Saat Gugatan Juga Datang dari Perwakilan Masyarakat Adat, Enam Kilometer dari Titik Nol IKN
Salah satu pemohon uji formil UU Ibu Kota Negara merupakan anggota suku balik atau suku asli di Kawasan IKN. Pemohon berargumen warga di sekitar kawasan IKN tak pernah diajak berkomunikasi oleh pemerintah soal IKN.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
Aliansi Masyarakat Nusantara atau Aman dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi bersama mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi M Busyro Muqoddas dan beberapa pihak lainnya menguji proses pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Mereka meminta MK menyatakan pembentukan UU IKN cacat mengingat tidak melibatkan masyarakat adat terdampak.
Dengan begitu, UU tersebut diyatakan batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan yang mengikat. Dalam sidang perdana yang dipimpin oleh hakim konstitusi Aswanto, Senin (25/4/2022), kuasa hukum pemohon Muhammad Arman mengungkapkan, salah satu pemohon merupakan anggota suku balik atau suku asli di Kawasan IKN.
Bersama 83 kepala keluarga dalam suku tersebut, tinggallah mereka yang hanya berjarak 6 kilometer dari titik nol IKN. Warga khawatir akan diusir atau digusur dari tempat tinggal mereka. Warga di sekitar kawasan IKN, seperti suku balik, tidak pernah diajak berkomunikasi oleh pemerintah mengenai rencana pemindahan IKN.
”Tidak dilibatkannya pemohon III (Yati Dahlia) dalam pembentukan Undang‑Undang IKN menyebabkan Undang-Undang IKN tidak memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang tinggal di wilayah IKN,” ujar Muhammad Arman.
Hal tersebut juga dinilai tidak sesuai dengan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang mengamanatkan proses pembentukan harus dilakukan dengan adanya meaningful participation atau partisipasi yang bermakna. Putusan Nomor 91 terkait dengan uji formil UU Cipta Kerja.
Kuasa hukum para pemohon lainnya, Ermelina Singereta, mengungkapkan, pembentukan UU IKN tidak menerapkan partisipasi dalam arti sesungguhnya. Tak hanya warga sekitar IKN, para pemohon yang merupakan perseorangan warga negara seperti Busyro Muqoddas (pemohon I), pemohon II dan IV, yang memiliki pandangan dan perspektif luas dan strategis terkait isu IKN, tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan yang cenderung cepat dan tergesa-gesar serta tertutup.
Warga juga menolak jika harus dipindahkan atau direlokasi sebab harus memulai kehidupan baru dan terpisah dari tetangga dan keluarganya. Mereka juga akan tercerabut dari sejarah dan identitas sebagai suku balik.
Selain itu, Ermelina menambahkan, suku balik tidak boleh lagi mengurus surat tanah sejak pemindahan IKN. ”Warga di sekitar IKN terutama suku balik, tidak pernah diajak komunikasi oleh pemerintah tentang rencana pemindahan IKN, hingga UU IKN disahkan. Warga tidak dilibatkan secara aktif, bahkan saat Presiden berkemah di titik nol wilayah IKN, warga tidak diberi tahu oleh pemerintah,” ujarnya.
Tidak dilibatkannya pemohon III dan 83 kepala keluarga lainnya dinilai menyebabkan UU IKN tidak memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang tinggal di wilayah IKN. Sebenarnya, selain suku balik, ada juga sejumlah suku asli yang di dalam naskah akademik disebut bakal terdampak langsung pembangunan IKN Nusantara, yaitu suku Paser, Kutai, Bahau, Dayak Basap, Dayak Kenyah, Dayak Benuaq, dan Dayak Tunjung. Ada dua potensi dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat yang tinggal di wilayah calon IKN, yaitu hilangnya mata pencarian dan tempat tinggal.
Dalam catatan Aman, masyarakat adat yang terdampak oleh pemindahan IKN lebih banyak lagi, yaitu 17 komunitas masyarakat adat. Menurut pemohon Aman, pihaknya sudah menyampaikan masukan kepada DPR pada 9 Desember 2021. Di sana pemohon V menyampaikan bahwa telah terdapat konflik terkait penguasaan dan kepemilikan wilayah adat dengan berbagai investasi yang sudah ada sebelumnya.
Seusai permohonan dibacakan, hakim konstitusi Aswanto dan Manahan MP Sitompul serta Saldi Isra memberikan sejumlah nasihat. Pemohon diminta memperbaiki permohonan dalam waktu dua minggu. Dengan begitu, pada 9 Mei 2022 sidang akan dilanjutkan.