Kumpulan esai kebudayaan ePILOG (2020) karya Putu Fajar Arcana memaknai peristiwa sederhana untuk menggambarkan masalah kemanusiaan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kumpulan esai kebudayaan ePILOG (2020) memaknai peristiwa sederhana untuk menggambarkan masalah-masalah kemanusiaan. Melalui buah tangan Putu Fajar Arcana ini, kesadaran pembaca digugah melalui mitos, puisi, hingga peristiwa masa kini.
Dalam diskusi virtual ”ePILOG, Memandang Kebudayaan dari Tepian”, Sabtu (15/8/2020), Putu Fajar Arcana menyatakan, buku berisi 30 esai tersebut dimulai dari hal personal dan pengalaman yang remeh-temeh.
”Ini juga praktik jurnalisme, soal bagaimana jurnalisme tidak menganggap sebuah kejadian sambil lalu. Melatih diri dengan sensitivitas sebagai jurnalis dengan menganggap sebuah kejadian pasti selalu ada sisi uniknya,” kata pria yang akrab disapa Bli Can ini.
Sebagai jurnalis senior di harian Kompas, Bli Can menjelaskan, menulis adalah sarana untuk memuliakan martabat manusia, menghargai benda-benda yang dikira tak berperan dalam hidup ternyata membuka ruang ke masa lalu dan masa kini. Ia mendasarkan semua tulisannya dengan asumsi bahwa hampir semua peristiwa di sekitar kita berkaitan, baik dengan masyarakatnya maupun dengan manusia sebagai person.
Dalam diskusi virtual ini, turut hadir penulis Linda Christanty dan kolumnis Jean Couteau. Jean menyoroti teknis penulisan ePILOG yang menggabungkan antara jurnalistik dan analisis budaya.
Bagian yang menarik, kata Jean, adalah esai-esai tersebut dengan mudahnya berpindah dari masa kini ke masa lalu. Masa lalu dan masa sekarang hanya berselang beberapa kalimat, seperti tergambar dalam ”Antagonisme Banjir”.
Dalam esai tersebut, Bli Can membahas air yang menggenangi Ibu Kota sejak masih bernama Batavia hingga Jakarta. Ketika air menenggelamkan permukiman, kehadirannya disandingkan dengan monster Hydra dalam mitologi Yunani, monster penghuni mata air di Danau Lerna berbentuk naga berkepala sembilan.
Di tulisan yang sama, ia juga mengingatkan kearifan zaman lampau tentang bagaimana nenek moyang memberlakukan air sebagai sumber kehidupan. Dengan menerangkan kontras tersebut, pembaca bisa mendapat gambaran tentang pergeseran persepsi manusia dalam memaknai air.
”Saya merasa daya tarik tulisan Can justru terletak dari kepiawaiannya menjelaskan masa lalu dan masa kini. Ada tulisan analitis budaya yang bisa dipahami dalam kerangka teoretis. Tetapi kita sudah tahu akan ke mana tulisan itu. Tetapi esai Can justru kebalikannya. Siapa menyangka detail kecil akan mengantarkan kita pada loncatan-loncatan tak terduga. Kita tak diarahkan untuk mencapai kesimpulan politik tertentu seperti analisis umum kebudayaan, tetapi selalu ada surprise,” tuturnya.
Dia melanjutkan, esai ePILOG mengajak pembaca untuk menyadari masalah tertentu. Tetapi hal itu tidak dengan cara menggurui. Kesadaran pembaca digugah melalui cerita-cerita dalam esai tersebut.
Daya tarik tulisan Can justru terletak dari kepiawaiannya menjelaskan masa lalu dan masa kini. Ada tulisan analitis budaya yang bisa dipahami dalam kerangka teoretis. Tetapi kita sudah tahu akan ke mana tulisan itu. Tetapi esai Can justru kebalikannya.
”Berkali-kali dalam ePILOG muncul masalah Indonesia timur atau masalah lingkungan. Ia tidak bilang kita harus jadi aktivis lingkungan. Tetapi dengan sendirinya memahami bahwa ada hal yang harus diubah dalam nasib masyarakat di Indonesia timur, ada yang harus diubah dalam cara kita mengelola alam. Hal ini muncul dengan sendirinya,” jelasnya.
Linda Christanty menambahkan, ePILOG juga bisa membicarakan kematian dengan tenang, sebuah peristiwa umum yang selalu dibayangkan dalam rasa cemas. Sebagian orang beragama, kata Linda, membayangkan kehidupan abadi dan surga untuk mengobati trauma atas kematian.
Namun, melalui ”Intuisi untuk Mati”, dua pelukis Arie Smit dan Jeihan Sukmantoro justru menantikan kematian. Kedua seniman itu kini sudah meninggal. Sebelum meninggal, Arie merasa bosan karena sudah hidup begitu lama. Begitu juga Jeihan yang dalam wawancara bersama Bli Can mengucapkan kalimat bernada afirmatif terhadap kematian, seperti ”Saya sudah merasa cukup, sudah sampai puncak, apalagi yang mau dicari, ketemunya kekosongan….”
”Ini membuat pembaca melihat sisi lain yang indah dan substansial dan barangkali optimistis tentang kematian. Dan, mengikis stigma bahwa kematian tak selalu buruk,” ujar Linda.