Di tengah kelabu pandemi, pekerja dan penyelenggara agenda seni tetap optimistis. Semangat mereka mengisi pasar, meski secara virtual, tetap menyala. Lelang pun masih riuh dengan apresiasi karya yang tinggi.
Oleh
Dwi Bayu Radius, Nawa Tunggal, & Riana A Ibrahim
·5 menit baca
Di tengah kelabu pandemi, pekerja dan penyelenggara agenda seni tetap optimistis. Semangat mereka mengisi pasar, meski secara virtual, tetap menyala. Lelang pun masih riuh dengan apresiasi karya yang tinggi. Seniman akar rumput konstan berkreasi, terlepas ada atau tidaknya pembeli.
Syanda Kunto-Prabowo menunjukkan lukisan yang tergantung di dinding Sidharta Auctioneer, Jakarta. Karya Mochtar Sarman itu berjudul ”Kylo Ren”. Bagi penggemar seri film Star Wars, menatap sekilas saja bakal mafhum bahwa lukisan itu menggambarkan sosok antagonis dengan pedang mautnya.
”Coba pakai kacamata tiga dimensi. Baru kelihatan beda,” ujar Chief Executive Officer & Co-Founder Sidharta Auctioneer itu dengan mata berbinar, Jumat (24/7/2020). Disparitas jelas lantas tampak mencolok. Garis-garis merah di antara latar hitam dan senjata plasma Kylo terlihat maju.
”Lukisan ini akan dilelang pada pertengahan Agustus nanti,” ucapnya mengenai karya dengan panjang 1,5 meter dan lebar 1 meter itu. Ia lantas menunjukkan karya Salim, ”Wanita di Jendela” dan ”Chez Armand”, dengan antusias. Lukisan-lukisan itu akan ditawarkan dalam lelang yang sama.
”Lelang adalah bisnis utama kami. Nomor satu, suplai. Tak ada masalah. Secara umum, pelukis, terutama usia produktif, cukup optimistis,” ujarnya. Seniman, khususnya bersegmen menengah atas, tetap berkutat di studio, mengasah kemampuan, menabung karya, dan menyiapkan pameran.
”Seharusnya, pada Maret dan April lalu lelang diadakan, tapi kami enggak mau ikut menaikkan curve (jumlah kasus Covid-19),” katanya. Lelang terdiri atas 135 lot tak mungkin dilaksanakan. Oleh karena itu, Sidharta Auctioneer menjajaki ranah digital.
”Bagaimana prospek seni sampai tahun 2021 atau 2022? Mungkin tak melonjak, tapi paling tidak bisa berkesinambungan,” ujarnya.
Kalangan mapan yang mencintai seni lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Anggaran makan-makan, berwisata, dan berbisnis dialihkan. Kontemplasi berangsur ajek. Antusiasme seniman lantas turut menjadi pelipur dalam bentuk beragam karya.
”Lukisan itu rekreasi seni. Dinikmati untuk spiritual journey (penjelajahan batin). Pasar karya seni tetap ada, tapi kami berhati-hati,” ujarnya. Di sela kerisauan yang tinggi saat ini, dibutuhkan ketenangan jiwa. Mereka yang mampu lalu memperoleh ketenteraman itu lewat karya seni.
Menembus batas
Pandemi yang berdampak terhadap seniman menjadi tolok ukur kreativitas untuk Christine Ay Tjoe. Ia menerima keadaan dan tak mau stres. ”Berpikir kreatif. Anggap tantangan. Yang terpenting, jangan berhenti. Ini momen terbaik mengetahui kreativitas kita sejauh mana,” ungkapnya.
Di tengah kondisi ini, ada kabar baik untuk Christine karena dua karyanya dilelang dengan harga fantastis. Karya bertajuk ”Layer as A Hiding Place” menembus batas atas harga penawaran yang diselenggarakan Phillips Hong Kong pada 8 Juli 2020. Pada tanggal yang sama, ”The Flying Balloon” mencapai 5,93 juta dolar Hong Kong atau setara Rp 11 miliar di Sotheby’s Hong Kong.
Ia pun menyiapkan dua hingga tiga seri lukisan untuk dipamerkan di Jepang dan London dalam konsep viewing room. Ya. Galeri kini memilih langkah memamerkan karya lewat metode ini karena masih sulit kembali dibuka. Namun, sejumlah galeri di London dikabarkan perlahan mulai buka dengan batasan karya dan pengunjung.
