Konstitusi Bukan Sekadar Teks yang Bisa Diubah Sesuai Kehendak Kekuasaan
Konstitusi bukan sekadar teks yang bisa diubah-ubah isinya oleh kehendak kekuasaan. Sekali konstitusi dilanggar, runtuhlah bangunan demokrasi yang diperjuangkan sejak 1998.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konstitusi seharusnya tidak dimaknai hanya sebatas teks yang bisa diubah dengan politik. Demikian pula halnya politik, juga bukan sebatas matematika jumlah kursi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang bisa dengan mudah mengamendemen konstitusi demi perpanjangan jabatan presiden.
Hal itu ditekankan oleh pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti, Minggu (6/3/2022), saat dihubungi dari Jakarta, dalam merespons wacana penundaan Pemilu 2024. Lebih lanjut, ia menyampaikan, orkestrasi elite politik dalam wacana penundaan pemilu adalah bentuk pengkhianatan konstitusi.
”Konstitusi bukan sekadar teks yang bisa diubah-ubah isinya oleh kehendak kekuasaan. Sekali konstitusi dilanggar, runtuhlah bangunan demokrasi yang kita perjuangkan sejak 1998. Sebab, prinsip pembatasan kekuasaan selama dua periode telah dilanggar,” kata Bivitri.
Bivitri menyebutkan, secara ketatanegaraan untuk mengubah konstitusi memang mudah. Pasal 37 UUD 1945 mengatur bahwa untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir. Putusan dapat diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Adapun syarat kuorum adalah 2/3 dari anggota yang hadir atau 50 persen + 1 sudah bisa diambil keputusan amendemen UUD 1945.
Dengan komposisi partai pendukung pemerintah di DPR, lanjutnya, upaya amendemen konstitusi diperkirakan akan mudah diwujudkan ketimbang proses legislasi di DPR.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana secara khusus juga menyoroti pernyataan Presiden terkait wacana penundaan pemilu. Presiden menyebut bahwa wacana penundaan pemilu yang diucapkan menteri atau partai politik itu adalah bagian dari demokrasi dan kebebasan berpendapat. Namun, pada pelaksanaannya, Presiden mengatakan semua harus tunduk dan taat pada konstitusi.
Jika ditelisik lebih dalam, menurut Denny, pernyataan itu mengandung banyak kesalahan mendasar. Penundaan pemilu yang secara konsep ketatanegaraan lebih tepat disebut pembatalan pemilu adalah persoalan yang harus disikapi dengan tegas dan jelas. Presiden tidak boleh mendua dan bersikap abu-abu.
”Ini adalah persoalan hitam-putih dalam menjalankan konstitusi bernegara,” kata Denny melalui keterangan resmi, Minggu.
Pembatalan pemilu adalah sikap yang terang benderang menabrak UUD 1945. Tidak hanya satu pasal yang dilanggar, tetapi banyak pasal yang dilanggar.
Menurut pandangannya, pembatalan pemilu adalah sikap yang terang benderang menabrak UUD 1945. Tidak hanya satu pasal yang dilanggar, tetapi banyak pasal yang dilanggar, di antaranya adalah soal Indonesia sebagai negara hukum yang diatur di Pasal 1 Ayat (3). Menurut Denny, menghilangkan pemilu rutin menyebabkan Indonesia lebih mengedepankan negara berdasarkan nafsu kekuasaan belaka (machtstaat) dan jauh menyimpang dari negara berdasarkan hukum (rechtstaat).
Usulan membatalkan pemilu yang secara implisit mengandung hasrat memperpanjang masa jabatan petahana presiden dan wakil presiden, parlemen pusat dan daerah, bahkan kepala daerah, jelas-jelas bertentangan dengan pembatasan kekuasaan. Pasal 7 UUD 1945 mengatur bahwa anggota DPR, DPD, dan DPRD dipilih melalui pemilu. Adapun di Pasal 19 Ayat (1), Pasal 22 C Ayat (1), dan 18 Ayat (3) disebutkan, antara lain, kepala daerah dipilih secara demokratis. Pada Pasal 22 E Ayat (1) juga diatur tentang pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala setiap lima tahun.
”Wacana pembatalan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan (presiden) menabrak UUD 1945 dan tidak ada keraguan atasnya. Sejauh ini tidak ada ahli hukum tata negara dan politik yang berbeda tafsir soal pelanggaran itu. Maka, pernyataan Presiden di satu sisi menyatakan tunduk dan patuh pada konstitusi, tetapi di sisi yang lain memberi ruang wacana penundaan pemilu bergulir dengan alasan konsekuensi berdemokrasi adalah sikap mendua yang keliru dan fatal,” kata Denny.
Apabila benar bahwa Presiden tunduk dan patuh pada konstitusi, seharusnya pernyataannya dikunci dengan meminta seluruh pihak berhenti membicarakan pembatalan pemilu dan perpanjangan masa jabatan. Sikap Presiden seharusnya hitam putih soal itu. Presiden seharusnya tidak membuka ruang tafsir abu-abu terhadap pelanggaran konstitusi.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyampaikan, wacana penundaan Pemilu 2024 yang diembuskan di tengah sudah adanya konsensus penetapan tanggal pemilu 14 Februari 2024, itu adalah pelanggaran konstitusi. Asas kedaulatan di tangan rakyat melalui penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil dilanggar. Padahal, tidak ada preseden di dunia, pemilu ditunda karena alasan pandemi dan pertumbuhan ekonomi.
”Penundaan pemilu membuat daulat rakyat tidak bisa diaplikasikan. Sesuai amanat konstitusi, pemilu dilakukan secara luber, jurdil setiap lima tahun sekali. Ini jelas-jelas menerabas masa jabatan presiden dan wapres yang diatur di Pasal 7 UUD 1945,” kata Titi.
Titi menambahkan, berdasarkan riset jurnal ilmiah yang dia temukan, memang ada lima strategi yang digunakan pemimpin politik untuk menghindari pembatasan masa jabatan presiden. Pertama, adalah mengamendemen konstitusi. Pembuatan konstitusi baru itu akan menghilangkan pembatasan masa jabatan dua periode. Selain itu, juga bisa meminta legitimasi pengadilan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Wacana penundaan pemilu adalah pengingkaran konstitusionalisme demokrasi. Ini menjadi karpet merah untuk menambah masa jabatan presiden tanpa harus berkeringat melalui pemilu.
Kemudian, dengan cara place holder president atau membiarkan orang dekat pemimpin saat ini menjadi presiden. Dengan demikian, pemimpin saat ini tetap bisa mempertahankan kendali kekuasaan. Adapun strategi yang paling populer adalah menunda pemilu. Ini dianggap menjadi pilihan populer bagi kekuasaan otoritarian untuk tetap berkuasa.
”Wacana penundaan pemilu adalah pengingkaran konstitusionalisme demokrasi. Ini menjadi karpet merah untuk menambah masa jabatan presiden tanpa harus berkeringat melalui pemilu. Ini sangat berbahaya sehingga harus ditolak. Jangan sampai ada pembenaran sosial untuk menunda pemilu. Apalagi alasannya hanya karena pandemi, yang jelas-jelas tidak dipakai pada penyelenggaraan Pilkada 2020,” kata Titi.