Sederhana yang Sarat Makna
Beberapa jam sebelum akad, Shaffira Gayatri (28) bersama adiknya keluar rumah membeli perlengkapan riasan untuk menyempurnakan penampilan pada hari pernikahannya.
Beberapa jam sebelum akad, Shaffira Gayatri (28) bersama adiknya keluar rumah membeli perlengkapan riasan untuk menyempurnakan penampilan pada hari pernikahannya. Kebaya putih milik sang ibunda ia pilih untuk jadi busana pengantinnya.
Kesepakatan untuk tetap menikah pada 20 Juni 2020 baru dicapai sehari sebelumnya setelah melalui diskusi panjang dan berbagai pertimbangan. Semula Fira pasrah merelakan hari pernikahannya ditunda tahun depan akibat pandemi. Max, si calon suami, berada di Sydney, Australia, dan tidak bisa ke Indonesia karena larangan perjalanan yang dikeluarkan Pemerintah Australia, sedangkan Fira berada di Surabaya, Jawa Timur.
”Seminggu sebelum 20 Juni, dengan situasi saya di Surabaya, dia di Sydney, kami banyak berdiskusi dan mempertimbangkan ingin menikah secara Islam dulu via online. Akhirnya, sampai pada kesimpulan kenapa enggak tetap pada tanggal awal. Kami meminta pandangan dari orang-orang yang paham agama dan ternyata bisa dan sah,” ungkap Fira.
Aplikasi Zoom dipilih untuk memfasilitasi akad yang dilakukan terpisah antara Surabaya dan Sydney itu. Setengah jam sebelum acara, sambungan internet sempat terganggu, tetapi kemudian teratasi. ”Terharu akhirnya terlaksana. Di rumah, total hanya ada 10 orang. Keluarga intiku, ustaz yang jadi saksi, dan teman keluarga yang membantu teknis,” tutur Fira.
Keluarga yang lain hadir secara virtual. Meski begitu, mereka tetap tampil di layar dengan berdandan dan mengenakan kebaya seragam yang sudah diberikan. ”Rasanya lebih dalam bagi kami,” kata Fira.
Di Jakarta, pernikahan Bimo Haryowiarto (28) dan Putri Husna (28) pun tetap meriah di tengah pandemi. Keluarga dan handai tolan makan bersama dan bersenda gurau. Hanya satu pembeda resepsi pada Minggu, 14 Juni 2020: aplikasi telewicara.
Tiga hari sebelumnya, para tamu sudah menerima suvenir berupa masker dan makanan. Bimo dan Putri asyik bercengkerama dengan teman-temannya sambil bersantap lewat gawai. Selama tiga jam hingga pukul 19.00, keceriaan itu berlangsung. ”Benar-benar kayak resepsi. Lebih dari separuh paket makanan, undangan, dan suvenir dalam kotak bambu, saya yang antar langsung sambil minta doa,” kata Bimo.
Makanan yang sudah dikemas secara vakum itu tahan seminggu. Saat resepsi, hidangan tersebut tinggal dihangatkan. ”Lebih berkesan. Pas Zoom, kita makan bareng, foto, dan pura-pura salaman. Unik dan senang juga. Justru, kami bisa ngobrol lebih lama. Terus foto bersama dengan menggunakan masker suvenir sama-sama,” ujar Bimo seraya tertawa.
Konsep dadakan yang tercetus sekitar dua minggu sebelum hari pernikahan itu menyatukan sahabat dan kerabat di Jakarta, Bogor, Palembang, serta Amerika Serikat dan Belanda. Sebelum menggelar resepsi virtual, keduanya melakukan
ijab kabul di KUA Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Aghnia Adzkia (28) dan Andya Dhyaksa (29) juga memilih mengundang keluarga, rekan, dan kerabat untuk menghadiri akad nikah mereka pada 14 Juni 2020 lewat Zoom. Bahkan, keluarga inti Nia tak bisa hadir secara langsung karena tak memungkinkan bagi mereka datang ke Jakarta.
