Sejumlah pihak menilai, konsumsi listrik bitcoin tidak efisien. Namun, di sisi lain, tambang Bitcoin dinilai tidak merusak lingkungan selayaknya tambang logam mulia konvensional.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsumsi energi dinilai menjadi titik lemah jaringan uang kripto bitcoin yang digadang-gadang sebagai masa depan keuangan dunia. Energi yang dibutuhkan untuk memverifikasi transaksi bitcoin—sekaligus menambangnya—dikhawatirkan akan menciptakan krisis energi. Namun, di sisi lain, pelaku industri menilai, Bitcoin lebih ramah lingkungan ketimbang tambang emas konvensional.
Nilai bitcoin terus tumbuh hingga lebih dari sepuluh kali lipat dalam setahun terakhir. Kini, nilai tukar 1 bitcoin (BTC) lebih dari 53.000 dollar AS dibandingkan dengan hanya sekitar 5.000 dollar AS pada Maret 2020. Penerimaan yang lebih luas dan kepercayaan yang semakin tinggi terhadap bitcoin diyakini menjadi faktor pendorong.
Pada Februari lalu, misalnya, perusahaan mobil listrik Tesla yang dipimpin oleh bilioner Elon Musk membeli bitcoin dengan total 1,5 miliar dollar AS (Rp 21,6 triliun) dan memutuskan akan menerima transaksi bitcoin untuk pembelian mobil Tesla.
Namun, tampaknya pembelian bitcoin ini bisa jadi tidak sejalan dengan semangat penggunaan energi terbarukan yang dikibarkan oleh Tesla. Sebab, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa jaringan Bitcoin membutuhkan konsumsi listrik dan jejak emisi karbon yang jauh lebih besar ketimbang pengolahan transaksi uang elektronik konvensional.
Perubahan harus dari dalam. Saya harap pengembang Bitcoin Core dapat mengubah perangkat lunak sehingga lebih irit energi. Saya hitung, jaringan bitcoin membutuhkan energi separuh pusat data yang ada di dunia.
Penelitian berjalan Digiconomist Bitcoin Energy Cinsumption Index yang dibuat oleh ekonom asal Belanda, Alex De Vries, Selasa (23/3/2021), memperkirakan bahwa jaringan bitcoin menggunakan 86,65 TWh per tahun dan menghasilkan jejak emisi karbon 41,16 MtCO2. Menurut dia, jejak karbon satu transaksi bitcoin setara dengan 824.975 transaksi layanan pembayaran Visa.
Menurut De Vries, sebuah perubahan perlu dilakukan oleh pengembang perangkat lunak (software) bitcoin agar setiap transaksinya dapat lebih irit dalam menggunakan energi.
”Perubahan harus dari dalam. Saya harap pengembang Bitcoin Core dapat mengubah perangkat lunaksehingga lebih irit energi. Saya hitung, jaringan bitcoin membutuhkan energi separuh pusat data yang ada di dunia,” kata De Vries ke Techcrunch.
Penelitian lainnya, yang dilakukan oleh Cambridge Centre for Alternative Finance, Universitas Cambridge Inggris, memperkirakan, berdasarkan rata-rata sepekan terakhir, konsumsi listrik jaringan bitcoin 134,41 terawatt-hour (TWh) per tahun.
Jika dibandingkan dengan konsumsi listrik tahunan negara-negara di dunia, bitcoin berada di posisi ke-27 lebih besar ketimbang banyak negara, antara lain Swedia (131,8 TWh), Argentina (125,03 TWh), Belanda (110, 68 TWh), Uni Emirat Arab (119,45 TWh), dan Filipina (93,35 TWh).
DGabriel Rey, Chief Executive Officer Triv.co.id, platform perdagangan aset kripto, kepada Kompas, mengatakan, dia memahami bahwa memang ada kritik isu energi dan lingkungan terhadap Bitcoin. Namun, menurut dia, sebagai sebuah aset berharga, bitcoin lebih ramah lingkungan ketimbang tambang emas konvensional. Penambangan bitcoin tidak menghasilkan efek kerusakan lingkungan yang masif selayaknya tambang logam mulia, misalnya.
”Saya rasa tambang konvensional ini lebih dirtyenergy. Dampak lingkungannya itu terlihat nyata ketimbang Bitcoin yang hanya mengambil listrik. Menambang bitcoin tidak perlu menebang pohon,” kata Gabriel.
Sebagai sebuah aset berharga, bitcoin lebih ramah lingkungan ketimbang tambang emas konvensional. Penambangan bitcoin tidak menghasilkan efek kerusakan lingkungan yang masif selayaknya tambang logam mulia
Selain itu, juga mengutip hasil penelitian Cambridge, Gabriel mengatakan, 39 persen listrik yang digunakan untuk menambang berasal dari sumber tenaga yang terbarukan.
Pandangan Gabriel juga dipegang oleh perusahaan manajemen aset asal AS, ARK Invest. Dalam hasil risetnya yang dipublikasikan pada Juni 2020, ARK menyebut bahwa industri tambang emas konvensional menghabiskan tenaga listrik lebih besar, yakni 500 juta gigajoule per tahun, dibandingkan 184 gigajoule yang dibutuhkan bitcoin.
”Melawan mitos selama ini, kami meyakini bahwa dampak lingkungan penambangan bitcoin itu rendah. Sumber energi terbarukan, khususnya tenaga air, mengambil porsi besar dalam kebutuhan listrik bitcoin,” tulis analis ARK Invest Yassine Elmandjra.
Pemadaman bergilir
Sementara itu, krisis energi akibat uang kripto dinilai sudah nyata terjadi di Abkhazia. Abkhazia adalah wilayah eks Uni Soviet di sisi barat Laut Hitam yang berusaha memerdekakan diri dari Georgia. Tarif listrik di Abkhazia relatif murah, hanya sekitar 0,005 dollar per kWH, bahkan jauh lebih murah ketimbang Indonesia atau AS yang sebesar 0,1 dollar AS per kWh.
Reuters melaporkan, pada 2020, konsumsi listrik meningkat 50 persen dibandingkan sejak penambangan kripto booming pada 2016. Tercatat setidaknya ada 625 perusahaan tambang kripto di Abkhazia yang hanya memiliki populasi 240.000 orang. Namun, diyakini jumlah tambang kripto di Abkhazia jauh lebih besar dari yang terdaftar.
Efeknya, sejak November 2020, perusahaan listrik Abkhazia menggelar pemadaman bergilir untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Akhirnya, sejak Desember 2020, Pemerintah Abkhazia melarang keberadaan penambangan kripto. Kini, parlemen lokal kota Sukhumi, ibu kota Abkhazia, sedang membahas aturan yang memungkinkan polisi menyita peralatan komputer yang digunakan untuk menambang aset kripto.