Pemerintah Gagal Ciptakan Lapangan Kerja Layak, Kelas Menengah Indonesia Kian Rentan
Kerentanan kelas menengah berkaitan dengan lapangan kerja. Mengapa pemerintah sulit menyediakan lapangan kerja formal?
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya ketersediaan lapangan kerja formal membuat kelas menengah di Indonesia kian rentan karena banyak terserap ke sektor informal. Ketidakmampuan pemerintah dalam penciptaan lapangan kerja ini perlu diatasi dengan membuat perencanaan industri yang matang dan membentuk pemerintahan yang bersih.
Kondisi rentannya kelas menengah ini terekam dalam laporan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas yang terbit sejak Senin (26/2/2024). Dalam laporan itu disebutkan, kelas menengah memiliki gaji ”ngepas” dengan rata-rata sisa gaji dalam satu tahun 2021 senilai Rp 435.888 per bulan, tidak banyak uang yang bisa ditabung dan diinvestasikan.
Kerentanan nasib kelas menengah tak lepas dari pekerjaan mereka yang sebagian besar berada di sektor informal. Badan Pusat Statistik mencatat, hingga Agustus 2023, mayoritas tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal sebanyak 59,11 persen. Sementara sisanya, 40,89 persen, pekerja di sektor formal.
Ekonom pembina Suistainable Development Indonesia, Drajad Wibowo, mengatakan, terdapat tautan yang hilang dalam program link and match (keterkaitan dan kesepadanan) sehingga tenaga kerja sulit terserap ke sektor formal. Artinya, industrialisasi, ketenagakerjaan, dan pendidikan tidak sejalan.
Pendidikan menghasilkan tenaga kerja yang tidak banyak dibutuhkan industrialisasi. Di sisi lain, industrialisasi juga kurang terarah karena banyak faktor, seperti kebijakan yang berubah-ubah dan konflik kepentingan.
”Akhirnya, kita tidak membuat rencana matang industri apa yang akan dikembangkan hingga 20 tahun ke depan, pasar apa yang nantinya tersedia, dan pendidikan seperti apa yang akan disiapkan,” ucap Drajad Wibowo yang juga Ketua Dewan Pakar PAN, dihubungi Selasa (27/2/2024).
Mengutip laporan terbaru Bank Dunia dalam Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Desember 2023, prevalensi pekerjaan layak dengan standar kelas menengah di Indonesia turun cukup signifikan pada periode 2019-2022, dari 14 persen menjadi 9 persen dari total lapangan kerja.
Pada periode tersebut, jumlah pekerja mandiri dan pekerja informal yang bekerja serabutan naik signifikan, sedangkan porsi pekerjaan yang terhitung layak bagi kelas menengah menurun.
Mengidentifikasi industri
Drajad mencontohkan, hilirisasi yang sedang gencar dilakukan saat ini sudah memiliki peta jalan. Sudah ada identifikasi komoditas apa yang akan didorong untuk hilirisasi.
Namun, gambarannya masih global sehingga belum ada identifikasi soal jumlah tenaga kerja ataupun spesifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan.
Menurut Drajad, ini menjadi tugas besar pemerintah, terutama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk mematangkannya. Perencanaan matang dibutuhkan agar tidak kembali terulang problem di hiliriasi bubuk kertas dan kertas (pulp and paper).
Kendati industrinya berhasil, penyerapan tenaga kerjanya tidak maksimal lantaran kampus-kampus kurang bisa menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan.
Lantas, bagaimana dengan kelas menengah saat ini?
Drajad menyarankan agar pemerintah mengidentifikasi industri yang menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan gaji layak, lalu mendorong dan memicu perkembangannya.
Industri kreatif, misalnya, dapat difasilitasi dan diberi kemudahan perizinan mendirikan perusahaan. Dengan demikian, para pekerja terserap ke dalam industri tersebut sebagai pekerja formal alih-alih pekerja informal seperti freelancer.
