Menunda pekerjaan atau procrastinating jadi tantangan besar bagi sebagian orang yang bekerja di rumah. Perlu kedisiplinan dan kemauan besar untuk melawannya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Walau mulanya menyenangkan, bekerja dari rumah (work from home) lama-lama terasa membosankan bagi sebagian orang. Daripada duduk dan menyelesaikan tugas, berbaring di kasur tampak lebih menggoda. Akhirnya, banyak pekerjaan yang terbengkalai.
Hal ini dialami beberapa orang yang kini bekerja dari rumah akibat pandemi. Suasana nyaman di rumah atau indekos ditengarai sebagai salah satu sumber kemalasan. Ujungnya, orang menunda pekerjaan untuk beristirahat atau bermain.
Karyawan swasta di Jakarta, Christopher Wicaksono (25), pernah mengalami kemalasan saat bekerja di rumah pada Maret-Mei 2020. Ia kerap menunda pekerjaan karena teralihkan dengan suasana indekos yang nyaman. Ketekunan bekerja pun mengendur karena tidak ada yang mengawasinya bekerja.
“Sebenarnya saya suka menunda pekerjaan sejak dulu, tapi lebih parah saat work from home. Tiduran dan menonton Netflix cukup menggoda (daripada bekerja),” ujar Christopher saat dihubungi, Jumat (21/8/2020).
Christopher mengakui dampak negatif dari menunda pekerjaan. Ia terpaksa mengejar tenggat waktu (deadline) pekerjaan hingga larut mala, lalu bangun siang keesokan harinya. Siklus hidup hariannya pun terganggu. Akibatnya, proyek pekerjaan yang ia garap terhambat.
“Sempat merasa hidup tidak bermanfaat karena malas dan sering menunda pekerjaan. Sekarang saya sudah kembali bekerja di kantor dan terpaksa bekerja di jam kerja. Jadi, tidak bisa lagi menunda pekerjaan,” katanya.
Sempat merasa hidup tidak bermanfaat karena malas dan sering menunda pekerjaan. Sekarang saya sudah kembali bekerja di kantor dan terpaksa bekerja di jam kerja. Jadi, tidak bisa lagi menunda pekerjaan
Sementara itu, karyawan swasta Nita (25) berusaha tidak menunda pekerjaan. Ini dilakukan agar tujuan-tujuan hidupnya tercapai. Untuk mengingatkan diri agar tidak malas, Nita menempel tulisan target hidup (dream board) di dinding kamarnya.
“Wajar kalau manusia malas. Silakan nikmati keinginan rebahan sepuasnya. Tapi, nanti saat lihat Instagram teman, kita akan bertanya kenapa hidup dia (terlihat lebih) enak. Nanti kita akan terpacu untuk bangun dan bekerja lagi,” kata Nita.
Masalah emosional
Menurut profesor psikologi dan anggota Procrastination Research Group di Carleton University, Ottawa, Canada, Tim Pychyl, menunda pekerjaan adalah hasil dari kontrol emosi yang bermasalah. Menunda pekerjaan atau procrastination merupakan cara individu mengatasi suasana hati (mood) negatif.
“Menunda pekerjaan adalah masalah mengendalikan emosi, bukan masalah mengatur waktu (time management),” kata Pychyl kepada New York Times.
Wajar kalau manusia malas. Silakan nikmati keinginan rebahan sepuasnya. Tapi, nanti saat lihat Instagram teman, kita akan bertanya kenapa hidup dia enak. Nanti kita akan terpacu untuk bangun dan bekerja lagi
Ia menambahkan, tugas tertentu bisa memicu suasana hati yang buruk, seperti kebosanan, kecemasan, kegelisahan, frustrasi, kebencian, hingga keraguan terhadap diri sendiri. Menunda pekerjaan sama dengan menyingkirkan perasaan negatif itu untuk sesaat, misalnya dengan bermain gim atau menonton video.
Sebelumnya, psikolog Mira Amir menyarankan agar orang-orang membagi waktu untuk bekerja dan beristirahat. Setelah seseorang bekerja atau belajar selama 52 menit, tubuh perlu istirahat sejenak selama 17 menit. Waktu istirahat dapat digunakan untuk merenggangkan badan (Kompas.id, 21/4/2020).
Sementara itu, beberapa orang mengaku produktivitasnya meningkat ketika bekerja di rumah. Ini karena mereka tidak perlu mengeluarkan energi lebih untuk berpindah tempat dari rumah ke kantor. Mereka juga tidak perlu terjebak macet sehingga bisa menghemat waktu.
Penelitian dilakukan berdasarkan eksperimen terhadap 1.000 karyawan perusahaan perjalanan di China, Ctrip. Hasil penelitian diterbitkan pada 2015.
Profesor di Stanford University, California, sekaligus salah satu penulis studi tersebut, Nicholas Bloom, mengatakan, orang yang bekerja di rumah butuh ruangan khusus untuk bekerja. Ini dilakukan pula oleh para peserta penelitian di China. Mereka juga diminta bekerja di rumah selama empat hari, lalu datang ke kantor pada hari kelima.
Bloom mengatakan, pertemuan tatap muka tetap diperlukan karena penting untuk diskusi dan mengembangkan ide. Pertemuan juga menjaga karyawan tetap fokus dan termotivasi.
Dari 1.000 orang yang ikut penelitian, hanya 500 orang yang ingin tetap bekerja di rumah saat penelitian berakhir. Bloom mengatakan, mereka yang ingin tetap di kantor membutuhkan interaksi sosial.
“Mereka merasa terisolasi, kesepian, dan depresi di rumah. Saya khawatir jika bekerja dari rumah diperpanjang, ini bisa mematikan produktivitas dan menyebabkan krisis kesehatan jiwa,” kata Bloom seperti dikutip dari laman Stanford University.