Setelah Putusan MK, DKPP Didorong Cari Format Baru Menyidang Perkara Etik
”DKPP ialah lembaga semiperadilan yang dalam menjalankan proses penegakan etik penyelenggara pemilu selama ini ada nuansa peradilannya. Namun, tetap tak boleh dia merasa bagian dari cabang yudikatif,” kata Feri Amsari.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XIX-2021 secara eksplisit menyebut bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP bukanlah lembaga peradilan. Pakar tata negara mendorong DKPP mencari format baru dalam menyidangkan perkara etik.
”Sifat final dan mengikat putusan DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya. Karena DKPP bukan lembaga peradilan, melainkan perangkat internal penyelenggara pemilu yang diberi wewenang oleh UU,” ujar hakim konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan, Selasa (29/3/2022).
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari, Rabu (30/3/2022) mengatakan, sesuai putusan MK Nomor 32/PUU-XIX-2021, DKPP dinyatakan sebagai bukan lembaga peradilan. Menurut dia, pendapat itu sudah sesuai dengan cabang kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Pasal 24 UUD 1945. Di Pasal 24 UUD 1945 disebutkan bahwa cabang kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi. Karena berada di luar rumpun cabang kekuasaan itu, jelas DKPP bukan merupakan lembaga yudikatif.
”DKPP adalah lembaga semiperadilan atau quasi peradilan yang dalam menjalankan proses penegakan etik penyelenggara pemilu selama ini, ada nuansa peradilannya. Namun, tetap tidak boleh dia merasa bagian dari cabang yudikatif,” kata Feri.
Dalam keterangannya sebagai saksi ahli, pengajar Hukum Universitas Indonesia Harsato Nursadi menyebutkan, jika posisi DKPP sebagai lembaga quasi peradilan, putusannya bukanlah produk yudisial, melainkan berstatus quasi. Status putusan lembaga quasi peradilan tetap bisa diuji ke lembaga yudisial. Produk putusan final dan mengikat sebagai lembaga quasi peradilan hanya berlaku di kelembagaannya atau di pemerintahan saja.
Setelah putusan ini, lanjut Feri, harus ada model lain yang dipertimbangkan DKPP untuk menyidangkan perkara etik. DKPP dan Bawaslu selama ini dinilai terlalu terbawa format mirip persidangan. Ini dinilai tidak pas sehingga perlu dievaluasi dengan model baru. ”Tentu modelnya (yang ideal) adalah memastikan penegakan etik, bukan model pembuktian peradilan. Penyelenggara pemilu harus dianggap sebagai pihak yang setara,” katanya.
Feri juga menambahkan bahwa putusan MK ini mempertegas posisi kelembagaan KPU, Bawaslu, dan DKPP yang sederajat. Tidak ada lembaga yang lebih superior dari yang lainnya. Pasca-putusan, DKPP tetap harus fokus menjalankan proses penegakan etik ketika ada laporan dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu. Ini penting untuk memastikan penyelenggara pemilu sosok yang berintegritas.
Ini memperjelas bahwa DKPP tidak lebih tinggi dibandingkan penyelenggara pemilu lainnya. Mereka bertiga adalah lembaga yang berada di satu rumah, tetapi dipisahkan dalam tiga kamar. (Feri Amsari)
Putusan DKPP itu kemudian harus dieksekusi Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu. Surat keputusan dari Presiden, KPU, dan Bawaslu ini nanti dapat digugat ke PTUN.
”Ini memperjelas bahwa DKPP tidak lebih tinggi dibandingkan penyelenggara pemilu lainnya. Mereka bertiga adalah lembaga yang berada di satu rumah, tetapi dipisahkan dalam tiga kamar,” kata Feri.
Sementara itu, anggota Dewan Pembina Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan, MK menegaskan DKPP bukanlah pengadilan sehingga putusan DKPP yang ditindaklanjuti oleh pejabat tata usaha negara, yaitu Presiden, KPU, dan Bawaslu, bisa diuji di pengadilan. Ini merupakan langkah maju karena mempertegas tafsir soal putusan final dan mengikat DKPP yang diatur di UU Pemilu.
Putusan MK ini juga dinilai memperjelas jaminan upaya hukum yang bisa ditempuh penyelenggara pemilu apabila tidak bersepakat dengan putusan DKPP menyangkut dirinya.
”Dengan putusan ini, DKPP ke depan harus lebih profesional, cermat, dan berhati-hati membuat putusan agar tidak rentan dibatalkan karena masih ada upaya hukum untuk menguji tindak lanjut dari putusan DKPP itu ke PTUN,” kata Titi.
Ketua DKPP Muhammad melalui keterangan tertulis, Selasa, mengatakan, DKPP menghargai putusan MK dan akan memakai putusan tersebut sebagai rujukan bersama.
Menurut dia, putusan MK tersebut menegaskan kembali bahwa frasa final dan mengikat di Pasal 458 Ayat (13) UU No 7/2017 bermakna mengikat bagi Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu. Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupetan/kota tidak punya kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan putusan DKPP.
”Intinya bahwa putusan ini menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi menguatkan putusan sebelumnya. Pada konklusi putusan yang keempat menegaskan putusan MK yang sebelumnya pernah diajukan oleh saudara Ramdansyah bahwa sifat putusan DKPP itu final mengikat bagi Presiden, KPU, dan Bawaslu di seluruh tingkatan,” kata Muhammad.
Bagi penyelenggara pemilu yang tidak puas dengan keputusan DKPP, upaya hukum tersedia dengan menggugat keputusan lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP. Keputusan lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP itu dapat diuji di pengadilan tata usaha negara.
Adapun, uji materi Pasal 458 Ayat (13) UU Pemilu terkait sifat final mengikat putusan DKPP diajukan oleh anggota KPU, Arief Budiman dan Evi Novida Ginting, karena merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat. Dengan keberadaan pasal itu, hak para pemohon melakukan upaya hukum di pengadilan terhalangi.
Pada 18 Maret 2020, DKPP melalui putusannya memberhentikan Evi Novida Ginting Manik karena dianggap melanggar kode etik penyelenggara pemilu dalam perkara yang diajukan Hendri Makaluasc, calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat. Evi kemudian melakukan upaya hukum, yaitu menggugat keputusan presiden yang memberhentikan jabatannya secara tidak hormat ke PTUN. Evi pun menang sehingga kembali diangkat sebagai anggota KPU.
Kemudian, pada 13 Januari 2021, DKPP kembali menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Arief Budiman sebagai Ketua KPU. DKPP menilai Arief melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu terkait pengaktifan kembali Evi sebagai anggota KPU. Arief diadukan kepada DKPP karena menemani Evi yang berstatus nonaktif sebagai anggota KPU saat mendaftarkan gugatan ke PTUN. Arief juga diadukan karena membuat keputusan yang dianggap melampaui kewenangannya saat meminta Evi kembali aktif melaksanakan tugasnya sebagai anggota KPU.