Pantang Mundur Musisi
Sebagian musisi berjuang bertahan di tengah pandemi dengan terpaksa menjual aset dan menjebol tabungan. Sebagian lagi menjajal membuat sesuatu, yang kemudian bisa dijual kembali untuk menghasilkan uang.
Menghadapi kondisi krisis alias kepepet, pilihan terbaik adalah segera putar otak bersiasat demi bertahan hidup. Tak terkecuali, hal ini juga dilakukan oleh para musisi Tanah Air di tengah pandemi Covid-19.
Sebagian dari mereka mencoba terus bertahan dengan terpaksa menjual aset dan menjebol tabungan. Sebagian lagi berupaya menjajal peruntungan, dengan membuat sesuatu, yang kemudian bisa dijual kembali untuk menghasilkan uang. Intinya, segala cara terus diupayakan sekuat mungkin agar dapur bisa tetap ngebul dan utang bisa tetap tercicil.
Nasib kurang beruntung sempat dialami Adityo Wibowo (36) alias Bowie, penabuh drum grup band blues kenamaan, Gugun Blues Shelter. Oktober lalu Bowie mengalami kecelakaan saat konser hingga tangannya patah.
Baca juga : Langkah Kaki di Hijau Alam
Di awal masa pandemi, Bowie harus menjalani tiga kali operasi pada tangannya. Oleh karena butuh dana segar, dia terpaksa merelakan tiga set drum kesayangan untuk dijual pada April, Mei, dan Juni 2020.
”Nilai jualnya jauh di bawah harga normal. Hanya (dihargai) separuhnya. Padahal, kalaupun ada uang lagi nanti belum tentu juga sanggup dibeli kembali. Salah satu set drum terbilang langka karena berasal dari tahun 1960-an,” ungkap Bowie.
Sementara proses pemulihan tangan, Bowie juga melanjutkan sejumlah bisnis. Hal itu sekaligus untuk menyiasati sepinya job manggung. Bowie mengaku kurang sreg kalau harus tampil secara daring.
Baginya, musisi diberkati kemampuan menularkan energi melalui penampilan langsung di depan penonton. Persenyawaan macam itu hanya bisa terjalin saat grup musik bisa berinteraksi langsung dengan penonton dari atas panggung.
Baca juga : Tarik Ulur... Jangan Sampai Putus!
Ada dua macam bisnis yang kini diseriusi Bowie untuk menopang kelanjutan hidup dan keluarganya serta beberapa rekan dekatnya. Produksi topi jenis Hithat Premium serta berjualan makanan Siomay Unyil, yang baru dimulainya dua bulan lalu.
Untuk bisnis siomay, Bowie kini punya lima gerai. Dia merangkul tukang siomay keliling langganannya saat masih sekolah, juga seorang teman pedagang Vespa, yang juga tengah kesulitan. Animo pembeli, menurut dia, lumayan besar.
Pengamat musik yang juga editor in chief majalah music Billboard, Adib Hidayat, menyebut sebetulnya ada sejumlah musisi sadar mencoba punya sumber pemasukan alternatif sejak sebelum pandemi. Ada yang berbisnis kuliner, punya usaha kos-kosan, atau sumber pendapatan lain jauh sebelum pandemi melanda.
”Krisis akibat pandemi ini sebenarnya mengajarkan pentingnya orang, terutama musisi, untuk selalu menabung, berinvestasi,” ujar Adib.
Bisnis makanan
Bisnis makanan terbilang paling populer menjadi pilihan para musisi untuk dijalankan sebagai exit emergency dan menjadi lini usaha alternatif. Tren itu mengingatkan pada masa krisis moneter tahun 1998 ketika banyak dari kalangan pesohor, pemain film, dan musisi ramai-ramai membuka warung tenda berjualan aneka makanan. Sebagian musisi di masa kini sebenarnya juga telah menjadikan bisnis kuliner sebagai ”bumper” tambahan mengingat kuliner sejak sebelum pandemi pun bersemarak di panggung bisnis.
Kru band yang kehilangan pekerjaan kala pandemi, macam operator tata cahaya, kami perbantukan dan pekerjakan di bisnis ini.
Sebut saja band musik cadas Seringai, yang sejak sekitar tiga tahun terakhir juga nyemplung ke bisnis makanan di bawah bendera Lawless Burger Bar. Walau diakui sempat terpengaruh dampak pandemi di awal-awal, bisnis kulinernya, menurut Arian sang vokalis, belakangan justru membaik.
Baca juga : Antusiasme demi Penjelajahan Batin
Selain kuliner, Seringai juga sejak lama punya lini bisnis lain seperti merchandise dan bengkel custom sepeda motor. Bisnis kuliner dan merchandise yang di awal pandemi terpukul, sempat membuat mereka merumahkan sejumlah pekerja lepas. Setelah berinovasi membuat sistem dropship untuk merchandise serta cloud kitchen dan makanan beku untuk bisnis kuliner, penjualan kembali normal. Mereka bahkan bisa menambah outlet dan merekrut sejumlah pekerja baru.
”Kru band yang kehilangan pekerjaan kala pandemi, macam operator tata cahaya, kami perbantukan dan pekerjakan di bisnis ini,” tambah Arian.
Selain Seringai, bisnis makanan juga dipilih mantan vokalis band Dewa, Ari Lasso. Sejak beberapa bulan terakhir Ari mencoba memproduksi dan menjual siomay.
