Tugu Alun-alun Bunder Malang dan Simbol Perjuangan yang Berulang
Dalam sejarahnya, tugu kemerdekaan di Alun-alun Bunder Kota Malang adalah saksi perjuangan melawan kolonialisme. Kini, tugu itu kembali jadi saksi perjuangan warga Malang melawan pandemi.
Dalam sejarahnya, tugu kemerdekaan di Alun-alun Bunder Kota Malang adalah saksi perjuangan melawan kolonialisme. Kini, tugu itu kembali jadi saksi perjuangan warga Malang melawan pandemi.
Mengingat kisah tugu kemerdekaan di Alun-alun Bunder Kota Malang, serupa dengan kisah kuil Zen-Buddha yang ditulis oleh Paulo Coelho pada novel Seperti Sungai yang Mengalir. Coelho menunjukkan bahwa kuil indah itu dibangun di sebelah tanah kosong. Di tanah kosong itulah nanti kuil indah tersebut akan kembali dibangun, sebelumnya akan dihancurkan.
Sebab, setiap 20 tahun, kuil indah itu dihancurkan dan kemudian dibangun kembali. Tujuannya, agar biksu yang belajar arsitek, tukang batu, dan tukang kayu akan selalu bisa membangun kuil sebagaimana yang telah mereka pelajari. Serta, menurunkan ilmu itu kepada penerusnya. Pelajaran dari kisah itu, menurut Coelho, adalah bahwa tak ada yang kekal dalam kehidupan ini sehingga kuil pun butuh terus-menerus diperbaiki.
Tugu di depan Balai Kota Malang itu pun dibangun dan hancur beberapa kali. Hanya saja, itu terjadi bukan karena sengaja.
Baca juga : Mengenang Cinta di Kayutangan
Monumen penanda Kemerdekaan RI itu dibangun di depan Balai Kota Malang setahun setelah Kemerdekaan RI, tepatnya 17 Agustus 1946. Saat itu, peletakan batu pertama pembangunan monumen dilakukan oleh Presiden Soekarno.
Pendirian tugu kemerdekaan itu bukan sembarangan. Sebab, berdirinya penanda kemerdekaan RI di Alun-alun Bunder (Bundar) Gementee Malang adalah simbol kemenangan bangsa Indonesia atas pemerintah kolonial Belanda.
Sebagaimana diketahui, Alun-alun Bunder adalah alun-alun ”baru” buatan Pemerintah Belanda. Alun-alun Bunder dibangun untuk melepaskan diri dari citra pribumi yang melekat di alun-alun lama, yaitu Alun-alun Merdeka.
Ciri "barat"
Dalam buku Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang karya Handinoto dan Paulus H Soehargo (1996) disebutkan bahwa Alun-alun Bunder dibangun tahun 1922. Pembangunan itu seiring pengembangan kota kedua (Bouwplan II) seusai dibentuknya gementee Malang (Kota Malang) tahun 1914. Rencana Bouwplan II (direncanakan mulai tahun 1914-1939) tersebut diputuskan pada 26 April 1920.
Baca juga : PSBB Malang dan Kisah Karantina Kota di Masa Lalu
Alun-alun Bunder merupakan alun-alun baru sebab sebelumnya sudah ada Alun-alun Merdeka yang menjadi simbol pusat pemerintahan Malang sebagai bagian dari Karesidenan Pasuruan.
Menurut Handinoto, alun-alun lama (Alun-alun Merdeka) dibangun oleh Belanda tahun 1882. Belanda mulai menguasai Malang pada 1767. Meski dibangun Belanda, alun-alun itu dinilai oleh generasi baru Belanda sangat berbau ”indisch” atau Indonesia. Alun-alun lebih banyak digunakan aktivitas oleh orang Indonesia sehingga Belanda merasa butuh alun-alun sebagai simbol pusat pemerintahan kota dengan ciri Barat. Itu sebabnya, dibangun Alun-alun Bunder.
Ciri "barat" tampak dari keelokan dan keindahan alun-alun tersebut. Misalnya, dibangun dengan memperhatikan sisi estetis/keindahan. Dengan demikian, di alun-alun tersebut terdapat air mancur dan tanaman bunga aneka warna.
”Alun-alun yang seharusnya jadi simbol pusat perkembangan kota, termasuk pusat pemerintahan, rupanya justru pada perkembangannya lebih ”dikuasai” oleh bangsa Indonesia. Itu sebabnya, Belanda merasa butuh alun-alun dengan corak Barat. Itu sebagai simbol kebanggaan Belanda setelah menguasai Malang,” kata sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono.
Baca juga : Mengembalikan Malang Kota Taman
Dari waktu ke waktu, pengembangan Kota Malang pun terus dilakukan oleh pemerintah kolonial. Mereka menata permukiman warga Belanda—memisahkan dengan warga pribumi dan China, membangun benteng atau loji (wilayahnya kini disebut Klojen), membuat jalan dan jalur transportasi teratur, dan seterusnya.
Intinya, Kota Malang benar-benar disulap menjadi kota favorit Belanda. Bahkan, mereka menyematkan nama Swiss van Java karena keelokan Malang. Wilayah pegunungan dengan suhu udara nyaman itu menjadikan Malang sebagai tempat bermukim dan beristirahat nan ideal bagi orang Eropa kala itu.
