Tarik Ulur… Jangan Sampai Putus!
Bunyi ponsel pintar Halim (32) berbunyi beberapa kali sebelum ia mengangkatnya. Rupanya itu panggilan video dari anak sulungnya yang berusia sembilan tahun. ”Pulang Pak, udah maghrib!” seru sang anak.
Bunyi ponsel pintar Halim (32) berbunyi beberapa kali sebelum ia mengangkatnya. Rupanya itu panggilan video dari anak sulungnya yang berusia sembilan tahun. ”Pulang Pak, udah maghrib!” seru sang anak. Halim cengar-cengir sambil menjawab, ”Iya, sebentar, baru turun ini (layangannya),” jawab ayah dua anak itu.
Embusan angin sore yang kencang membawa suara azan maghrib di kejauhan terdengar membahana. Lapangan luas di kawasan Petukangan Utara itu kini mulai lengang. Halim lekas-lekas menggulung benang layangan yang baru saja ia tarik turun. Layangan buatannya dengan rentang lebar hampir 2 meter itu menjadi kebanggaannya.
Begitulah keseharian Halim sejak sebulan ini, asyik main layangan setiap hari sampai maghrib. Sejak pandemi, pekerjaannya sebagai buruh bangunan yang tak lagi padat membuatnya memiliki banyak waktu luang. Kadang, ia juga mengajak anak sulungnya bermain. ”Yah, cari hiburanlah, gara-gara korona, kan, jenuh lama-lama,” ujarnya.
”Pulang, pulang!” celetuk seorang pria sepuh yang melintas di belakang Halim sambil menyampirkan layangan di punggungnya. Pria itu, Syafei (50), juga hampir tiap hari menerbangkan layangan di lapangan itu. Kakek bercucu tiga ini pun bermain untuk mengusir jenuh. Apalagi konfeksi tempatnya bekerja kini tutup.
Sekitar 300 meter dari lapangan, ada pula lapangan luas di sisi jalan tol dekat Gerbang Keluar Tol Joglo, Jakarta Barat. ”Sejak rame-rame new normal itu, lapangan ini menjadi penuh orang bermain layangan. Tiap hari. Apalagi Sabtu-Minggu. Dulu-dulu sih enggak begini, kan ditembok,” ujar Nursifatullah, petugas satpam yang menjaga gerbang kompleks perumahan yang bersisian dengan lapangan tersebut.
Di Lapangan Tembak, Sarua Indah, Kecamatan Ciputat, dan di kawanan jalan baru di Universitas Pembangunan Jaya (UPJ), Tengerang Selatan, Banten, juga ramai oleh pemain layang-layang. Tiap sore, berkumpul belasan anak-anak sampai orang dewasa menerbangkan layang-layang. Di akhir pekan, jumlahnya bisa ratusan orang, termasuk orang-orang yang menonton.
Sebagian dari mereka adalah pekerja kantoran yang terkena kebijakan kerja dari rumah untuk mencegah penularan Covid-19. Bermain layang-layang pun menjadi alternatif untuk mengurangi kejenuhan bekerja di rumah.
”Selain itu, lumayan juga bisa sambil cari sinar matahari,” kata Darma (35) yang sore itu bermain bersama anak sulungnya yang berusia 10 tahun.
Bagi sebagian orangtua, bermain layang-layang juga dimanfaatkan sebagai cara untuk menjaga komunikasi dengan anak. Hampir tiap sore selalu ada ayah yang bermain layang- layang bersama anaknya. Mereka saling bantu menarik dan mengulur, atau membetulkan layangan ketika ada yang salah, atau rusak. Tak jarang, ayahnya ikut berlarian mengejar layangan yang putus talinya.
”Kalau ada Ayah, main layang-layangnya jadi seru. Juga bisa belajar teknik-teknik main layang-layang,” kata Hiro (11), yang tinggal di Sarua Indah, Ciputat.
Baru tahun ini Hiro bermain layang-layang sesering ini. Hampir tiap sore, dia main layang-layang. Kadang kala, di pagi hari juga dia mengajak ayahnya menerbangkan layang-layang sambil berjemur. Baginya, layang-layang itu mainan yang murah dan menarik. Saking menariknya, dia sampai belajar lewat Youtube cara membuat dan mendalami teknik main layang-layang.
Arif Wibowo (44) juga berpedoman pada Youtube untuk membuat layang-layang. Ia membuat layangan dengan bentuk kuntilanak. ”Sebulan lalu, anak-anak yang tinggal di sekitar rumah manas-manasin saya bikin layangan,” kata warga Pisangan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten, itu.
Arif bersedia membuat layang-layang dan kembali memainkannya karena teringat masa kecil. ”Saya main layangan karena waktu kecil juga begitu,” katanya.
Jika mengadu layangan dan menang, ia merasa senang sekali. Dulu, ia juga sering mengejar layangan putus. ”Habis disunat, saya langsung naik ke genteng untuk main layangan. Malamnya, saya menjerit-jerit karena terlalu banyak bergerak, dan bius sudah habis,” ucapnya.
