Dianggap Cacat Formil, Enam Permohonan Uji Materi UU IKN Tak Diterima
Permohonan yang diajukan melewati tenggat dan tidak jelas serta argumentasi kedudukan hukum yang tidak relevan menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi tidak menerima uji materi dan uji formil UU Ibu Kota Negara.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Enam permohonan uji formil dan materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) tidak diterima (niet ontvankelijke verklaard/NO) oleh Mahkamah Konstitusi. Majelis hakim konstitusi menilai keenam permohonan itu cacat formil karena diajukan lebih dari 45 hari setelah UU IKN diundangkan di dalam Lembaran Negara. Persoalan kedudukan hukum dan permohonan dinilai kabur menjadi pertimbangan lainnya.
Putusan uji formil dan materiil UU IKN itu dibacakan oleh delapan hakim konstitusi kecuali Ketua MK Anwar Usman, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (31/5/2022). Wakil Ketua MK Aswanto bertindak sebagai hakim ketua didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya. Sebelumnya, perkara itu disidangkan oleh majelis panel yang diketuai oleh Anwar Usman.
Enam perkara yang tidak diterima itu itu adalah perkara Nomor 47/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Mulak Sihotang, Nomor 48/PUU-XX/2022 oleh Damai Hari Lubis, Nomor 53/PUU-XX/2022 oleh Anah Mardianah, Nomor 54/PUU-XX/2022 oleh Muhammad Busyro Muqoddas dkk, Nomor 39/PUU-XX/2022 oleh Sugeng, dan Nomor 40/PUU-XX/2022 oleh Herifuddin Daulay.
Hakim konstitusi Wahiduddin Adams saat membacakan putusan Nomor 39/PUU-XX/2022 menyebutkan, setelah mahkamah memeriksa perkara tersebut, pemohon telah diberi nasihat untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan hukum, posita, serta petitum permohonan. Majelis panel memberikan nasihat agar pemohon dapat memperjelas permohonan. Pemohon diminta untuk menguraikan secara jelas tentang kedudukan hukum dengan membedakan kedudukan hukum antara uji formil dan uji materiil.
Namun, setelah pemohon memperbaiki permohonannya, mahkamah menemukan fakta pada bagian kedudukan hukum (legal standing) bahwa pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas potensi kerugiannya sebagai pensiunan PNS yang tinggal di Kota Tangerang, Banten. Selain itu, pemohon juga tidak dapat menguraikan dengan jelas persoalan pertautan potensi kerugian dengan persoalan konstitusionalitas UU No 3/2022 secara formil.
”Dalam pengujian materiil, uraian pada bagian kedudukan hukum berisi argumentasi yang tidak relevan dengan anggapan kerugian hak konstitusional pemohon. Uraian itu tidak dapat menjelaskan adanya kerugian hak konstitusional baik dalam pengujian formil maupun materiil. Menurut mahkamah terdapat ketidakjelasan dalam uraian mengenai kedudukan hukum,” ujar Wahiduddin.
Selain itu, mahkamah juga berpandangan bahwa pemohon tak menguraikan dengan jelas persoalan proses pembentukan UU No 3/2022 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan mengenai sejumlah isu yang menurut pemohon seharusnya dipertimbangkan dalam proses pembentukan UU No 3/2022. Menurut mahkamah, hal itu tidak relevan dengan alasan permohonan uji formil terhadap UU No 3/2022.
Adapun di bagian alasan permohonan uji materiil, pemohon juga dinilai tak menguraikan sama sekali mengenai norma pasal yang diajukan untuk diuji serta alasan inkonstitusionalitas pasal tersebut. Pemohon hanya menguraikan norma-norma pasal yang diuji tanpa uraian yang jelas kaitannya dengan anggapan inkonstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujiannya dengan UUD 1945.
”Menurut Mahkamah, permohonan pemohon tidak jelas pada bagian kedudukan hukum, posita, dan petitum, baik terhadap permohonan pengujian formil maupun pengujian materiil. Dengan demikian, secara keseluruhan permohonan pemohon adalah tidak jelas (kabur),” terang Wahiduddin.
