Yang Hilang dari Pameran Virtual
Ada yang hilang saat menonton pameran seni rupa secara daring alias virtual. Berhadapan langsung dengan karya seni aslinya tetap tak tergantikan.
Pameran karya seni rupa yang digelar secara hibrida memungkinkan dua hal. Penikmat bisa melihat langsung karya yang dipamerkan di galeri atau menontonnya secara virtual. Meski begitu, sebagian perupa dan penikmat menyatakan, "berhadapan" langsung dengan sebuah karya seni, tetap memberi sensasi berbeda.
Meski tertera kata ”online”, pameran Art Moments Jakarta Online 3 (AMJO3), tahun 2022 dilakukan secara hibrida. Dengan tema besar ”Continuance Wave” (Gelombang Penerusan), pameran dapat dinikmati di Galeri Art:1 New Museum Jakarta, 9 – 12 Juni 2022.
Publik global dapat menikmatinya secara virtual di laman www.artmomentsjakarta.com mulai 10 Juni hingga 31 Agustus 2022. Sekitar 1.200 karya dari 52 galeri turut memberi warna dalam perhelatan ini.
Perupa asal Bali I Made Bayak, menyuguhkan kejutan. “Secara rupa, karya saya baik secara virtual atau langsung terasa tidak ada bedanya. Akan tetapi, ketika dilihat langsung dari dekat akan terasa beda,” ujar Bayak, saat pembukaan AMJO3, Kamis (9/6/2022) di Art:1 New Museum.
Bayak mendedikasikan karya-karyanya untuk mengingatkan manusia akan bahaya sampah plastik. Ia mengolah plastik menjadi kanvas, di mana kemudian kreasi artistik lebih dominan. Ia mengenalkan karyanya dengan istilah plastikologi (plasticology).
Selembar plastik bekas tas kresek bergaris hitam dan putih menjadi “kanvas” lukisannya yang diberi judul, ”Bhuta Kala Plastik Poleng”. Bayak menampilkan sosok Bhatara Kala anak Dewi Durga. Selintas karya itu memang seperti lukisan biasa. Akan tetapi, ketika didekati terlihat serpihan plastik bekas tas kresek itu nyata.
Secara rupa, karya saya baik secara virtual atau langsung terasa tidak ada bedanya. Akan tetapi, ketika dilihat langsung dari dekat akan terasa beda.
Karya Bayak lain lebih kentara dalam menampilkan sampah-sampah plastik, di antaranya plastik bekas pembungkus makanan. Ada tertera merek-merek produk yang disertakan di “kanvas” lukisannya itu.
Seperti di dalam karyanya yang berjudul ”The Warrior Dance”. Bayak melukis wajah seorang perempuan penari Bali. Bidang yang menjadi latar lukisan wajah penari itu dihiasi nama-nama merek minuman, makanan ringan, dan sebuah nama toko suvenir terkenal di Bali.
Di situ nyaris tak terasa plastik asli yang ditampilkan Bayak. Barulah diketahui sampah plastik itu ketika mencermatinya lebih dekat.
Liar dan sistematis
Galeri Art:1 New Museum memiliki area pameran sekitar 4.000 meter persegi. Di dalam pameran AMJO3, terlihat karya seniman Bali lainnya, Made Wianta (1949 – 2020), dipajang di area pamer yang termasuk paling besar. Jean Couteau, kurator karya Wianta, menyebutkan, satu hal yang menarik untuk dinikmati publik ialah kekuatan liar dan sistematis dari karya-karya Wianta.
“Ada segi sistematis, selain keliaran dari karya-karya Wianta. Di situ Wianta ingin berbicara tentang dirinya sendiri,” ujar Jean Couteau, ketika dihubungi di Bali, Jumat.
Wianta tidak menyibukkan diri dengan apa saja yang ada di luar dirinya. Ia lahir dan hidup menetap di Bali yang dikungkung seni khas Bali dan ritual keagamaan. Akan tetapi, Wianta tidak terseret arus besar seni Bali. Wianta menampilkan keliaran, sekaligus sistematika dengan cara pandangnya sendiri sebagai laku keseniannya.
“Wianta mengangkat bayangan-bayangan alam bawah sadarnya. Ia mengangkat tentang dirinya,” ujar Couteau. Seperti karya Made Bayak, ada beberapa karya Wianta yang bisa kita rasakan berbeda ketika melihatnya secara langsung. Seperti karya seri kaligrafi.
