MAKI Laporkan Dugaan Eksportir CPO Nakal ke Kejaksaan Agung
Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia melaporkan dugaan oknum eksportir yang melanggar ketentuan ekspor minyak sawit mentah atau CPO. MAKI menduga bukan tidak mungkin terjadi kongkalikong antara pengusaha dan oknum pejabat.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia berharap agar Kejaksaan Agung menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran hukum pada pembatasan ekspor minyak sawit mentah oleh eksportir. Kejaksaan Agung pun memastikan menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (15/3/2022), mengatakan, pihaknya telah melaporkan dugaan penyimpangan tata kelola kuota ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang berimbas pada kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng. Diduga terjadi pelanggaran aturan ekspor berupa ekspor minyak sawit melebihi kuota yang ditentukan pemerintah atau melakukan ekspor padahal tidak memiliki kuota ekspor minyak sawit.
”Ini lebih fokus ke sisi pelanggaran aturan terkait ekspor, bukan sekadar pelanggaran berupa orang menimbun minyak goreng di dalam negeri. MAKI melaporkan ke Kejagung karena adanya dugaan perbuatan melanggar hukum yang mengarah ke korupsi,” kata Boyamin.
Diduga terjadi pelanggaran aturan ekspor berupa ekspor minyak sawit melebihi kuota yang ditentukan pemerintah atau melakukan ekspor padahal tidak memiliki kuota ekspor minyak sawit.
Menurut Boyamin, laporan kepada Kejagung tersebut disertai dengan data perusahaan yang melakukan ekspor minyak sawit, sementara perusahaan tersebut tidak memiliki kuota ekspor. Akibat perbuatan itu, diduga berimbas pada minimnya minyak sawit dan mengakibatkan minyak goreng menjadi langka dan mahal.
Boyamin berharap agar Kejagung melakukan kajian terhadap peraturan yang diduga telah dilanggar serta mendalami dugaan pelanggaran oleh perusahaan tersebut. Tidak hanya itu, lanjut Boyamin, bukan tidak mungkin telah terjadi kongkalikong antara pengusaha dan oknum pejabat sehingga kegiatan ekspor dapat tetap berjalan.
”Kalau ada oknum yang nakal sehingga membuat harga minyak menjadilangka dan mahal, kalau perlu dibawa ke pengadilan. Ini bisa mengarah ke tindak pidana korupsi,” kata Boyamin.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan, pada prinsipnya apa pun bentuk pengaduan dan laporan dari masyarakat akan diterima kejaksaan. Ia pun memastikan pengaduan tersebut akan ditindaklanjuti. Ketut memastikan kejaksaan besok akan merilis ke publik terkait perkara ekspor minyak sawit ini.
Persoalan kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng telah terjadi sejak Januari lalu. Pemerintah telah mengambil langkah berupa perluasan penyediaan minyak goreng kemasan melalui berbagai saluran distribusi, mewajibkan eksportir minyak sawit mentah dan produk olahannya memenuhi kebutuhan dalam negeri (DMO), serta menetapkan harga eceran tertinggi. Hal itu telah diatur dalam sejumlah peraturan menteri perdagangan, salah satunya Permendag Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Meski demikian, kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng terus berlanjut. Hingga menjelang keberangkatannya mengikuti acara di Ibu Kota Negara Nusantara, Kalimantan Timur, Presiden Joko Widodo masih menemukan fakta tersebut di lapangan. Menurut rencana, Selasa (15/3/2022) ini, Presiden akan mengadakan rapat internal untuk memutuskan persoalan terkait minyak goreng tersebut.
Secara terpisah, pengajar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, berpandangan, terdapat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk memberantas kejahatan yang merugikan perekonomian negara.
Jika memang terdapat dugaan ekspor yang melanggar ketentuan kuota, hal itu secara teknis yuridis dapat dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. Namun, penanganannya perlu dilakukan dengan cermat.
Jika memang terdapat dugaan ekspor yang melanggar ketentuan kuota, menurut Agustinus, hal itu secara teknis yuridis dapat dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. Namun, penanganannya perlu dilakukan dengan cermat dan hati-hati karena tindak pidana korupsi pada dasarnya merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan.
”Apakah dalampelanggaran ketentuan kuota ekspor itu ada atau tidak penyalahgunaan kewenangan. Mungkin saja ekspor itu dilakukan karena ada kerja samapengusaha dengan oknum pejabat atau mungkin ada dugaan penyuapan di situ,” kata Agustinus.
Oleh karena itu, lanjut Agustinus, dalam pengaduan tersebut, yang penting untuk pertama-tama dilakukan adalah mengkaji informasi yang diberikan. Meski secara teknis yuridis memenuhi, jika hakikat tindak pidana korupsi berupa penyalahgunaan kewenangan tidak terjadi, arah perkara akan menjadi terlalu luas.