Eling (Krisis) Minyak Goreng
Harga minyak goreng melonjak. Kendati jauh dari krisis minyak goreng 2022, eling, jangan sampai krisis itu terulang.
Pasokan minyak goreng rakyat tengah menipis di kala permintaan meningkat pada masa Ramadhan. Harganya pun menjadi naik. Kendati minyak goreng masih relatif mudah didapat, banyak orang menjadi eling atau ingat krisis minyak goreng pada 2022 beserta buntut ”selilit”-nya.
Minyak goreng untuk rakyat berbentuk minyak goreng curah dan kemasan sederhana bermerek Minyakita. Minyak itu berasal dari pemenuhan kewajiban memasok kebutuhan domestik (DMO) perusahaan dan pengekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan empat produk turunannya.
Tahun ini, pemerintah menetapkan total DMO minyak goreng sebanyak 300.000 ton per bulan. Pemerintah juga mematok harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah dan Minyakita Rp 14.000 per liter. HET itu masih sama persis seperti saat krisis minyak goreng pada 2022.
Baca juga: Pasokan Seret, Harga Minyak Goreng Rakyat Naik
Berdasarkan Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (Kemendag), per 19 Maret 2024, harga rerata nasional minyak goreng curah dan Minyakita sama, yakni Rp 15.600 per liter. Harga kedua komoditas yang mulai merangkak naik sejak Januari 2024 itu sudah 10,25 persen di atas HET.
Kenaikan harga itu merupakan dampak dari penurunan realisasi pemenuhan DMO. Berdasarkan data Kemendag, realisasi DMO pada 1-15 Maret 2024 sebanyak 55.067 ton atau 18,4 persen dari target 300.000 ton per bulan. Realisasi itu terendah sejak pertama kali kebijakan DMO minyak goreng digulirkan pada 2022.
Realisasi DMO itu mulai turun sejak Desember 2023. Pada Desember 2023, realisasi DMO tersebut sebanyak 249.044 ton atau 83 persen dari target bulanan. Kemudian, pada Januari dan Februari 2024, realisasi DMO itu turun masing-masing menjadi 212.115 ton (70,7 persen) dan 123.536 ton (41,2 persen).
Realisasi DMO pada 1-15 Maret 2024 sebanyak 55.067 ton atau 18,4 persen dari target 300.000 ton per bulan. Realisasi itu terendah sejak pertama kali kebijakan DMO minyak goreng digulirkan pada 2022.
Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah yang digelar Kementerian Dalam Negeri, Senin (18/3/2024), terungkap beberapa penyebab penurunan realisasi DMO. Pertama, penurunan permintaan dari negara-negara pengimpor CPO dan produk turunan, terutama India dan China.
Penurunan permintaan itu turut dipengaruhi harga CPO dunia yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga minyak nabati lain. Selain itu, penerapan undang-undang produk bebas deforestasi Uni Eropa (EUDR) turut memberikan sentimen negatif terhadap permintaan minyak sawit.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume ekspor CPO dan produk turunan pada Februari 2024 hanya 1,42 juta ton, turun dari Januari 2024 yang mencapai 2,06 juta ton. Dalam kondisi normal, Indonesia mengekspor CPO sekitar 3 juta ton per bulan. Nilai ekspor CPO dan turunannya juga turun 30,39 persen dari 1,72 miliar dollar AS pada Januari 2024 menjadi 1,2 miliar dollar AS pada Februari 2024.
Kondisi pasar yang lesu tersebut tecermin dari menumpuknya hak ekspor CPO dan empat produk turunan. Sejak Desember 2023 hingga medio Maret 2024, hak atas insentif pemenuhan DMO itu sebanyak 5,58 juta ton atau setara 2,5 bulan ekspor komoditas andalan Indonesia tersebut.
Kedua, dampak cuaca ekstrem. El Nino yang terjadi sejak Juni 2023 dan curah hujan tinggi menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dan CPO. Selain itu, cuaca buruk juga mengganggu pengiriman CPO dan produk turunan dari beberapa daerah sentra di luar Jawa ke Jawa.
Selain kedua faktor utama itu, muncul juga sejumlah asumsi penyebab rendahnya realisasi DMO. Ada yang menduga pelaku usaha menahan stok untuk memainkan harga. Ada yang mempertanyakan produksi TBS dan CPO turun, tetapi kok tetap bisa memproduksi minyak goreng premium secara melimpah.
