Teddy Tjokro Menyusul Kakaknya, Segera Diadili di Kasus Korupsi Asabri
Berkas perkara terdakwa Teddy Tjokrosaputro telah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat. Perkara tersebut telah teregistrasi dan siap untuk disidangkan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berkas perkara kasus korupsi Asabri dengan tersangka Teddy Tjokrosaputro telah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk disidangkan. Adik dari Benny Tjokrosaputro, salah satu terdakwa di kasus Asabri ini, dijerat tak hanya dengan pasal tindak pidana korupsi tetapi dengan pasal tindak pidana pencucian uang dalam perkara yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 22,7 triliun tersebut.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, dalam keterangan tertulis, Selasa (8/3/2022), mengatakan, jaksa penuntut umum Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Negeri Jakarta Timur telah melimpahkan berkas perkara Teddy ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa siang.
Teddy adalah adik dari Benny Tjokrosaputro, terpidana dalam perkara korupsi Asuransi Jiwasraya dan salah satu terdakwa dalam perkara korupsi Asabri.
”Bahwa setelah pelimpahan berkas perkara, maka tim jaksa penuntut umum akan menghadirkan terdakwa di persidangan setelah mendapatkan penetapan majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” kata Ketut.
Menurut Ketut, Teddy dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi dan pasal tindak pidana pencucian uang. Dengan pelimpahan tersebut, persidangan terhadap yang bersangkutan akan segera dilakukan.
Secara terpisah, dari penelusuran di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, perkara dengan terdakwa Teddy Tjokrosaputro telah diregistrasi dengan nomor perkara 7/Pid.Sus-TPK/2022/PN Jkt.Pst. Namun, dalam registrasi perkara di SIPP tersebut belum dicantumkan waktu pelaksanaan sidang perdana.
Dalam kasus Asabri, delapan terdakwa telah menjalani persidangan. Dari delapan terdakwa tersebut, tujuh di antaranya sudah divonis bersalah oleh hakim, yakni Lukman Purnomosidi, Jimmy Sutopo, Bachtiar Effendi, Hari Setianto, Adam Rachmat Damiri, Sonny Widjaja, dan Heru Hidayat.
Adapun satu terdakwa lainnya, yakni Benny Tjokrosaputro, masih menjalani persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi.
Keadilan restoratif untuk koruptor
Secara terpisah, dalam diskusi publik bertajuk ”Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp 50.000 Perlu Dipenjara?” yang dilaksanakan secara virtual pada Selasa (8/3/2022), Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menegaskan bahwa dalam konteks pemberantasan korupsi, penerapan keadilan restoratif dapat diterapkan untuk para pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara ataupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, tetapi dengan nominal kerugian yang kecil.
Burhanuddin mengatakan, jika mencermati seluruh bentuk tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dapat dikatakan bahwa tidak semua jenis tindak pidana korupsi berkaitan dengan kerugian keuangan negara.
”Dengan adanya perbedaan jenis tindak pidana korupsi, maka sudah seyogianya mekanisme penerapan hukumnya pun juga harus dilakukan secara berbeda. Tentu tidaklah tepat jika delik yang tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara, kita terapkan proses hukum yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara,” kata Burhanuddin.
Menurut Burhanuddin, penanganan perkara tindak pidana korupsi dari proses penyelidikan sampai dengan eksekusi tidak murah. Negara menanggung biaya hingga ratusan juta rupiah untuk menuntaskan sebuah perkara tindak pidana korupsi. Ia berpandangan bahwa penanganan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki nilai kerugian relatif kecil justru merupakan bentuk kerugian negara yang dilakukan secara legal.
Terkait sanksi pidana, kata Burhanuddin, tidak harus selalu berupa penjara. Terdapat beberapa sanksi lain yang dapat diterapkan, seperti sanksi pidana denda yang setimpal, pencabutan hak-hak tertentu, atau perampasan barang. Alternatif sanksi lainnya adalah sanksi administrasi kepegawaian berupa penundaan pangkat hingga kepemecatan.
”Bagi pihak swasta dapat dilakukan pembekuan, pembubaran, atau black list sehingga tidak dapat lagi mengikuti pengadaan barang dan jasa milik negara,” ujar Burhanuddin.