Herpin Arbono (43) yang semula hanya membantu anaknya mengikat tali dan menerbangkan layangan, juga ikut bermain karena memori masa kecil. Warga Sudimara Timur, Ciledug, Kota Tangerang, Banten, itu bermain layangan di depan rumahnya. ”Senang bernostalgia. Seninya, ia merasakan benang yang meregang karena tarikan angin. Bentuk layangan sekarang juga aneh-aneh,” katanya.
Melonjak
Pristiawan Panji Arif (20), produsen layang-layang hias atau layangan koang, terus mengasah kreativitas. Layangan koang buatannya pun kian beragam, mulai dari yang konvensional berupa bulan sabit, beragam jenis hewan seperti kodok dan lebah, hingga sosok seram seperti kuntilanak atau barongsai.
”Harga menyesuaikan pesanan yang diminta. Kisaran harga Rp 80.000 hingga Rp 500.000 per layangan. Makin besar dan rumit, pastinya makin mahal,” tambah Panji yang beroperasi dari area Pamulang, Tangerang Selatan, Banten.
Ahmad Tamami (46) yang akrab disapa Bang Miung, pemilik agen penjual layangan dan benang gelasan Cinere bermerek dagang Boomerang itu, juga tengah kelabakan melayani permintaan para pelanggannya beberapa bulan terakhir.
Tren bermain layang-layang memang selalu terjadi setiap tahun. Akan tetapi, tren kali ini meningkat dalam empat bulan terakhir selama pandemi. ”Pembeli datang enggak ada habisnya. Sering datang sampai tengah malam. Beda dengan tahun lalu. Pastinya sejak pandemi permintaan banyak sekali,” ujar Bang Miung yang mampu menjual sekitar 6.000 lembar layangan per hari.
Psikolog dari Universitas Atma Jaya, Eunike Tyas Suci, menilai, layang-layang menjadi tren memang karena orang-orang sudah merasa sumpek di rumah selama pandemi. ”Positifnya ini bisa juga jadi sarana komunikasi anak dan orangtua, mengajarkan anak kreativitas dengan membuat layang-layang bersama, bentuk latihan fisik ringan karena harus berlari, dilakukan di lapangan terbuka, dan bisa dilakukan dari kalangan ekonomi mana saja,” ujar Tyas.
Menilik Google Trends, kata kunci layang-layang termasuk paling dicari. Pada periode 12 bulan terakhir, kata kunci layang-layang mencapai puncak popularitas pada tanggal 7-13 Juni 2020. Itu popularitas tertinggi selama lima belas tahun terakhir. Tren itu hanya tertandingi pada Januari 2004.
Popularitas layang-layang mengalahkan ”berkebun” dan ”kursus online”. Ketika ”layang-layang” mencapai puncak popularitas (100) pada pertengahan Juni lalu, ”berkebun” hanya pada poin 19 dan ”kursus online” pada poin 10. Tren layang-layang ini terjadi merata di banyak pulau di Indonesia. Namun, secara rata-rata, layang-layang masih kalah populer ketimbang ”sepeda”.
Ismail Fahmi dari Drone Emprit menjelaskan, kenaikan pencarian ini karena masyarakat mulai aktif ingin tahu pada pertengahan Maret. Disandingkan dengan data milik Drone Emprit, berita tentang topik ini mulai naik di pertengahan April 2020. ”Maraknya pencarian di Google tentang layang-layang ternyata diikuti oleh maraknya berita di media dalam jaringan (online) sebulan kemudian,” ungkap Fahmi.
Melalui analisis sintaksis dari berita daring di Drone Emprit dengan subyek layang-layang, didapati berbagai macam hal. Hal itu, antara lain, alternatif menghilangkan kejenuhan di tengah pandemi, menjadi peluang usaha masyarakat, dan menjadi penyebab utama gangguan listrik.
”Institusi yang paling terdampak dari layang-layang ini adalah PLN yang muncul sebagai subyek nonperson terbesar dalam berita. Layang- layang jelas bisa menjadi hiburan berkaitan dengan pandemi selain bertepatan juga dengan musim layangan, dan kegiatan festival. Namun, di balik rekreasi ini, ada risiko yang cukup besar juga,” tutur Fahmi.
PLN pun mengimbau warga agar berhati-hati bermain layang-layang, bahkan diimbau tidak bermain dekat dengan gardu listrik. Di sebagian wilayah Jawa Barat, seperti Leuwigajah, Citeureup, Cibabat, dan Cibeber, terjadi pemadaman listrik pada 30 Juli 2020 karena gardu listrik terkena layang-layang putus.
Tak hanya PLN, penerbangan juga berpotensi terganggu. Kementerian Perhubungan juga mengeluarkan aturan agar tidak ada kegiatan udara yang tak berizin dilakukan dekat dengan bandara. Sayangnya, terkadang aturan ini justru dimanfaatkan masyarakat untuk menarik upeti pada pihak bandara sebagai kompensasi mereka tidak bisa bermain.
Protokol kesehatan juga tetap perlu ditaati. Yang terlihat selama ini, sedikit sekali yang mengenakan masker. Para pemain layangan pun berperilaku seperti saat kondisi seolah tiada wabah. Tarik ulur? Boleh saja. Namun, jangan ada yang tersakiti, ya.
(Sarie Febriane/M Hilmi Faiq)