”Tadinya rencana Agustus, tetapi dimajukan. Ayah, ibu, dan satu adik di Semarang. Kakak di Bangkok (Thailand) dan satu adik lagi di Kairo (Mesir). Mereka semua lewat Zoom. Sedih, sih. Apalagi ayah gelo (kecewa) juga enggak bisa menikahkan langsung anaknya,” ungkap Nia.
Lebih hemat
Lantaran rencana pernikahannya lebih cepat dari yang diagendakan, busana pengantin pun belum selesai dijahit. Akhirnya, Nia membeli seperangkat kebaya secara daring beberapa minggu sebelum akad. Dari segi anggaran, Nia sangat berhemat karena resepsi tak jadi digelar. ”Hanya sekitar Rp 10 juta dari estimasi awal itu Rp 170 juta. Jadi, bisa untuk renovasi rumah,” ujarnya yang mengaku komunikasi dengan pasangan justru makin erat karena kondisi ini.
Eka Fitaloka (20) juga mengecap pernikahan ”istimewa” dengan Dani Permana (23). Ijab kabul mereka hanya diadakan di KUA Cipayung, Jakarta, tanggal 19 Juni 2020. Sejumlah 20 orang menghadiri akad nikah dengan menerapkan protokol kesehatan di ruangan berukuran 6 meter x 5 meter itu. Resepsi yang tadinya direncanakan untuk 500 orang tak jadi digelar sehingga anggaran pun dapat dihemat.
Serupa dengan pasangan Awita Ekasari Larasati (24) dan Ricki Setiawan (27) yang menikah pada Sabtu tanggal 27 Juni 2020. Rencana untuk menggelar akad sekaligus resepsi untuk 250 orang di masjid terpaksa berubah. Keduanya hanya melakukan akad di rumah dan menyiarkan melalui Instagram Live. Saat prosesi itu berlangsung, Awita dan Ricki terlihat berbinar dalam balutan busana pengantin berwarna putih bersih. Keduanya, juga semua tamu yang hadir, mengenakan masker.
”Mikir-mikir resepsi buat apa karena kan sudah akad, berarti kan sudah sah. Sudah kumpul keluarga dan teman-teman juga kemarin. Dokumentasi kayak foto dan video juga sudah ada. Suami juga bilang mendingan uangnya dipakai buat yang lebih penting,” kata Awita yang mengurus secara mandiri semua perlengkapan pernikahan bersama suami hingga urusan dokumentasi dan menyunting foto.
Awita akhirnya sependapat dengan suaminya. Kemungkinan besar, resepsi mereka tak akan digelar. Keduanya bersepakat menggunakan uang pengembalian dari wedding organizer (WO) untuk uang muka KPR. Mereka senang karena orangtua mereka juga menyerahkan semua keputusan kepada mereka.
”Aku juga orangnya kebetulan lebih senang acara yang simpel-simpel aja, bukan acara yang gede-gedean. Jadi, ya, enggak apa-apa juga enggak ada resepsi,” kata Awita. Baginya, jauh lebih penting meletakkan landasan yang kuat untuk perjalanan pernikahan mereka yang baru saja dimulai itu dengan hal yang lebih esensial.
Kecenderungan pasangan hanya melakukan akad nikah saja pada masa pandemi ini diungkapkan oleh Abdul Fahrim (30) dari Delive WO yang bermarkas di Depok, Jawa Barat. Menurut dia, sejak pertengahan Mei, minat orang untuk melakukan akad nikah saja mulai tinggi. Hal ini terlihat dari respons yang sangat positif saat Delive menawarkan paket akad dengan harga di bawah harga normal yang biasa ditawarkan.
”Kami mulai dari harga Rp 4,8 juta. Lalu naik menjadi Rp 5,8 juta. Kalau normal, harga paketnya Rp 8 juta. Sudah meliputi dokumentasi, album dan video, backdrop untuk foto, gaun pengantin dan make-up untuk pengantin. Mulai Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu biasanya ramai. Maksimal sampai lima kali sehari ” tutur Valin, panggilan akrab Abdul Fahrim.
