Kedepankan Transparansi Pemanfaatan Dana Subsidi Minyak Goreng
Subsidi harga minyak goreng kemasan sederhana dan premium sebenarnya diberikan pemerintah kepada swasta. Transparansi pemanfaatan dana BPDPKS untuk penyediaan minyak goreng subsidi itu diperlukan agar tak disalahgunakan.
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS untuk menyubsidi minyak goreng kemasan sederhana dan premium diharapkan transparan agar tidak disalahgunakan. Transparansi itu mencakup harga keekonomisan minyak goreng hingga besaran subsidi yang ditentukan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, kendati dinikmati oleh masyarakat, subsidi harga minyak goreng kemasan sederhana dan premium sebenarnya diberikan pemerintah kepada swasta. Dalam konteks ini, subsidi untuk menutup selisih harga keekonomisan dengan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yang ditentukan pemerintah Rp 14.000 per liter itu ditujukan bagi produsen minyak goreng.
Pemerintah juga tidak hanya menyubsidi harga minyak goreng kemasan sederhana, tetapi juga premium. Dari sisi biaya produksi saja, kedua jenis minyak goreng tersebut sudah berbeda, tetapi harga keekonomisannya dipatok sama.
”Oleh karena itu, pemanfaatan dana BPDPKS itu harus transparan. Audit atau penghitungan biaya produksi minyak goreng perlu dilakukan dan dibuka. Begitu juga dengan penentuan harga keekonomisan dan besaran subsidi,” kata Bhima ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (19/1/2022).
Pemanfaatan dana BPDPKS itu harus transparan. Audit atau penghitungan biaya produksi minyak goreng perlu dilakukan dan dibuka. Begitu juga dengan penentuan harga keekonomisan dan besaran subsidi.
Per 19 Januari 2022, pemerintah menerapkan kebijakan minyak goreng satu harga, yaitu Rp 14.000 per liter, untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium. Jumlah minyak goreng bersubsidi yang akan digelontorkan selama enam bulan itu sebanyak 1,5 miliar liter.
Pemerintah telah menyediakan dana Rp 7,6 triliun untuk menutup selisih harga keekonomisan dan HET minyak goreng. Harga keekonomisan minyak goreng itu akan diveluasi setiap bulan dengan melihat pergerakan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) global.
Selasa lalu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menjelaskan, harga keenomisan minyak goreng kemasan sederhana dan premium untuk periode bulan ini ditetapkan sama, yaitu Rp 17.000 per liter. Jadi, jika HET-nya Rp 14.000 per liter, pemerintah akan menutup selisihnya sebesar Rp 3.000 per liter (Kompas, 19 Januari 2022).
Baca juga : Kebijakan Minyak Goreng Satu Harga dan Syarat Ekspor CPO Diterapkan
Selain transparansi, Bhima juga mempertanyakan efektivitas penyediaan minyak goreng bersubsidi terhadap pengendalian harga minyak goreng di dalam negeri. Selama harga CPO global masih tinggi, harga minyak goreng di dalam negeri diperkirakan juga masih tinggi.
Harga CPO global di bursa komoditas Malaysia per 19 Januari 2022 tembus 5.176 ringgit Malaysia (RM) per ton. Ini merupakan harga tertinggi dalam kurun waktu 25 tahun terakhir dan kenaikannya mencapai 60,2 persen setahun terakhir.
”Sepanjang tahun ini, harga CPO global diperkirakan masih tinggi dan tetap memengaruhi harga minyak goreng di dalam negeri. Pergerakan harganya lebih liar dibandingkan komoditas-komoditas lain. Subsidi bisa jadi berlanjut dan bakal membengkak,” ujarnya.
Biaya distribusi diganti
Dihubungi terpisah, Lutfi mengemukakan, pemerintah berkomitmen mengedepankan transparansi dalam pemanfaatan dana BPDPKS itu. Mekanisme transparansi dan pengawasannya akan dimatangkan lagi melalui penyempurnaan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDPKS.
Pemerintah juga telah membuka nilai subsidi dan harga keekonomisan minyak goreng pada periode Januari 2022, yang masing-masing sebesar Rp 3.000 per liter dan Rp 17.000 per liter. Subsidi sebesar Rp 3.000 per liter itu murni untuk menutup selisih harga keekonomisan dengan HET.