Sementara itu, dalam putusan Nomor 54/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Busyro Muqoddas dkk, hakim konstitusi Manahan MP Sitompul mengatakan, tenggang waktu pengajuan formil UU telah diatur dalam putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 tertanggal 16 Juni 2010. Dalam putusan itu disebut, untuk kepastian hukum, ditetapkan tenggat uji formil adalah 45 hari setelah UU dimuat dalam lembaran negara.
Berdasarkan akta penerimaan berkas pendaftaran di MK, permohonan Busyro dkkbaru diajukan pada 1 April 2022. Padahal, UU IKN diundangkan dalam lembaran negara pada 15 Februari 2022.
”Dengan demikian, permohonan para pemohon diajukan pada hari ke-46 sejak UU No 3/2022 diundangkan dalam Lembaran Negara. Berdasarkan fakta-fakta hukum di atas, permohonan pemohon telah melewati tenggang waktu 45 hari sejak UU No 3/2022 diundangkan. Dengan demikian, permohonan tidak memenuhi syarat formil pengajuan permohonan pengujian formil di MK,” kata Manahan.
Tidak konsisten
Menanggapi putusan itu, pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, mengatakan, terkadang MK tidak konsisten dalam menerapkan ketatnya pendekatan formil saat memeriksa perkara. Pada saat mengajukan permohonan, pemohon diminta untuk taat dan patuh pada aturan formil.
Namun, di saat yang lain, dalam memutus perkara uji formil, beberapa kali MK tidak konsisten dengan batas waktu yang ditentukan. Charles mencontohkan adalah uji formil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang sampai saat ini belum diputus oleh MK. Perkara itu sudah berlangsung selama 18 bulan, tetapi tak kunjung diputus. Padahal, untuk uji formil perkara yang lain, yaitu UU Cipta Kerja, hanya membutuhkan waktu 60 hari. Menurut dia, pendekatan formil yang terlalu ketat itu justru membatasi MK untuk tidak memeriksa pokok perkara.
”Tidak konsistennya MK dalam menerapkan aturan formil secara ketat ini terkesan diskriminatif atau membatasi diri untuk tidak memeriksa pokok perkara,” katanya.
Charles juga mengkritisi sikap MK yang menurut dia seolah menunjukkan tren mempersulit legal standing para pemohon. MK dianggap sering tidak proporsional saat meletakkan isu legal standing sehingga merugikan pihak-pihak yang beperkara.
Tidak konsistennya MK dalam menerapkan aturan formil secara ketat ini terkesan diskriminatif atau membatasi diri untuk tidak memeriksa pokok perkara.
Ini terlihat dari sikap MK yang kerap mengejar kerugian faktual para pemohon. Padahal, saat menguji konstitusionalitas undang-undang, para pemohon sedang mempertanyakan kerugian konstitusional dari undang-undang yang bersifat mengikat semua (erga omnes). Alih-alih mengejar kerugian individual pemohon, seharusnya MK memperluas kerugian itu menjadi kerugian konstitusional.
”Meskipun pemohon tidak dirugikan secara langsung, sebagai warga negara, dia memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Jika MK mempersempit kerugian konstitusional menjadi kerugian individual, bagi saya itu seolah men-down grade MK. MK bergeser dari melindungi hak konstitusional warga menjadi hak individual warga,” terangnya.
Charles berharap di sisa dua perkara uji formil dan materiil UU IKN yang belum diputus, MK bisa membaca kerugian konstitusional secara lebih luas dan umum. Jangan sampai MK justru mengalami kemunduran karena membatasi dan mempersempit kerugian konstitusional menjadi kerugian individual semata.
Untuk perkara uji formil dan uji materiil UU IKN, saat ini masih ada dua perkara yang belum diputus, yaitu perkara Nomor 25/PUU-XX/2022 yang diajukan Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) serta perkara Nomor 34/PUU-XX/2022 yang diajukan Azyumardi Azra, Din Syamsuddin, dkk.