Provinsi yang Gaji Anak Mudanya Lebih Rendah dari Pengeluaran
Sisa gaji anak muda defisit di sembilan provinsi. Salah satunya di Yogyakarta, minus hingga setengah juta rupiah.
JAKARTA, KOMPAS — Defisit gaji melanda anak-anak muda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Bengkulu, Riau, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat, Riau, Sumatera Barat, Lampung, dan Papua Barat. Nilai defisit gaji di wilayah itu berkisar Rp 42 hingga Rp 528.4965 per orang per bulan.
Tingginya pengeluaran warga juga dipengaruhi faktor gaya hidup dan inflasi sehingga menyebabkan gaji defisit. Faktor lain yang membuat defisit gaji adalah penghasilan yang rendah di provinsi-provinsi tersebut.
Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menemukan fakta ini dari olahan data pengeluaran 34 provinsi dari data mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan data pendapatan dari data mikro Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021. Data pengeluaran dan pendapatan berasal dari responden penduduk usia 17-40 tahun.
Penentuan batas pengeluaran calon kelas menengah dan kelas menengah setiap provinsi menggunakan garis kemiskinan provinsi periode Maret 2021.
Baca juga: Baca juga : Gaji ”Ngepas”, Anak Muda Jungkir Balik Mengelola Keuangan
Defisit gaji dari warga calon kelas menengah dan kelas menengah di beberapa provinsi menunjukkan nilai rata-rata pengeluaran lebih besar daripada rata-rata pendapatan per bulan. Artinya, gaji bulanan terpakai semua untuk membiayai pengeluaran satu bulan sehingga mereka tidak bisa menabung, apalagi berinvestasi. Kenyataan itu menunjukkan warga kelas menengah di wilayah tersebut rentan turun kelas menjadi kelompok miskin.
Inflasi dan upah
Salah satu pemicu terjadinya defisit gaji itu adalah tingginya inflasi. ”Karena itu, inflasi di wilayah-wilayah tersebut harus dikendalikan. Kalau tidak dikendalikan, pengeluarannya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pendapatannya,” ujar dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, Denpasar, Marhaeni.
Faktor penting lain, kata Marhaeni, adalah upah minimum yang berbeda antardaerah. ”Jangan sampai upah minimumnya lebih rendah dibandingkan dengan perhitungan inflasi. Nilai inflasi ini seharusnya menjadi komponen penghitungan upah minimum,” kata Marhaeni.
Rendahnya upah minimum terjadi karena upah masih dianggap untuk bertahan hidup warga jika tak bekerja (unemployment fee). ”Seharusnya, kalau sudah bekerja, dapat upah yang lebih tinggi dari UMR (upah minimum regional),” ujar Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Omas Bulan Samosir.
Menurut Omas, seharusnya upah yang benar adalah UMR ditambah gaji saat sudah bekerja. Gaji tersebut, katanya, dipakai untuk membayar keahlian dan keterampilan yang dimiliki pekerja.
Baca juga: Kelas Menengah Indonesia Sulit Menjadi Orang Kaya
Minus tertinggi
Dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, defisit gaji terendah warga kelas menengah terjadi di DI Yogyakarta dengan nilai minus Rp 528.496 per orang per bulan. Hitungan Kompas, nilai pendapatan rata-rata senilai Rp 2,66 juta per orang per bulan. Adapun pengeluaran rata-ratanya sebesar Rp 3,17 juta per orang per bulan, termasuk tertinggi kedua di Jawa, setelah DKI Jakarta.
Pengeluaran yang tinggi ini, menurut dosen ekonomi Universitas Gadjah Mada, Gumilang Aryo Sahadewo, terkait dengan biaya hidup di Yogyakarta yang dinamis. ”Artinya, kebutuhan hidup di Yogyakarta pada dekade terakhir ini berbeda dibandingkan dengan dekade sebelumnya,” ucapnya.
Faktor lain terjadinya defisit gaji ialah struktur ekonomi suatu wilayah. Menurut Gumilang, struktur ekonomi Yogyakarta terdiri dari sektor pertanian, manufaktur, dan jasa.
Pendapatan di daerah yang memiliki proporsi sektor manufaktur dan jasa cenderung lebih tinggi daripada daerah dengan konsentrasi pertanian. ”Pendapatan tinggi di wilayah tersebut yang menentukan rata-rata pendapatan Yogyakarta,” jelas Gumilang.
Tia (35), pegawai kontrak di Yogyakarta, menjadi potret kelas menengah Yogyakarta yang gajinya tak mampu menutup kebutuhan bulanan. Sebagai ”generasi roti lapis”, wanita lajang ini juga harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dua anggota keluarga, yakni ibu dan adiknya.
Dia mencari tambahan pekerjaan mulai dari penulis lepas, moderator, hingga mengajukan sejumlah proposal penelitian. Waktu istirahat pada Sabtu dan Minggu pun digunakan untuk bekerja.
Namun, penghasilan dari pekerjaan tambahan itu tidak mencukupi pengeluaran keluarganya yang selalu bertambah. Menabung pun sulit dilakukan. Ia memilih menekan pengeluaran pribadinya daripada berutang.
”Aku prinsipnya selama tidak berutang, mendingan aku nabung. Kalau dulu, pulang kerja bisa nongkrong atau nonton bersama teman. Sekarang, saya pertimbangkan uang dan waktu, karena kalau pergi pasti akan keluar duit lebih banyak,” kata Tia mantap.
