Dengan penetapan cagar budaya tambahan itu, saat ini total ada 78 cagar budaya yang dimiliki Kota Malang. Cagar budaya itu ditetapkan Pemkot Malang dalam rentang waktu tahun 2018-2022. Sebelumnya pada tahun 2018 telah ditetapkan 31 cagar budaya, termasuk di antaranya bangunan Balai Kota Malang, Gedung Bank Indonesia, Gereja Ijen, dan Sekolah Cor Jesu.
Sutiaji mengatakan, penetapan cagar budaya itu terealisasi atas kerja sama sejumlah pihak, seperti tim ahli cagar budaya (TACB) Kota Malang, warga, serta institusi pemilik aset benda dan bangunan cagar budaya. Penetapan cagar budaya dilakukan untuk melindungi aset-aset bersejarah di Kota Malang. ”Kita tidak berhenti di sini, termasuk yang sudah ditetapkan tentu ada peran kolaborasi semua pihak untuk turut menjaga bersama-sama,” katanya.
Selama ini, bangunan yang ditetapkan sebagai cagar budaya mendapat keringanan pajak. Hal itu, misalnya, diberlakukan di kawasan cagar budaya Kayutangan.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Dian Kuntarti menjelaskan, penetapan 47 cagar budaya tersebut melalui proses pengusulan oleh dinas dibantu tenaga survei dan kajian oleh TACB, hingga pada akhirnya keluar keputusan Wali Kota Malang.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang Suwarjana, masih banyak peninggalan budaya di Kota Malang yang butuh perhatian. ”Kami akan terus mendorong penetapan cagar budaya di Kota Malang, baik yang sifatnya aset milik Pemkot Malang maupun milik perorangan. Tahun 2022 ini kami bersama TACB sedang mendalami langkah penetapan kawasan Tugu,” kata Suwarjana.
Tugu dimaksud adalah monumen penanda Kemerdekaan RI yang dibangun di depan Balai Kota Malang setahun setelah Kemerdekaan RI, tepatnya 17 Agustus 1946. Peletakan batu pertama pembangunan monumen dilakukan oleh Presiden Soekarno.
Pendirian tugu kemerdekaan itu bukan langkah sembarangan. Berdirinya penanda Kemerdekaan RI di Alun-alun Bunder (Bundar) Gementee Malang menjadi simbol kemenangan bangsa Indonesia atas pemerintah kolonial Belanda.
Sebagaimana diketahui, Alun-alun Bunder adalah alun-alun ”baru” buatan Pemerintah Belanda. Alun-alun Bunder dibangun untuk melepaskan diri dari citra pribumi yang melekat di alun-alun lama, yaitu Alun-alun Merdeka.
Dalam buku Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang karya Handinoto dan Paulus H Soehargo (1996) disebutkan bahwa Alun-alun Bunder dibangun tahun 1922. Pembangunan itu seiring pengembangan kota kedua (Bouwplan II) seusai dibentuknya gementee Malang (Kota Malang) tahun 1914. Pembangunan Bouwplan II yang direncanakan berlangsung pada tahun 1914-1939 tersebut diputuskan pada 26 April 1920.