”Untuk biaya distribusi, terutama di daerah-daerah terpencil, pemerintah juga akan mengganti ongkos pengirimannya. Syaratnya, pengusaha atau distributor wajib menyertakan invoice (tagihan) atas pengiriman itu. Dananya juga berasal dari dana BPDPKS yang telah dialokasikan sebesar Rp 7,6 triliun,” ujarnya.
Untuk biaya distribusi, terutama di daerah-daerah terpencil, pemerintah juga akan mengganti ongkos pengirimannya. Syaratnya, pengusaha atau distributor wajib menyertakan invoice (tagihan) atas pengiriman itu. Dananya juga berasal dari dana BPDPKS yang telah dialokasikan sebesar Rp 7,6 triliun.
Baca juga : Antisipasi Penyalahgunaan, Penyediaan Minyak Goreng Bersubsidi Diatur Ketat
Dalam laporannya tentang Distribusi Perdagangan Komoditas Minyak Goreng Indonesia 2021, Badan Pusat Statistik menunjukkan, pendistribusian minyak goreng dari produsen kepada konsumen akhir melibatkan 3-7 pelaku usaha perdagangan, tergantung daerah tujuan.
Secara nasional, margin perdagangan dan pengangkutan total (MPPT) tahun 2020 pada pola utama pendistribusian minyak goreng sawit itu sebesar 17,41 persen atau meningkat dari MPPT 2018 yang sebesar 17,05 persen. Angka ini mengindikasikan, kenaikan harga minyak goreng dari produsen hingga konsumen akhir sebesar 17,14 persen.
Pada 2020, MPPT terendah berada di Sumatera Barat yang memiliki tiga rantai, yaitu sebesar 10,43 persen. Adapun MPPT tertinggi berada di Papua yang memiliki empat rantai, yaitu sebesar 37,26 persen.
Baca juga : Perdagangan Minyak Goreng
Berbagi beban
Dalam rapat dengar pendapat umum Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat dengan pelaku usaha di sektor sawit dan minyak goreng, Rabu siang, Ketua Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) Adi Wisoko Kasman menuturkan, kebijakan minyak goreng satu harga sebenarnya tidak menguntungkan produsen minyak goreng kendati pemerintah menyubsidi selisih harganya.
Penghitungan kembali harga keekonomisan minyak goreng perlu dilakukan bersama antara pemerintah dan pengusaha. ”Bahan baku utamanya, CPO, saja bisa kami beli di atas Rp 11.000 per liter. Hal itu belum mencakup biaya pengapalan, kemasan, dan produksi,” ujarnya.
Adi juga khawatir, proses klaim dan pencairan subsidi minyak goreng dari dana BPDPKS tersebut berbelit dan butuh waktu lama. Untuk mendapatkan faktur pajak, sebagai salah satu syarat pencairan, juga tidak akan mudah, terutama jika sudah berada di rantai terbawah distributor dan tingkat pengecer.
Besaran subsidi untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium Rp 3.000 per liter ini cukup kecil. Pengusaha pasti akan menanggung atau menyerap kekurangannya. Namun, inilah yang dinamakan berbagi beban, sharing the pain.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menuturkan, program minyak goreng satu harga memang bagus untuk menyediakan minyak goreng harga terjangkau bagi masyarakat. Produsen minyak goreng juga mendapat subsidi dari dana BPDPKS yang pada tahun lalu jumlahnya cukup besar lantaran harga CPO tinggi.
”Besaran subsidi untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium Rp 3.000 per liter ini cukup kecil. Pengusaha pasti akan menanggung atau menyerap kekurangannya. Namun, inilah yang dinamakan berbagi beban, sharing the pain,” katanya.
Joko menambahkan, stok bahan baku minyak goreng sawit, yaitu CPO, juga lebih dari cukup. Begitu pula dengan stok minyak goreng di dalam negeri. Jadi, persoalannya itu sebenarnya bukan karena barang tidak ada, melainkan harga CPO dan minyak goreng masih tinggi.