Keputusan Lembaga yang Jalankan Putusan DKPP Bisa Diuji di PTUN
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa keputusan lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP dapat dijadikan objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Putusan DKPP final mengikat bagi Presiden serta KPU, dan Bawaslu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan bahwa keputusan lembaga yang menindaklanjuti putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu adalah produk pejabat tata usaha negara yang dapat diuji di pengadilan tata usaha negara. Mahkamah Konstitusi juga menegaskan kedudukan DKPP setara dengan Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu, sehingga tidak ada yang lebih superior.
Penegasan itu disampaikan mahkamah dalam sidang putusan perkara nomor 32/PUU-XIX/2021, Selasa (29/3/2022). Perkara diajukan oleh anggota KPU Evi Novida Ginting Manik dan Arief Budiman. Keduanya mempersoalkan norma Pasal 458 Ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur sifat putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang final dan mengikat. Ketentuan itu dianggap bertentangan dengan konstitusi karena menghilangkan mekanisme check and balances terhadap DKPP.
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang memimpin sidang pembacaan putusan itu mengatakan, mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan pemohon. MK menyatakan bahwa Pasal 458 Ayat (13) UU Pemilu inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai putusan mengikat bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu. Mahkamah juga berpendapat putusan DKPP adalah putusan pejabat tata usaha negara yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi obyek gugatan di pengadilan tata usaha negara (PTUN).
“Mahkamah menegaskan kembali Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 tertanggal 3 April 2014 dalam putusan a quo,” ujar Anwar.
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi Suhartoyo mengatakan, MK pernah memutus perkara yang hampir sama dengan permohonan a quo. Dalam putusan nomor 31/PUU-XI/2013, MK telah menyatakan bahwa frasa final dan mengikat putusan DKPP hanya berlaku bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu.
Namun, putusan itu dijatuhkan untuk uji materi Pasal 112 Ayat (12) UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu). UU itu kini sudah diubah menjadi UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, ternyata oleh pembentuk UU, frasa final dan mengikat untuk putusan DKPP tetap dipertahankan di UU No 7/2017.
“Ada penafsiran berbeda yang tidak sejalan dengan maksud putusan MK sebelumnya. Ada varian persepsi dalam memahami amar putusan MK. Sehingga MK mempertimbangkan kepastian hukum untuk pelaksanaan norma tersebut,” terang Suhartoyo.
Mahkamah juga menegaskan bahwa kedudukan DKPP setara dengan penyelenggara pemilu lainnya. Antara KPU, Bawaslu, dan DKPP tidak ada yang lebih superior. DKPP juga bukan merupakan lembaga peradilan.
Terhadap makna frasa final dan mengikat, terang Suhartoyo, hal itu memang berlaku bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu. Para pihak tersebut harus melaksanakan putusan DKPP. Namun, pihak yang tidak menerima putusan itu dapat melakukan gugatan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP itu ke pengadilan.
Adapun, terhadap putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap, seluruh pihak juga harus patuh dan menerima sebagai putusan pengadilan yang bersifat eksekutorial. PTUN dapat mengoreksi atau menguatkan putusan DKPP.
Sebelumnya, kuasa hukum pemohon, Fauzi Heri mengatakan, uji materi Pasal 458 Ayat (13) UU Pemilu diajukan karena Evi dan Arief merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat. Dengan keberadaan pasal itu, hak para pemohon untuk melakukan upaya hukum di pengadilan terhalangi.
Pada 18 Maret 2020, DKPP melalui putusannya memberhentikan Evi Novida Ginting Manik karena dianggap melanggar kode etik penyelenggara pemilu dalam perkara yang diajukan Hendri Makaluasc, calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat. Evi kemudian melakukan upaya hukum, yaitu menggugat keputusan presiden yang memberhentikan jabatannya secara tidak hormat ke PTUN. Evi pun menang sehingga kembali diangkat sebagai komisioner KPU.
Kemudian, pada 13 Januari 2021, DKPP kembali menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Arief Budiman sebagai Ketua KPU. DKPP menilai Arief melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu terkait pengaktifan kembali Evi sebagai anggota KPU. Arief diadukan kepada DKPP karena menemani Evi yang berstatus nonaktif sebagai anggota KPU saat mendaftarkan gugatan ke PTUN. Arief juga diadukan karena membuat putusan yang dianggap melampaui kewenangannya saat meminta Evi kembali aktif melaksanakan tugasnya sebagai anggota KPU.
Ralat:
Di judul dan lead awal disebutkan bahwa "putusan DKPP dapat diuji ke PTUN". Yang benar ialah "keputusan lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP dapat diuji ke PTUN". Demikian kekeliruan telah kami perbaiki dan mohon maaf atas kesalahan tersebut.