Simbol kekuasaan
Seusai Kemerdekaan RI, tepatnya setahun setelah kemerdekaan, bangsa Indonesia merasa perlu membangun penanda sebagai simbol pengambilalihan kekuasaan atas pemerintah kolonial. Maka, dibangunlah Monumen Tugu Kemerdekaan oleh Presiden Soekarno setahun setelah proklamasi kemerdekaan RI. Pembangunan monumen tugu itu seakan menyimbolkan bahwa kemerdekaan juga dirasakan di Kota Malang.
Sayangnya, pada 1948 terjadi agresi militer Belanda I yang menghancurkan monumen tugu tersebut. Belanda semacam ingin balas dendam atas ”direbutnya” Malang saat itu.
Untungnya, monumen tugu kembali dibangun tahun 1953. Lagi-lagi, monumen diresmikan oleh Presiden RI, yaitu Ir Soekarno. Simbol perjuangan bangsa Indonesia itu kembali kokoh berdiri hingga sekarang.
Baca juga : Menara Seruling, Keping Sejarah Pertahanan di Malang
Covid-19
Pada era kekinian, monumen Tugu kembali menjadi saksi perjuangan. Kali ini bukan melawan pemerintah kolonial, melainkan melawan Covid-19.
Hingga Senin (9/8/2021), Malang Raya (bersama Bali) merupakan wilayah mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat akibat kasus Covid-19 yang tak kunjung turun. Bahkan, karena itulah Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan akan datang ke Malang untuk mendorong upaya-upaya penurunan kasus.
”Perlu saya jelaskan bahwa penurunan kasus dan perawatan rumah sakit juga terjadi di sejumlah wilayah aglomerasi di Jawa-Bali, kecuali Malang Raya dan Bali. Untuk itu, pemerintah akan segera melakukan intervensi di kedua wilayah ini untuk menurunkan laju penambahan kasus,” kata Luhut saat konferensi pers menjelaskan tentang kebijakan perpanjangan PPKM, saat datang ke Malang, Jumat (13/8/2021).
Belum jelas apa penyebab pemerintah pusat menyoroti kondisi perkembangan kasus Covid-19 di Malang Raya. Bisa jadi, salah satunya adalah karena melihat tren kasus di Kota Malang.
Baca juga : Penyebaran Covid-19 Lingkup RT Kembali Terjadi di Kota Malang
Perkembangan kasus Covid-19 di Kota Malang tanpa disadari memang butuh ditangani serius. Hal mencolok adalah jumlah kematian di Kota Malang terus menurun, juga jumlah kesembuhan menurun tajam.
Data perkembangan kasus Covid-19 Kota Malang, sebagaimana dipublikasikan secara terbuka di media sosial Pemkot Malang, per 10 Agustus 2021, total kasus Covid-19 di Kota Malang mencapai 12.736 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 898 di antaranya meninggal dan 9.007 sembuh. Tampak bahwa tingkat kematian mencapai 7 persen dan tingkat kesembuhan 70 persen.
Hitungan statistika itu akan tampak sangat mengagetkan jika dibandingkan dengan data bulan-bulan sebelumnya. Data per 1 April 2021, jumlah kasus Covid-19 di Kota Malang masih 6.197 kasus. Dari jumlah itu, sebanyak 567 di antaranya meninggal dunia dan 5.615 sembuh. Jika dihitung, tingkat kematian saat itu masih 9,1 persen. Adapun tingkat kesembuhan mencapai 90 persen.
Kenapa angka kematian terus menurun, serta angka kesembuhan juga ikut menurun dari waktu ke waktu? Bagaimana bisa terjadi? Jika kasus kematian turun dan kasus sembuh juga turun, kemungkinannya adalah bahwa masih banyak orang dirawat karena Covid-19. Lalu, kenapa dan ada apa sebenarnya sehingga pasien Covid-19 di Kota Malang butuh waktu sangat lama untuk sembuh?
Baca juga : Kondisi Membaik, Kado Indah untuk Malang di Tengah Pandemi
”Itu hanya masalah data saja. Kami terlalu sibuk bekerja hingga tidak mencatat data dengan baik. Yang benar, tingkat kesembuhan Kota Malang di atas 90 persen. Hal ini terungkap setelah tim dari Kemenko Kemaritiman dan Investasi datang ke Malang. Besok, Kamis (12/8/2021), tim lainnya juga datang. Mereka menemukan bahwa kondisi di Kota Malang sebenarnya baik. Hanya datanya saja,” kata Wali Kota Malang Sutiaji.
Namun, Sutiaji mengatakan, daerah dengan catatan khusus adalah aglomerasi Malang Raya. Ia tidak tahu jika tim kementerian menemukan hal lain di Kabupaten Malang dan Kota Batu.
Demikianlah, ”pertarungan” Kota Malang saat ini memang bukan dengan penjajah. Lawan sekarang adalah Covid-19. Jika penanganannya tidak paripurna, bisa jadi ”kemerdekaan” Kota Malang hanya tinggal angan sehingga monumen tugu di Alun-alun Bunder sebagai simbol kekuatan dan kemerdekaan warga Kota Malang menjadi sia-sia adanya.
Baca juga : Jejak Pemulihan Ekonomi Malang Usai Terpuruk