Langkah Kaki di Hijau Alam
Pepat di dada berhamburan keluar begitu kaki melangkah di antara rimbun pepohonan hutan. Alam terbuka menggantikan bidang-bidang tembok yang mengungkung hampir lima bulan terakhir.
Pepat di dada berhamburan keluar begitu kaki melangkah di antara rimbun pepohonan hutan. Alam terbuka menggantikan bidang-bidang tembok yang mengungkung hampir lima bulan terakhir. Segar udara, hijau dedaunan, gemercik air, dan segenap suaranya mengisi ruang-ruang dalam tubuh yang sebelumnya penuh dengan pekerjaan, pelajaran, dan berita-berita suram.
Senyum terukir di bibir aktris dan produser film Lola Amaria kala berdiri di antara dua tiang kayu berbendera Merah Putih di atasnya. Di bawah salah satu tiang terpampang papan bertuliskan ”Puncak Kencana, 1.803 mdpl”.
”Pemandangannya menakjubkan. Aku bisa melihat lepas ke segala arah, 360 derajat. Udaranya pun dingin dan segar,” ujar Lola, Rabu (5/8/2020).
Di kejauhan tampak pemandangan Gunung Salak, Gede, dan Pangrango. Hamparan perkebunan teh nan hijau terlihat menawan.
Setelah pembatasan sosial dilonggarkan, aktivitas luar ruangan, seperti hiking atau trekking, menjadi pilihan untuk mengusir kejenuhan. Penggemar hiking berpengalaman dan pemula sepakat bahwa alam memberi pelepasan yang menyenangkan dan menyehatkan bagi badan dan pikiran. Kaki pegal terbayar oleh pemandangan alam menakjubkan.
Lola pun gemar hiking dan trekking. Hobi itu terhenti lantaran pandemi. Beberapa pekan lalu, Lola bersama beberapa teman mulai lagi hiking ke Gunung Kencana di Kampung Rawa Gede, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Walau tak terlalu tinggi, jalur ke Puncak Kencana cukup menantang. Jalur pendakian dimulai setelah perjalanan melintasi perkebunan teh selama setengah jam. Terdapat tanjakan Sambalado dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Namun, tangga dari potongan batang pohon membantu pendaki melintasinya.
Baca Juga: Ikhtiar Aman di Tengah Alam
Perjalanan santai, tak terburu-buru agar bisa lebih menikmati suasana sekitar. ”Aku jalan ke atas enggak bawa carrier berat. Cuma melenggang bawa bekal air minum dan makanan kecil. Waktu itu rencananya hanya mau lihat matahari terbenam. Sayangnya langit sekitarnya tertutup kabut,” ujar Lola.
Lola memang bukan pendaki yang ngoyo ingin cepat sampai puncak. ”Kalau aku lelah, ya, berhenti. Kalau haus atau lapar, ya, makan minum bekal. Kalau ada pemandangan bagus, ya, aku pasti akan berfoto. Pokoknya aku harus menikmati setiap hal yang ada di sana,” ujarnya.
Ketenangan dan kegembiraan saat tenggelam dalam asrinya alam juga dinikmati Josephine Pipin, pelari dan penggemar hiking. Pandemi membuat rutinitas hiking dan trekking yang biasanya sepekan atau dua pekan sekali berganti jadi lari keliling kompleks apartemen. Sungguh tak nyaman.
Begitu pembatasan sosial dilonggarkan, Pipin pun menuju Sentul. ”Aku pilih Sentul karena dekat, mudah diakses, dan variasi jalurnya banyak. Mau yang panjang, pendek, hard core juga ada,” katanya.
Selain mengeksplorasi alam, hiking bagi Pipin juga bisa mendongkrak imunitas sekaligus mendapatkan kesenangan dan keringat. Sinar matahari dan air membuat tubuhnya semakin ”hidup”.
Pipin bersama komunitas trail running mulai hiking dalam kelompok kecil. Mereka tahu pasti kondisi kesehatan anggota kelompok. Meski begitu, protokol kesehatan tetap diterapkan saat bertemu penduduk kampung atau dalam perjalanan menumpang mobil pikap ke titik mula pendakian.
”Kami senang mencari tempat baru, jalur baru. Kemarin mencoba jalur baru di Curug Karimata yang agak jauh dan teknis dengan jalur menanjak berbatu-batu,” tutur Pipin.
Biasanya dia hiking menempuh jarak 17-20 kilometer dalam waktu 5-7 jam sambil mencari tanjakan atau elevation gain hingga 2.000 meter. Dia berangkat pukul 05.00 dari Jakarta supaya tidak kesiangan dan sekitar pukul 06.00 sudah mulai hiking. Sekitar pukul 17.00 atau pukul 18.00, hiking selesai.