Baca juga : Sederhana yang Sarat Makna
Menurut Ari, keuntungan dari berjualan siomay itu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan juga dibagi ke para kru dan bandnya. Menurut dia, hasilnya pun lumayan. Ari berharap para musisi tak bersikap manja dan terus berusaha untuk kreatif.
Lain lagi dengan pemain harpa profesional level dunia, Rama Widi, juga sedang cukup sibuk melayani pesanan menu peach gum dessert. Makanan serupa sup buah terbuat dari kurma merah, lengkeng, goji berry, lotus, chia seed, madu, serta peach gum atau getah pohon persik.
Rama mengaku tak mau ngoyo sehingga membatasi kuota pesanan setiap minggu. Sebab, proses pembuatannya memakan waktu empat hingga enam jam.
Tak hanya itu, Rama juga melabeli produknya dengan nama yang sama sekali tak mengindikasikan menu itu dibuat oleh dirinya, ”Dapoer Mama Cia”. Dengan begitu, orang akan membeli bukan karena penasaran terhadap sang koki, melainkan karena keunggulan rasa dan kualitas produk.
Cari peluang baru
Selama masa pandemi, penyanyi Rossa juga mengaku terus berupaya mencari beragam peluang baru. Hal itu terutama dengan memanfaatkan banyaknya waktu luang akibat sangat berkurangnya jadwal pentas off air.
Rossa juga meyakini ada banyak peluang kolaborasi, yang bisa diraih di era digital seperti saat ini. Peluang yang tentu saja juga bisa menghasilkan pemasukan tambahan.
Jadi, yang namanya kreatif itu keharusan.
Dia mencontohkan kolaborasinya dengan salah satu perusahaan musik digital, yang menggarap acara Bincang Musik melalui platform media sosial Rossa. Lewat acara itu, Rossa baru menyadari dirinya bisa mewawancarai orang.
”Aku juga coba gubah salah satu laguku, ’Hati yang Kau Sakiti’, ke dalam bahasa Korea. Alasannya sepele, karena aku suka drama Korea. Ternyata viral, lalu aku coba rekam secara serius. Alhamdulillah di chart (platform musik digital) sekarang nomor satu. Diliput juga oleh media di sana. Jadi, yang namanya kreatif itu keharusan,” ujar Rossa.
Produser band rock Padi, Albert Widjaja, juga menyebut masa pandemi ”memaksa” musisi untuk mengembangkan kemampuan baru dan pengalaman baru. Soal terlibat tampil secara daring, kalangan musisi muda dipandangnya lebih adaptif ketimbang musisi berusia lanjut. Kegagapan dalam beradaptasi itu yang menurut Albert berakibat sebagian musisi mulai depresi.
Secara global, industri musik memang terdampak cukup berat, terutama dalam pendapatan dari pertunjukan panggung. Forum Ekonomi Dunia mencatat, selama enam bulan pertama masa pandemi sejak Maret 2020, nilai total kehilangan dalam hal sponsorship untuk pertunjukan langsung (live) saja sebesar 10 miliar dollar Amerika Serikat. Padahal, 50 persen dari pendapatan industri musik global saat ini berasal dari pertunjukan langsung.
Sementara sisanya merupakan kombinasi dari pendapatan rekaman, streaming, pengunduhan digital, penjualan (album) fisik, dan pendapatan sinkronisasi. Tak heran, ketika kehidupan panggung berhenti, musisi di Indonesia pun amat terpukul.
Untuk tampil daring komersial pun ternyata tak bisa sembarangan. Salah satunya seperti diungkapkan Albert, yaitu soal hak sinkronisasi. Secara umum hak sinkronisasi adalah hak legal yang dimiliki pencipta lagu ketika karyanya digunakan secara daring, baik misalnya untuk ilustrasi film, iklan, atau bahkan tayangan daring lain.
Untuk bisa membawakan lagu di penampilan daring, seorang musisi atau band harus mendapat izin dengan membayar sejumlah biaya ke pemegang hak cipta atau lewat perwakilan publisher-nya.
Mereka bisa charge tidak murah, Rp 15 juta-Rp 20 juta. Akibatnya promotor dan sponsor yang akan menggelar konser daring, misalnya, akan mundur karena merasa terbebani ganda.
Persoalannya, di Indonesia, aturan main dan kesepakatan tentang berapa nilai yang dibayarkan terkait hak sinkronisasi itu belum ada atau disepakati secara bersama. Seringnya terkait hak sinkronisasi tadi, pihak pemegang hak cipta atau juga publisher yang mewakilinya menetapkan harga sangat mahal.
”Mereka bisa charge tidak murah, Rp 15 juta-Rp 20 juta. Akibatnya promotor dan sponsor yang akan menggelar konser daring, misalnya, akan mundur karena merasa terbebani ganda.”
Akhirnya, tambah Albert, yang paling dirugikan adalah penyanyi dan band sendiri, yang tidak dapat membawakan lagu secara sembarangan karena mereka berpotensi dituntut secara hukum.
Di tengah situasi begini, tampaknya juga diperlukan sikap saling pengertian. Musisi yang selama ini pengertian dengan kondisi hati kita lewat lantunan musiknya kini sedang berjibaku pantang mundur menghadapi krisis. Yuk, dukung kreasi mereka untuk tetap bertahan.