Di samping itu, ada juga menduga produsen tidak lagi mau memproduksi minyak goreng curah. Hal ini terjadi lantaran banyak konsumen yang kurang meminati minyak goreng curah dan beralih ke minyak goreng kemasan sederhana dan premium.
Baca juga: Dejavu Minyak Goreng?
Beda penyebab
Lalu, apakah faktor penyebab kenaikan harga minyak goreng rakyat pada tahun ini sama dengan krisis minyak goreng pada 2022? Waktu itu, krisis minyak goreng terjadi lantaran harga CPO di pasar internasional melambung tinggi. Berdasarkan data Harga Komoditas Bank Dunia (The Pink Sheet), harga rerata minyak sawit dunia pada 2021 dan 2022 masing-masing 1.131 dollar AS per ton dan 1.276 dollar AS per dollar AS.
Hal itu menyebabkan pengusaha lebih mengedepankan ekspor CPO dan produk turunan ketimbang menjualnya di dalam negeri. Saat itu, permintaan ekspor CPO juga lesu karena negara-negara pengimpor terdampak Covid-19. Namun, penurunan permintaan itu terkompensasi tingginya harga CPO.
Situasi itu berujung pada kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. Harga minyak goreng curah serta kemasan sederhana dan premium melonjak tinggi. Masyarakat resah dan harus berdesakan mengantre panjang untuk mendapatkan minyak goreng tersebut.
Agar kebutuhan minyak goreng beserta bahan baku di dalam negeri terpenuhi, pemerintah menggonta-ganti kebijakan. Sampai pada akhirnya lahirlah kebijakan DMO yang dilengkapi dengan program minyak goreng untuk rakyat.
Baca juga: Kegagalan Pasar Minyak Goreng Picu Keresahan Sosial
Pengendalian harga minyak goreng tersebut memunculkan kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya dengan taksiran kerugian negara sekitar Rp 13,35 triliun. Kasus tersebut melibatkan pejabat Kemendag serta pelaku usaha dan tiga perusahaan besar sawit.
Buntut lainnya adalah pemerintah masih belum membayar utang Rp 344 miliar kepada para peritel modern. Utang itu, terkait pembayaran selisih harga atau rafaksi minyak goreng dalam program Minyak Goreng Satu Harga untuk mengendalikan lonjakan harga minyak goreng pada 2022. Hingga saat ini, utang tersebut masih belum dilunasi.
Baca juga: ”Selilit” Minyak Goreng Sawit
HET minyak goreng curah dan Minyakita sebesar Rp 14.000 per liter tidak pernah disesuaikan atau diubah sejak 2022.
Tentu saja situasi, kondisi, dan penyebab kenaikan harga minyak goreng berbeda dengan saat ini. Minyak goreng curah dan Minyakita masih ada kendati stoknya terbatas. Minyak goreng premium juga masih mudah didapat dan harganya tidak naik terlalu tinggi.
Namun, ada faktor mendasar yang perlu diingat dan diperhatikan. HET minyak goreng curah dan Minyakita sebesar Rp 14.000 per liter tidak pernah disesuaikan atau diubah sejak 2022. Bahkan, setelah harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dinaikkan pada September 2022, HET minyak goreng tersebut masih tetap sama. Kemendag baru akan mengevaluasi HET itu setelah Ramadhan-Lebaran 2024.
Meskipun jauh dari dejavu krisis minyak goreng 2022, tetap eling, waspada, jangan sampai krisis itu terulang. Kemendag telah menjamin pasokan minyak goreng curah dan Minyakita bakal membaik kembali selama Ramadhan-Lebaran tahun ini.
Kemendag juga telah memberikan surat teguran kepada 21 perusahaan yang realisasi DMO minyak gorengnya masih rendah. Semua perusahaan yang wajib memasok minyak goreng bahkan diminta mengalokasikan 70 persen DMO dari total DMO bulanan setiap perusahaan.
Namun, eling, beban perusahaan semakin meningkat, apalagi setelah harga BBM bersubsidi naik. Eling, masih ada tunggakan utang rafaksi kepada peritel modern. Di sisi lain, perlu eling juga bahwa daya beli masyarakat berpenghasilan rendah dan sebagian kelas menengah sedang tidak baik-baik saja.
Baca juga: Minyakita, ”Senjata” Penstabil Harga, Malah Naik Harga