Media sosial kini tidak lagi sekadar platform berbagi status atau foto, tetapi juga berbisnis. Pelaku usaha pun memanfaatkan media sosial untuk membaca pasar serta mengembangkan usahanya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Media sosial saat ini bukan lagi hanya menjadi platform yang digunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi antarpenggunanya. Media sosial juga mulai dianggap efektif sebagai platform pemasaran produk dan menjadi ajang interaksi produsen dengan calon konsumen potensialnya.
Malah karena dianggap sebagai platform yang efektif dalam memasarkan produk, sejumlah pelaku usaha menggunakan media sosial untuk membaca keinginan pasar, mencari konsumen baru, dan berinovasi. Selain untuk mengembangkan bisnis, media sosial juga dianggap turut mendongkrak penjualan saat pandemi Covid-19.
Citra Ajeng, pemilik usaha Takoyaki Ichi, memanfaatkan media sosial sebagai sarana berinteraksi dengan konsumen. Ia menampung dan merespons testimoni, saran, serta kritik dari para pembeli. Hal itu untuk mendekatkan diri dengan konsumen sekaligus mengembangkan bisnis.
”Dari situ, saya bisa dapat beberapa informasi. Ini berguna sebagai acuan untuk branding dan promosi produk ke target pelanggan lain,” kata Ajeng saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (19/2/2021).
Ia juga menerima rekomendasi menu baru dari konsumen di media sosial. Rekomendasi itu kemudian dianalisis. Ajeng melakukan survei penerimaan konsumen terhadap calon menu baru, tes rasa, tes kualitas, dan mengecek persaingan pasar. Peluncuran menu menunggu momen yang tepat.
Sebagai contoh, Ajeng baru meluncurkan menu takoyaki salmon pada pertengahan Februari 2021. Pembeli akan mendapat cokelat setelah setiap pembelian dalam rangka Hari Kasih Sayang.
”Itu gimmick untuk menarik perhatian pelanggan. Hingga kini, kami masih mengenalkan produk kepada konsumen. Tapi, penjualannya lumayan. Dari semua menu, takoyaki salmon masuk lima besar (menu terfavorit pelanggan kami),” tutur Ajeng.
Lala Gozali, pemilik jenama etnik Gianti, juga memanfaatkan media sosial untuk membaca model busana yang digemari anak muda. Ia pun membuat busana yang sesuai preferensi konsumen, yakni pakaian santai yang longgar dan ringan. Konsumennya juga menyukai pakaian berpotongan sederhana dengan sisipan aksen etnik.
Banyak yang bisa dipelajari dari percakapan di Twitter. Brand dapat menganalisis apa yang dibicarakan audiens tentang brand itu di Twitter. Hasil analisis ini akan membantu mereka menemukan strategi yang tepat untuk tetap terhubung dengan audiens di momen khusus.
Dia juga menggunakan fitur Instagram Live untuk berjualan melalui siaran langsung. Pada siaran Januari 2021, Lala berhasil menjual belasan hingga puluhan potong baju. Ia berencana berjualan via siaran langsung Instagram setiap akhir bulan.
”Seorang tetangga membantu saya melakukan siaran langsung. Saya masih gaptek (gagap teknologi), jadi harus belajar terus. Saya berencana membentuk tim berisi anak muda untuk mengoperasikan media sosial toko,” kata Lala.
Membaca reaksi pasar terhadap produk dapat pula dilakukan dengan melihat engagement (interaksi warganet dengan akun atau unggahan di media sosial, seperti tanda suka atau like dan komentar). Engagement yang kurang baik bisa berarti konsumen tidak berminat pada produk tertentu.
”Kami punya perhitungan khusus untuk melihat engagement di media sosial. Ada koleksi busana yang pernah tidak jadi diluncurkan karena tidak disukai konsumen,” kata Direktur KAMI Istafiana Candarini yang akrab dipanggil Irin.
Reaksi konsumen biasanya dipantau lewat jumlah tanda suka, komentar, dan surat elektronik yang masuk. Komentar dan surat itu biasanya menanyakan waktu peluncuran busana yang dipromosikan.
KAMI juga melakukan peragaan busana sebelum meluncurkan produk, seperti peragaan busana di ajang Jakarta Fashion Week 2020. Selebihnya, upaya menarik konsumen yang lebih luas dilakukan di media sosial.
Menurut Irin, salah satu strategi pemasaran daring adalah dengan membuat konten yang menarik di media sosial. Konten yang dimaksud, misalnya, menampilkan cara memadukan busana atau styling, hingga menceritakan busana yang hendak diluncurkan.
Upaya itu bisa menarik minat konsumen untuk berbelanja daring. Belum lagi, belanja daring jadi gaya hidup yang kian populer selama pandemi. Menurut data Pandemi Covid-19 Menghasilkan Gaya Hidup Digital Baru oleh Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (CfDS UGM), 92 persen konsumen telah mencoba metode belanja digital.
Hal serupa tampak dari survei MarketPluc, Inc pada Juni 2020 terhadap 128 responden. Survei ini menunjukkan perubahan kebiasaan belanja masyarakat sebelum dan selama pandemi Covid-19. Hasilnya, jumlah transaksi belanja ritel secara daring naik enam kali lipat, yakni dari 4,7 persen menjadi 28,9 persen selama pandemi. Adapun belanja luring turun dari 52,3 persen menjadi 28,9 persen.
Mempelajari konsumen
Country Head Twitter Indonesia Dwi Adriansah mengatakan, maraknya penggunaan media sosial di masa pandemi harus dimanfaatkan pelaku usaha. Bukan hanya untuk berjualan, tetapi juga mempelajari audiens.
”Dalam hal ini, banyak yang bisa dipelajari dari percakapan di Twitter. Brand dapat menganalisis apa yang dibicarakan audiens tentang brand itu di Twitter. Hasil analisis ini akan membantu mereka menemukan strategi yang tepat untuk tetap terhubung dengan audiens di momen khusus, seperti Ramadhan di April nanti,” kata Dwi melalui keterangan tertulis.
Twitter pun mengeluarkan data yang bisa digunakan pelaku usaha untuk promosi jelang Ramadhan. Menurut Twitter, Ramadhan 2021 akan tetap berlangsung secara daring. Ini tampak dari responden yang akan melakukan beragam kegiatan daring, seperti belanja (57 persen), memesan makanan (37 persen), menyalurkan zakat (19 persen), mengirim hadiah (19 persen), dan bersosialisasi (41 persen).
”Pada 2020, ada peningkatan percakapan mengenai Ramadhan di Indonesia hingga 25 persen dibanding 2019. Untuk itu, penting bagi brand untuk menjalin komunikasi dengan audiens, yakni dengan membuat konten yang relevan,” ujar Dwi.