Hampir tak ada sisa
Sama seperti Tia, gaji Wiwaha (32), aparatur sipil negara pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) Bengkulu, hampir tak bersisa untuk mencukupi pengeluaran bulanannya. Olahan Kompas, rata-rata gaji warga kelas menengah Bengkulu minus Rp 65.636 per orang per bulan.
Gaji pokok dan tunjangan yang diterima Wiwaha per bulan adalah Rp 6,8 juta. Adapun pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk makan, membayar sewa tempat kos, listrik, dan internet, serta zakat dan cicilan tanah, mencapai Rp 6,73 juta per bulan.
”Saya jadi mengandalkan pemasukan lain. Bagaimana caranya supaya menutupi kekurangan dengan subsidi silang,” kata Wiwaha.
Selain sebagai ASN, Wiwaha juga mengandalkan pemasukan sebagai tenaga pemasaran promosi biro perjalanan haji dan umrah milik mertuanya. Dia juga bergantung pada hasil panen kebun hortikultura miliknya di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu.
”Hasilnya juga belum seberapa. Saya cuma dapat untung Rp 500.000 dari hasil panen. Untuk bayar biaya operasional malah lebih besar, Rp 1,25 juta,” katanya.
Sisa gaji warga kelas menengah Riau dari hitungan Kompas juga minus Rp 51.177 per orang per bulan. Rata-rata pendapatan Rp 3,17 juta dengan rata-rata pengeluaran Rp 3,18 juta per orang per bulan, masuk dalam peringkat 10 besar pengeluaran tertinggi.
Zaini Agustian (40), sopir mobil angkutan daring di Pekanbaru, harus bekerja 16 jam setiap hari supaya bisa menutup pengeluaran bulanannya.
”Target saya per hari dapat Rp 350.000 supaya pada akhir bulan dapat Rp 10,5 juta. Ini ngepas untuk kebutuhan sehari-hari dan bayar cicilan. Saya enggak bisa nabung karena selalu ada biaya tak terduga setiap bulannya,” ujar bapak dua anak tersebut.
Inflasi tinggi
Inflasi tinggi juga berkontribusi pada defisitnya selisih gaji dan pengeluaran. Dari olahan Kompas, sisa gaji warga calon kelas menengah di Kalimantan Utara minus Rp 31.000 per orang per bulan.
Pengeluaran bulanan yang mencapai Rp 1,59 juta bisa jadi dipengaruhi oleh tingginya angka inflasi. Data inflasi di Tanjung Selor pada Desember 2021 sebesar 1,31 persen di atas rata-rata inflasi Indonesia.
Gambaran masyarakat Kalimantan Utara tecermin dari Mona (31), warga Nunukan. Sebagai tenaga honorer, gajinya tak cukup menghidupi keluarganya. Sang suami yang menanggung pengeluaran rumah tangga dan gaji Mona ditabung untuk dana darurat dan tabungan pendidikan anak.
Namun, kenaikan harga pangan membuat pengeluaran keluarganya terus bertambah. Ia mencontohkan harga beras 25 kilogram yang sekarang naik Rp 25.000, menjadi Rp 395.000, sehingga pengeluarannya naik menjadi Rp 7 juta, dari tahun sebelumnya yang berkisar Rp 5 juta-Rp 6 juta.
Sisa gaji minus di Papua Barat Rp 42 per orang per bulan. Rata-rata pendapatan bulanan per orang, Rp 1.46 juta, masuk dalam 10 besar pendapatan tertinggi. Namun, inflasi di Manokwari, ibu kota Papua Barat, relatif tinggi, 1,02 persen, yang memengaruhi peningkatan harga barang dan jasa.
Haryono (37), warga Jayapura, Papua, mengeluh kenaikan harga sembako tidak diikuti dengan kenaikan gajinya sebagai juru masak warung makan. Gajinya hanya Rp 1,5 juta. ”Gaji saya hanya nambah Rp 500.000 kalau penjualan di warung sedang tinggi,” katanya.
Penghasilannya itu tidak bisa menutup pengeluaran bulanan untuk pembelian bahan pokok sebesar Rp 2 juta hingga Rp 2,5 juta. Apalagi Haryono juga menanggung hidup ibu mertua yang tinggal serumah dengannya.
Gaya hidup
Selisih gaji dan pengeluaran di NTB minus Rp 16.000 per bulan per orang. Upah minimum NTB tahun 2021, yakni Rp 2,18 juta, lebih rendah dibandingkan dengan upah rata-rata nasional. Gaji yang rendah tersebut tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan gaya hidup masyarakatnya.
Seperti Junaidi (32), tenaga honorer di Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu pintu Provinsi NTB, yang khusus menyisihkan pos anggaran khusus untuk liburan setiap minggu. ”Biasanya saya menghabiskan Rp 150.000 untuk healing ke tempat wisata, tiap weekend, patungan dengan teman-teman untuk sewa kamar, makan, dan lain-lain,” katanya.
Menurut Junaidi, setiap akhir pekan, masyarakat Mataram punya kebiasaan untuk liburan di obyek wisata, mal, ataupun restoran. ”Walaupun gajinya segitu (kecil), bakalan dicukup-cukupin untuk pergi healing,” kata Junaidi sambil tertawa.
Praktis, gaji bulanan Junaidi sebesar Rp 2,5 juta tak bersisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk hiburan. Lelaki lajang ini mengaku sulit menabung karena setiap bulan hanya hidup dari gaji ke gaji.
Perencana keuangan Nadia Harsya menyarankan supaya pribadi dari setiap kelas menengah bisa mengatur pengeluaran. ”Harus ada spending self control bagaimana menghabiskan uang, jangan sampai melebihi kemampuan, dan harus punya kemampuan menabung,” katanya.