”Harus melukis. Tak ada acara pasti, tapi bukan berhenti. Tetap beraktivitas supaya punya beberapa seri yang bisa dipamerkan,” katanya.
Artjog 2020
Besarnya minat publik terhadap seni pula yang memotivasi penyelenggara Artjog untuk kembali menggelar festival tahunan itu. Artjog tahun ini akan diawali tur virtual pada 8 Agustus 2020. Khalayak tak sekadar mengunjungi pameran secara daring. ”Bukan seperti lihat dokumentasi lihat kiri kanan, depan dan belakang, atau ketemu ini itu. Ada program melihat seniman dan kurator bicara,” ucap Direktur Artjog Heri Pemad. Konten itu menjadi semacam trailer hingga akhir Agustus 2020, sebelum masyarakat bisa mengunjungi Artjog dengan prosedur ketat.
”Pameran sudah dibuka mungkin 25 Agustus nanti, tapi lihat situasinya. Harus pakai protokol, registrasi, appointment (perjanjian), atau penjadwalan,” ucapnya. Jumlah pengunjung dan jam buka diatur. Suhu tamu dicek. Mereka juga harus mengenakan masker dan menjaga jarak.
”Pembatasan pengunjung diterapkan. Kalau trailer dengan media video bisa ditonton gratis, tapi tiket dibeli online (daring),” ujarnya.
Jumlah seniman yang memamerkan karyanya sekitar 80 orang, tetapi Artjog akan melibatkan sekitar 200 artis untuk mengisi berbagai acara. Artjog direncanakan berlangsung di Jogja National Museum hingga 10 Oktober 2020.
”Banyak yang tanya Artjog lewat surat elektronik, telepon, dan aplikasi percakapan. Besarnya animo masyarakat membuat kami optimistis,” ucapnya. Artjog diharapkan jadi pelopor pemulihan agenda seni dan penggerak ekonomi kreatif atau budaya.
Tahun lalu, Artjog dikunjungi sekitar 3.000 orang per hari. Jika angka itu dikurangi separuhnya pun, pengunjung diyakini masih berdesakan. ”Kami tak bermaksud sembrono. Jadi, pengunjung akan batasi. Mungkin tak lebih dari 300 orang setiap hari,” ujarnya.
Seniman-seniman kecil pun tak kalah semangat berkarya. Pandemi tak pelak telah menghantam mereka, tetapi berkreasi tak ditinggalkan. ”Setiap hari, saya masih ke studio untuk melukis. Jaraknya 100 meter dari rumah,” kata Tjahjadi Hartono.
Sejak pandemi melanda, warga Cengkareng, Jakarta, itu sudah membuat lima lukisan. Ia menawarkan karyanya lewat media sosial. Belum ada lukisan yang laku, tetapi Tjahjadi tak peduli. ”Saya sedang menyiapkan 41 lukisan yang dibuat sejak tahun 2013. Saya mau berpameran kalau pandemi sudah usai,” katanya.
Sementara itu, Kuat Kuart mengadakan pameran tunggal secara daring pada Maret 2020. Warga Bantul, Yogyakarta, itu menawarkan 10 karyanya. ”Hanya satu lukisan berukuran kecil yang terjual. Sekarang, saya sedang ikut pameran virtual,” katanya.
Saat tepat
Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Agung Hujatnikajenong mengatakan, produksi karya seni terus berlangsung, tetapi distribusinya terhambat pandemi. Harga karya pun terkoreksi.
”Hasil lelang di masa pandemi belum sepenuhnya merepresentasikan pasar sesungguhnya. Lelang itu pasar sekunder,” ujarnya. Adapun pasar primer merupakan proses peralihan modal dari suatu pameran, atau dari kolektor yang datang langsung ke studio.
Pasar primer tak mudah diakses, tetapi harus diperkuat. Penguatan pasar itu terus dikerjakan, salah satunya dengan Artjog. Selain itu, Artjog menghadirkan inspirasi ketahanan menghadapi pandemi.
”Permintaan turun. Suplai naik hingga harga terkoreksi. Ini saat tepat bagi kolektor muda berinvestasi,” tutur Agung.