Menurut Butet, industri besar seperti PKT itu tak boleh dijauhi, tak boleh pula kesusu mengecapnya anti budaya. “Bayangan saya ini menjadi kebijakan pemerintah secara menyeluruh."
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·4 menit baca
Ketika melakukan muhibah kebudayaan ke Bontang, Butet Kartaredjasa tidak sedang menapak tilas perjalanan Bagong Kussudiardjo, ayahnya. Ia punya misi “ambisius”, menjinakkan industri dengan seni. Kesan pabrik yang keras dan rakus, harus diinterupsi dengan menghadirkan para seniman ke situs kekerasan dan kerakusan itu sendiri.
Pikiran dasar itulah yang membuat Butet mengajak puluhan seniman (pelukis dan penyair) melakukan muhibah kebudayaan ke Kota Bontang, Kalimantan Timur, 5-9 Juni 2022. Para seniman itu antara lain pelukis Nasirun, Putu Sutawijaya, Lucia Hartini, Erica Hestu Wahyuni, Bambang Herras, dan Cadio Tarompo, didampingi para penyair seperti Joko Pinurbo, Hasan Aspahani, Inggit Putria Marga, Ni Made Purnama Sari, dan Sunaryo Broto.
Para seniman berkesempatan melihat dari dekat proses pembuatan pupuk di PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), termasuk berkeliling melihat instalasi pipa-pipa raksasa. Selain itu mereka juga diajak untuk menikmati konservasi hutan bakau di Telok Bangko, serta berbagai kreativitas masyarakat seperti Kampung Malahing, industri herbal di Loktuan, dan pariwisata mandiri di Desa Adat Guntung.
Menurut Butet, industri besar seperti PKT itu tak boleh dijauhi, tak boleh pula kesusu mengecapnya anti budaya. “Bayangan saya ini menjadi kebijakan pemerintah secara menyeluruh. Misalnya, industri yang mengalirkan CSR untuk budaya diberi keringanan pajak,” kata Butet di Bontang.
Kehadirannya bersama puluhan seniman di Bontang, tambahnya, hanya menjadi contoh kasus yang bisa juga dilakukan di tempat berbeda. Ia ingat antara tahun 1969-1970-an, Pertamina mengundang para perupa seperti Affandi, S Sudjojono, dan Bagong Kussudiardjo ke beberapa kilang minyak.
Mereka kemudian menghasilkan lukisan-lukisan dengan obyek sekitar lingkungan Pertamina. Bagong sendiri pernah opula diundang PKT tahun 1990 untuk berkarya di Bontang. “Lahirlah sendratari Bontang Gugah yang dipentaskan di Bontang tahun 1990,” kata seniman monolog itu.
Kedatangan para seniman ke Bontang, disambut dengan tangan terbuka oleh Direktur Utama PKT Rahmad Pribadi. Menurutnya, industri bukan sekadar kegiatan fisik seperti pabrik, tetapi juga inovasi karyawan yang berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu,”Industri juga harus mengemban nilai-nilai humanis,” katanya saat menyambut para seniman dan jurnalis, Senin (6/6/2022) malam.
Buka wawasan
Penyair Joko Pinurbo merespons muhibah ini dengan sangat serius. Selama ini, katanya, penyair selalu menjadi kelas pinggiran dalam strata kesenimanan. “Ia distigma pinggiran, makanya hidupnya selalu melarat,” katanya sembari nyengir kuda. Oleh sebab itu, ketika Butet Kartaredjasa menawarinya menjadi kurator, ia memilih para penyair yang siap kerja cepat dalam merespons perubahan ruang hidup.
Salah satu karya Jokpin setelah mengunjungi pabrik PKT misalnya berjudul “Kolam Ikan”. //Tubuhmu yang lelah/meliuk-liuk di kolam hijau yang jernih/Tubuh yang baru saja gajian/Setelah sebulan dikejar kerja/Pabrik masih lembur/Suara mesin masih menggema/Dan tubuhmu masih meliuk-liuk/di kolam hijau yang jernih berkilau/Tubuhmu akan selalu/merindukan berkah air/Biar hidup tetap cair dan mengalir//.
Karya ini, menurut Jokpin, hanya dipicu kehadirannya di sebuah kolam ikan koi di lingkungan pabrik. Ia melihat keindahan gerakan ikan di dalam kolam, seperti tubuh para karyawan pabrik yang penuh kegembiraan setelah hari gajian. Tetapi esok hari, pabrik terus berproduksi dan kerja harus diteruskan. Ia bagai siklus kerja yang tak pernah putus sampai akhirnya hidup menjadi lebih rileks (cair) dan mengalir.
Sedangkan pelukis Bambang Herras, termasuk seniman yang paling responsif saat melihat obyek yang menurutnya “aneh”. Ketika mengunjungi area pabrik di sekitar pelabuhan pengapalan pupuk, di tengah terik matahari Khatulistiwa, ia merogoh peralatan melukisnya. Dalam jeda kunjungan selama 10 menit, terciptalah beberapa sketsa tentang kapal raksasa yang sedang sandar di tepi pelabuhan. Kapal ini tak lain adalah kapal yang digunakan untuk mendistribusikan pupuk ke berbagai kota di dunia.
“Ini kesempatan langka. Tak semua bisa masuk ke sini,” kata Bambang Herras. Menurutnya, kunjungan ke pabrik pupuk itu menjadi berarti bukan hanya karena sifatnya eksklusif, tetapi mulai ada kepedulian industri terhadap seni. Apalagi, PKT secara serius telah membangun galeri untuk memajang karya-karya para perupa ternama Indonesia.
Muhibah para seniman di Bontang, akan berujung pada bulan Desember 2022. Saat itu hasil kunjungan para seniman akan dipresentasikan. Para perupa memamerkan hasil karyanya, sementara para penyair meluncurkan buku yang berisi puisi-puisi harisl rekaman selama berkunjung ke Bontang.
Menurut penyair Sunaryo Broto, yang juga pensiunan PKT, wawasan para seniman perlu terus diperbaharui. Selain sering melihat penderitaan, perlu pula mencermati industri dasar seperti pupuk. Terkadang, katanya, opini tentang pabrik itu keras dan rakus berangkat dari kesan sepintas. “Kalau didekati dan didalami, pasti juga ada sisi-sisi kemanusiaan di dalamnya,” katanya. Oleh sebab itu, ia beranggapan kunjungan para seniman ke pabrik akan memberi wawasan serta obyektivitas dalam melihat fenomena.
Apa yang diharapkan Butet serta para seniman yang bertolak ke Bontang, sangat mungkin menjadi gerakan perlawanan terhadap kecenderungan “mistifikasi” terhadap pabrik. Bahwa pabrik bukan institusi angker yang tak bisa dijinakkan. Ia juga dibangun dan disusun dari relasi antar-manusia, yang kemudian melahirkan kebudayaan. Kebudayaan semacam apa yang akan lahir? Harus ditunggu sampai bulan Desember 2022 nanti.