Bagi Delive, hal ini juga sangat menggembirakan mengingat sebelumnya selama hampir tiga bulan mereka sama sekali tidak ada order sehingga terpaksa merumahkan karyawan. Saat ini, untuk menyiasati kondisi yang belum sepenuhnya normal, karyawan dibayar dengan sistem harian.
”Targetnya sampai Agustus-lah. Karena Agustus sudah mulai banyak, ada lebih dari 10 yang mau wedding,” ujar Valin. Dia menegaskan, pihaknya juga selalu mematuhi protokol covid-19 dalam melayani klien.
Namun, pilihan melaksanakan akad pernikahan daring ini ternyata kurang mengenakkan bagi dua fotografer yang biasanya melayani foto pernikahan, yakni Ananta Prasetya dan Rommy Pujianto. Ananta kini melakukan usaha sampingan karena minim order memotret. ”Saya berjualan makanan, furnitur, dan album foto,” kata Ananta yang juga memotret pameran, makanan, dan kelulusan tersebut.
Adapun Rommy mengaku orderan foto pernikahan nyaris nihil sejak Maret 2020. ”Baru terima satu permintaan, Juni. Itu pun foto buat kartu identitas karyawan kementerian. Pegawai dipotret satu-satu,” katanya.
Esensi
Mengacu pada Indonesian Wedding Report 2019 yang dirilis Bridestory, anggaran pernikahan dengan ukuran ekonomis untuk 300 orang undangan mencapai Rp 75 juta. Untuk ukuran menengah Rp 150 juta. Pernikahan mewah dengan jumlah undangan yang sama sekitar Rp 450 juta.
Dengan jumlah tamu lebih banyak, anggaran pun ikut meningkat. Bahkan, pernikahan ekonomis dengan undangan hingga 1.000 tamu diprediksi mampu menghabiskan Rp 500 juta, sedangkan yang mewah menembus Rp 1,5 miliar.
Sekitar 40 persen dari total anggaran itu menyasar biaya venue atau tempat dan katering. Tak mengherankan jika kemudian menikah saat pandemi ini membuat anggaran dapat ditekan karena pesta tak lagi menjadi sebuah kewajiban. Hal ini juga dialami banyak pasangan di seluruh dunia.
Psikolog Roslina Verauli menilai, kondisi pandemi ini mengembalikan esensi pernikahan yang sesungguhnya. Selama ini, pasangan yang akan menikah lebih fokus pada persiapan pesta pernikahan yang megah sehingga kerap lupa esensi persiapan kehidupan pernikahan.
Peneliti hubungan romantik dan dosen Fakultas Psikologi Univeritas Bina Nusantara, Pingkan CB Rumondor, menuturkan, pasangan yang berhasil melewati tantangan atau ujian ini akan mendapat modal kuat untuk perjalanan pernikahan mereka selanjutnya. ”Jadi, kalau dari sekarang sudah frustrasi, ya bahaya. Tapi, saat pasangan itu sudah kuat, mau menikah gaya apa pun enggak masalah,” tandas Pingkan.
Dari riset berjudul A Diamond is Forever and Other Fairy Tales: The Relationship between Wedding Expenses and Marriage Duration, diketahui pilihan pernikahan sederhana justru menunjukkan kekuatan hubungan pasangan tersebut dan kecil kemungkinan bercerai.
”Tipe pernikahan yang terkait dengan rendahnya perceraian adalah yang tidak terlalu mahal, tetapi dihadiri banyak orang. Nah, pada masa pandemi, ’kehadiran’ bisa kita analogikan dengan perhatian. Jadi, tidak masalah mau nikah di Zoom, IG, atau hanya akad, yang penting ada perhatian dari keluarga dan kerabat. Misalnya dalam bentuk kehadiran online,” kata Pingkan.
Langgengnya kehidupan pernikahan memang bukan tercipta dari glamor pesta pernikahan.