Yusril: Majelis Rakyat Papua Tak Punya Kedudukan Hukum Gugat UU Otsus Papua
Yusril Ihza Mahendra menjadi saksi ahli pemerintah dalam sidang uji materi revisi kedua UU Otsus Papua di MK. Yusril berpendapat Majelis Rakyat Papua tak punya kedudukan hukum untuk menguji materi UU Otsus Papua.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Saksi ahli pemerintah dalam sidang uji materi UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua berpendapat bahwa Majelis Rakyat Papua tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. MRP dianggap sebagai lembaga negara yang tidak diatur langsung di konstitusi sehingga tidak bisa mewakili masyarakat asli Papua.
Pendapat itu disampaikan Yusril Ihza Mahendra saat menjadi saksi ahli pihak pemerintah dalam sidang uji materi revisi kedua UU Otsus Papua di MK, Senin (28/3/2022). Sidang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Majelis Rakyat Papua menjadi pemohon menguji konstitusionalitas delapan pasal dalam UU Otsus Papua. Delapan norma yang diuji konstitusionalitasnya itu adalah Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 Ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76, dan Pasal 77 UU Otsus Papua. MRP menilai delapan pasal itu melanggar hak konstitusional orang asli Papua (OAP).
Yusril berpandangan, keberadaan MRP tidak disebutkan secara langsung dalam UUD 1945. Pasal 18A dan 18B UUD 1945 hanya mengatur tentang kekhususan dan keistimewaan daerah. Adapun, keberadaan MRP hanya diatur di UU Otsus Papua.
Sesuai dengan Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah menjadi UU No 7/2020 tentang MK, pemohon yang memiliki kedudukan hukum adalah perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara.
”MRP ini mau dikategorikan ke mana? Perseorangan, badan hukum privat atau publik, dan masyarakat hukum adat juga tidak. Yang paling mungkin dikategorikan sebagai lembaga negara. Tapi ini bisa sangat luas,” kata Yusril.
Sesuai teori hukum, kata Yusril, ada 87 lembaga negara yang bisa dikategorikan sebagai lembaga negara yang dapat menguji norma UU ke MK. Namun, lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk menguji itu adalah yang diatur langsung oleh konstitusi. Misalnya, Mahkamah Agung yang dapat menguji UU yang mengatur kelembagaannya ke MK.
Persoalannya, kata dia, eksistensi MRP hanya diatur di UU No 21/2001 tentang Otsus Papua. UU itu sudah diubah melalui UU No 2/2021. Di UU terbaru, kewenangan MRP sudah diubah oleh pembentuk UU. Yusril mempertanyakan apakah kemudian, MRP masih bisa mempersoalkan kewenangan yang diubah itu dalam uji materi ke MK.
”Karena pasal yang dipersoalkan sudah dicabut, eksistensi MRP juga dipertanyakan. MRP itu kedudukan sama dengan Kejaksaan Agung karena tidak spesifik disebut di UUD 1945. Kejaksaan Agung kalau kewenangannya untuk penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi dicabut dan diserahkan kepada ke KPK, misalnya, mereka tidak bisa uji materi. Karena kewenangan itu tidak diberikan oleh UUD 1945 tetapi hanya UU,” kata Yusril.
Walakin, Yusril sepakat bahwa MRP memang representasi masyarakat adat atau orang asli Papua. Sebagaimana DPR Papua, MRP juga memiliki representasi terhadap konstituen. Namun, MRP tidak bisa mengatasnamakan rakyat Papua secara keseluruhan untuk menguji pasal-pasal di UU Otsus Papua. MRP hanya bisa menguji pasal yang mengatur kewenangan sendiri.
”MRP tidak bisa menguji pasal yang mengatur tentang keberadaan partai lokal dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat Papua. Yang bisa menguji itu adalah penduduk Papua sendiri,” kata Yusril.
MRP lanjutnya, bisa mengajukan diri sebagai kuasa hukum rakyat Papua yang terdampak langsung atas berlakunya UU Otsus Papua. Namun, dalam hal ini, MRP justru mengajukan sendiri dengan norma-norma yang sebenarnya dampaknya dirasakan oleh masyarakat Papua secara langsung.
MRP tidak bisa menguji pasal yang mengatur tentang keberadaan partai lokal dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat Papua. Yang bisa menguji itu adalah penduduk Papua sendiri. (Yusril)
MRP boleh mengajukan uji materi apabila memang ada kerugian konstitusional secara langsung atas berlakunya norma UU. Namun, secara tegas Yusril mengatakan bahwa MRP tidak bisa mewakili masyarakat Papua secara umum.
Ahli Muda Kementerian Dalam Negeri Muhammad Rulandi juga sepakat dengan pendapat Yusril. Menurut dia, MRP sebagai lembaga representasi kultural OAP diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP. Kedudukan MRP hanya sebagai lembaga representasi yang sifatnya penunjang atau memberikan pertimbangan.
MRP tidak seperti lembaga negara yang memiliki kewenangan definitif. Terlebih, MRP juga dibentuk bukan karena amanah konstitusi, melainkan hanya karena adanya UU Otsus Papua. ”Agak sulit menentukan kualifikasi apakah MRP ini bisa masuk dalam kategori lembaga negara pada umumnya. Kemudian, menjadi agak sulit juga menempatkan legal standing MRP sebagai pemohon,” kata Ruliandi.
Sebelumnya, MRP yang diwakili oleh Timotius Murib, Yoel Luiz Mulait, dan Debora Mote menguji materi delapan pasal di UU No 2/2021 tentang Perubahan Kedua UU Otsus Papua. Para pemohon sebagai representasi kultural OAP menilai uji materi itu dalam rangka melindungi hak-hak OAP berdasarkan penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama.
Norma-norma yang dianggap merugikan kepentingan dan hak konstitusional OAP itu adalah Pasal 6 Ayat (4) dan Ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) dan DPRK (DPR kabupaten/kota) yang dianggap menciptakan ketidakpastian hukum. Selain itu, juga penghapusan norma Pasal 28 Ayat (1) dan Ayat (2) tentang penghapusan pembentukan partai politik yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
MRP juga meminta MK menguji konstitusionalitas Pasal 77 Otsus Papua yang dianggap multitafsir. Pasal itu mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mereka juga berpendapat bahwa perubahan pasal-pasal di revisi UU Otsus Papua dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan partisipasi rakyat Papua secara inklusif.