”Pemerintah perlu menciptakan ekosistem yang mengayomi. Di industri kreatif, misalnya, tidak hanya dengan memberi kemudahan izin, tetapi bisa juga dengan perlindungan hak cipta sebagai bentuk penghargaan terhadap insan kreatif,” ucapnya melanjutkan.
Keuntungan pribadi dan impor
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Hidayatullah, mengatakan, Indonesia merupakan negara besar dengan jumlah sumber daya alam dan penduduk yang besar. Karena itu, pemerintah seharusnya membangun dengan sungguh-sungguh industri kebutuhan dasar.
Dengan cara itu, maka akan tercipta lapangan kerja formal yang besar dan secara otomatis akan menciptakan lapangan kerja informal yang besar juga.
”Pemerintah fokus saja dulu untuk membangun industri pangan, sandang, dan papan untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya sendiri,” kata Hidayatullah.
Pekerjaan rumah sekarang adalah menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan cara efisiensi investasi. Artinya, tidak boleh ada celah untuk birokrasi yang korup, perizinan berbelit-belit, ketidakpastian hukum, etos kerja yang lemah, dan investasi pendidikan keterampilan yang masih rendah.
Hidayatullah mengatakan, pemerintah belum serius membangun industri kebutuhan dasar sehingga lebih suka mengimpor. Menurut dia, pemerintah hanya ingin mencari kentungan pribadi dari impor.
Ia pun mempertanyakan tujuan pemerintah fokus membangun perkebunan sawit, karet, dan cokelat sampai begitu masif. Padahal, kebutuhan masyarakat Indonesia adalah beras, jagung, dan kedelai.
Sebelumnya, pemerintah mendorong warga bekerja di sektor formal untuk menciptakan kelas menengah yang lebih baik. Dengan bekerja formal, mereka mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dan terlindungi jaminan sosial.
Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Edy Priyono menyarankan agar warga mengambil kesempatan mengikuti program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, Kartu Prakerja, Kartu Indonesia Pintar Kuliah, dan kredit usaha rakyat (Kompas, 26/2/2024).
Politikus senior PDI-P, Hendrawan Supratikno, mengatakan, problem mendasar yang memicu rentannya kelas menengah sebenarnya berawal dari pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa digenjot secara maksimal.
Padahal, kata Hendrawan, pertumbuhan ekonomi dapat mendiversifikan kesempatan kerja, membuka lapangan kerja baru, dan menciptakan kebutuhan spesialiasi.
Pemerintah, ujar Hendrawan, sebenarnya sudah mendesain pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 7-8 persen dalam program Nawacita pada 2014-2019. Namun, hal itu tidak terealisasi dengan pertumbuhan Indonesia stagnan di angka 5 persen.
”Kalau pertumbuhan ekonomi tinggi, ketersediaan lapangan kerja layak bagi kelas menengah akan lebih besar. Di ekonomi ada prinsip, ’Gelombang pasang akan menaikkan semua kapal, kapal kecil ataupun besar’,” tuturnya.
Menurut Hendrawan, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan tak lepas dari banyak faktor, termasuk pendidikan keterampilan yang rendah, produktivitas yang tak terpacu, serta ekosistem dunia usaha yang koruptif dan kolutif.
Ini juga berkaitan dengan adanya anomali sistem politik yang membuat demokrasi justru menjadi pintu masuk korupsi.
Secara teori, ekonomi pasar akan bergerak efisien apabila pemerintahannya bersih. Jika tidak, tutur Hendrawan, akan muncul distori ekonomi pasar sekaligus distorsi birokrasi pemerintahan.
”Pekerjaan rumah sekarang adalah menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan cara efisiensi investasi. Artinya, tidak boleh ada celah untuk birokrasi yang korup, perizinan berbelit-belit, ketidakpastian hukum, etos kerja yang lemah, dan investasi pendidikan keterampilan yang masih rendah,” ujar anggota DPR Komisi XI ini.