Ada dua karya kaligrafi Wianta berukuran besar yang disandingkan. Karya yang bernuansa warna merah dan hitam diberi judul ”Brave Calligraphy”. Karya berikutnya, ”Calligraphy and Morning Mist”, bernuansa warna lebih lembut dengan warna putih menuju coklat muda.
Jika diamat-amati dengan dua metode langsung atau virtual, karya-karya itu mungkin saja terasa sama. Akan tetapi, ada seri kaligrafi Wianta berikutnya yang berbeda. Karya kaligrafi Wianta itu dipasang di sudut lain, diberi judul, ”Grey Spatial Calligraphy”.
Wianta mengangkat bayangan-bayangan alam bawah sadarnya. Ia mengangkat tentang dirinya.
Di dalam karya itu, Wianta menancapkan ratusan atau mungkin ribuan paku. Ia menghubungkan setiap paku itu dengan kawat-kawat. Jika dilihat secara virtual dari tampak depan, paku-paku itu hanya terlihat seperti titik-titik hitam yang dihubungkan dengan garis-garis tipis hitam pula. Ketika dicermati secara langsung, ternyata di situ ada paku-paku yang menancap.
Menurut Jean Couteau, karya seri kaligrafi ”Grey Spatial” menunjukkan keliaran, sekaligus sistematisnya Wianta. Seni kaligrafi Wianta memang tidak menuliskan aksara yang mudah kita pahami. Akan tetapi, dari situ Wianta ingin berbicara tentang dirinya.
Karya seni patung mungkin juga akan lebih menarik ketika dinikmati secara langsung. Salah satunya, karya Agapetus Kristiandana. Ia membuat patung babi gemuk bertangan dan berkaki manusia yang sedang pulas tertidur. Di dekatnya, terdapat beberapa botol bertuliskan ”Absolutely Tired”.
Tubuh dan kepala patung babi itu terlihat begitu realistis, seperti sungguhan. Akan tetapi, kedua kaki depan digantikan dengan bentuk tangan manusia. Tangan kirinya masih memegang botol yang tergeletak di lantai. Kemudian kedua kaki belakang babi itu dibentuk sebagai kaki manusia yang mengenakan celana jins biru. Sabuk celananya terbuka melingkupi perut babi yang tambun.
Patung memberi kelengkapan sudut pandang. Oleh karena itu, menikmati secara langsung lebih terasa lengkap untuk menyaksikan tawaran keindahan dan pesan moralnya.
Patung-patung juga dihadirkan Museum of Toys. Ada patung yang dicetak secara digital dari karya seniman Eko Nugroho, Nus Salomo, dan lainnya. Karya-karya dua dimensi lain yang dipamerkan, juga akan lebih menarik untuk dilihat secara langsung. Itu disebabkan banyak jenis media yang digunakan dan sudah tidak lagi terkungkung media konvensional.
Baca juga: Keindahan yang Berdaya
Art Moments Jakarta Online 3 dikuratori Rizki Zaelani. Menurut Rizki, tema Gelombang Penerusan sebagai wujud semangat penciptaan karya seni setelah pandemi yang membingungkan dan tidak pasti. “Seni membawa kita untuk meneruskan hidup menjadi lebih baik,” ujar Rizki, di acara pembukaan AMJO 3.
Seni dijaga untuk terus bertemu dengan publiknya. Di situlah seni terus berkembang dan menawarkan semangat hidup. AMJO3 ingin menunjukkan hal itu.
Direktur Pameran AMJO3 Sendy Widjaja menyinggung pula soal NFT (nonfungible token). Beberapa karya seniman yang dijadikan produk NFT turut ditampilkan secara langsung di pameran.
AMJO3 sebagai pameran hibrida antara daring dan luring menjadi penanda warisan pandemi Covid-19. Seni dihadirkan secara langsung demi menjaga kedalaman makna, pengetahuan kekayaan media, dan pengalaman untuk turut merasakan secara langsung.
Seni pun disuguhkan secara virtual demi menjangkau makin banyak penikmat di panet ini. Pandemi Covid-19 sudah menuntun kita ke jalan itu.
Baca juga: Berkah Melukis Seharian