Peralatan berupa sepatu khusus trekking, topi, tabir surya, baju lengan panjang, dan trekking pole selalu menemani. Kini ditambah masker dan cairan penyanitasi tangan (hand sanitizer). Jika ingin foto-foto, gunakan outfit warna cerah. ”Biar ceria suasananya,” demikian kiat dari Pipin.
”Yang pasti, siapkan diri untuk petualangan. Biar nyaman di badan, segar di mata, adem di pikiran,” katanya.
Campur aduk
Ari Wibowo (29) turut menyambut peningkatan animo berwisata ke alam dengan gembira. Sejak pandemi terjadi, pemandu Wisatagunung.com itu baru menerima order memandu tiga wisatawan mendaki Gunung Lawu yang dijadwalkan pada 21-24 Agustus 2020. Ia juga berencana membawa empat tamu ke Gunung Gede pada pertengahan September 2020.
Baca Juga: Geliat Wisata Lereng Gunung Lawu
”Waktu gunung-gunung belum dibuka, saya kerja serabutan. Pernah jadi sukarelawan penanggulangan Covid-19 yang diadakan pemerintah dan perhimpunan olahraga,” ujarnya.
Ia juga mengantar berbagai dagangan, seperti sabun, detergen, dan barang kebutuhan pokok. Tak hanya penggemar hiking, para penyedia jasa aktivitas luar ruang juga menyambut pelonggaran pembatasan sosial dengan rasa campur aduk. Di satu sisi, sudah banyak permintaan untuk kembali melintasi alam. Di sisi lain, pandemi masih menghantui.
Taufan Hidayat, Managing Director Climb Indonesia, mengatakan, musim pendakian biasanya dimulai April sampai awal Januari. ”Sekarang sudah banyak orang mulai hiking dan trekking, tetapi belum di wilayah taman nasional yang masih tutup. Misalnya ke Sentul, Purwakarta, dan beberapa gunung di Jawa Tengah, seperti Prau, Lawu, dan Sindoro-Sumbing. Kami anjurkan perjalanan sehari untuk meminimalkan penyebaran virus,” ujarnya.
Taufan menuturkan, saat akhir pekan, tempat-tempat favorit hiking bisa dipenuhi orang. Ratusan, bahkan ribuan orang. Animonya memang luar biasa. Oleh karena itu, kegiatan saat akhir pekan tidak dia sarankan bagi klien guna menghindari ledakan pengunjung.
”Protokol kesehatan tetap harus dijalankan. Ada yang bilang, jalan menanjak, napas susah, masih harus pakai masker. Di alam terbuka, paparan memang lebih kecil, tetapi sebaiknya tetap pakai masker. Jalan pelan-pelan saja. Jangan pula memaksakan diri kalau kuota gunung sudah penuh,” papar Taufan.
Rahman Mukhlis, pendiri Indonesia Outdoor Consultant dan salah satu pendiri Main Outdoor, merasakan dampak positif meningkatnya animo mendaki gunung.
”Saat ini kami sudah menerapkan adaptasi kebiasaan baru dalam wisata pendakian gunung, seperti membawa masker, rajin mencuci tangan, dan menjaga jarak,” ujar Rahman.
Masker khususnya digunakan saat berinteraksi dengan orang lain. Saat menikmati udara segar di alam terbuka, masker boleh dibuka karena membuat lebih nyaman.
”Saat awal pembukaan wisata ini, untuk wisata gunung, rata-rata hanya diperbolehkan mendaki satu hari. Namun, ada juga beberapa destinasi gunung yang sudah memperbolehkan aktivitas menginap, seperti Prau, Lawu dan Cikuray,” ujar Rahman yang juga Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI).
Pendiri Edutrip Smart Off-roading, Reza Hariputra, juga mulai menerima order. Sejak Covid-19 merebak, ia baru menyelenggarakan trip edukasi yang diikuti sekitar 20 orang ke Bodogol di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Jawa Barat, pada 18 Juli 2020.
Reza menerapkan protokol kesehatan dengan mengecek suhu peserta dan memberikan stiker berwarna hijau untuk kondisi sehat. ”Tamu harus membawa masker dan cairan penyanitasi tangan. Mereka diminta menjaga jarak dan membawa makanan tanpa membagikannya,” katanya.
Wisatawan harus menyediakan peralatan memasak dan bersantap sendiri. Reza membatasi peserta maksimal 30 orang atau 10 mobil.
”Masyarakat ingin jalan-jalan setelah beberapa bulan lebih sering di rumah. Pergi ke tempat terbuka, menghirup udara segar, dan melihat panorama memukau,” ucapnya.
Langkah kaki keluar rumah mencari alam nan hijau sungguh efektif mendongkrak daya tahan tubuh dan mengusir bosan. Selama protokol kesehatan dijalankan, rasanya hidup bisa lebih sehat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.