Ada Kesalahan Sinyal dalam Tragedi ”Adu Kambing” Cicalengka
Ada keterlibatan faktor manusia dalam Tragedi Cicalengka, selain juga peralatan persinyalan yang tua.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Faktor manusia dan usia peralatan teknis persinyalan yang tua dinilai menjadi penyebab tragedikecelakaan ”adu kambing” Kereta Lokal Bandung Raya dan Kereta Api Turangga di Cicalengka, Jawa Barat, pada awal tahun ini. Ketiadaan standar operasional prosedur menambah panjang masalah mendasar yang perlu segera dituntaskan.
Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono dalam konferensi pers Laporan Akhir Hasil Investigasi Kecelakaan Perkeretaapian di Gedung KNKT, Jakarta, Jumat (16/2/2024). mengatakan, ada keterlibatan faktor manusia dalam tragedi Cicalengka. Kemunculan sinyal yang tak diperintahkan (uncommanded signal) juga menyebabkan kecelakaan ini.
Kecelakaan itu terjadi antara kereta api (KA) 350 Kereta Lokal (KRL) Bandung Raya dan KA 65 Turangga jurusan Surabaya Gubeng-Bandung. Peristiwa itu terjadi pada Kilometer 181+700 di kawasan Haurpugur, Cicalengka, Jawa Barat, Jumat (5/1/2024). Akibatnya, empat orang tewas dan 37 orang lainnya terluka.
Saat kecelakaan terjadi, Stasiun Cicalengka mengirim sinyal mekanik melalui sistem interface (penerjemah sinyal mekanik ke elektrik dan sebaliknya) tanpa perintah ke sistem persinyalan elektrik Stasiun Haurpugur. Sinyal tak diperintahkan itu mengindikasikan seolah-oleh telah diberi tanda ”blok aman” oleh Stasiun Cicalengka. Akibatnya, petugas Stasiun Haurpugur pun memberangkatkan KRL Bandung Raya menuju Stasiun Cicalengka. Hal ini menjadi dasar pengambilan keputusan pelayanan KA dari tiap stasiun, kemudian kecelakaan tak terhindarkan.
Sebelumnya, anomali sinyal tak diperintahkankan sudah terjadi empat kali sejak Agustus 2023. Namun, petugas menganggap hal itu biasa terjadi karena dapat dinormalkan kembali dengan mengatur ulang sistem.
”Orang menganggap itu biasa saja karena dioperasikan berhari-hari, berbulan-bulan tak ada masalah. Seolah-olah ada gangguan kecil. Inilah yang kita tahu sebenarnya gangguan (menjadi) besar sehingga terjadi kecelakaan. Orang menyepelekan karena setelah itu (biasanya) tak terjadi apa-apa,” ujarnya.
Selain itu, usia peralatan persinyalan di Stasiun Cicalengka yang tergolong tua berkontribusi terhadap kecelakaan yang terjadi. Sistem persinyalannya yang masih mekanik berbeda dengan Stasiun Haurpugur yang sudah elektrik. Anomali terjadi pada penerjemahan sinyal di antara keduanya.
Orang menyepelekan karena setelah itu (biasanya) tak terjadi apa-apa.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Subkomisi Investigasi Kecelakaan Perkeretaapian KNKT Gusnaedi Rachmanas menambahkan, tragedi Cicalengka disebabkan sejumlah faktor. Pertama, adanya sinyal tak diperintahkan dari sistem interface akibat tegangan dengan amplitudo sangat tinggi dalam waktu singkat.
Kedua, sinyal tak diperintahkan itu terproses dalam sistem elektrik Stasiun Haurpugur sehingga menampilkan status aman untuk melanjutkan perjalanan ke Stasiun Cicalengka. Ketiga, adanya faktor kepuasan (complacency)terhadap sistem sehingga petugas terlena untuk tak mengonfirmasi ulang.
Hal ini dipicu petugas Stasiun Cicalengka yang tak mendapat jawaban saat menghubungi petugas Stasiun Haurpugur. Sebab, semua petugas Stasiun Haurpugur tengah melakukan semboyan I memberangkatkan KA Turangga.
Faktor keempat, belum ada prosedur standar operasi (SOP) KA yang spesifik terkait dengan persinyalan elektrik dan mekanik. Kelima, anomali sinyal tak diperintahkan yang telah terekam beberapa kali tak dicatat sebagai gangguan awal.
Gusnaedi meyakini, apabila satu atau dua faktor di atas tak terjadi, besar kemungkinan kecelakaan bisa dihindari.
Wakil Ketua Forum Angkutan Jalan dan Kereta Api Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Deddy Herlambang menyayangkan petugas yang tak mengambil tindakan preventif ketika sinyal anomali muncul. Hal serupa bisa terjadi pula pada stasiun-stasiun lain yang menggunakan transisi sinyal mekanik-elektrik, seperti di Merak (Banten), Situbondo, serta Probolinggo (Jawa Timur).
”Masalah interface banyak karena 60 persen sinyal kita masih mekanik di Jawa dan Sumatera,” ujarnya.
Tindak lanjut
Guna mencegah terulangnya kecelakaan KA, maka KNKT merekomendasikan langkah yang perlu diambil Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Soerjanto mengakui bahwa masih banyak stasiun di Indonesia yang masih menggunakan sinyal mekanik. Alhasil, saat ini pembaruan sinyal elektrik di jalur selatan telah dimulai dari Bandung lanjut ke timur dengan perubahan terakhir di Haurpugur.
Selanjutnya, perubahan sinyal dari mekanik ke elektrik akan dilakukan di Stasiun Cicalengka. Namun, ketika Cicalengka menggunakan sinyal elektrik, maka pekerjaan selanjutnya ada pada transisi sinyal dengan Stasiun Nagreg. Oleh karena itu, perubahan bertahap akan dilakukan.
Gusnaedi mengatakan, Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kemenhub perlu memastikan keandalan serta adanya SOP sistem interface yang menghubungkan sinyal mekanik dan elektrik. Selain itu, pengawasan terhadap manajemen keselamatan perkeretaapian, khususnya terkait sistem pelaporan potensi bahaya, harus ditingkatkan. Hal serupa perlu dilakukan oleh KAI.
Adapun Deddy menilai, DJKA dan KAI perlu duduk bersama untuk mengevaluasi lebih jauh persoalan ini. Alasannya, sistem persinyalan Cicalengka tergolong baru, tetapi mengapa bisa terjadi masalah.
Kedua stasiun yang tergolong sibuk itu juga dinilainya memiliki sumber daya manusia yang terbatas. Alhasil, konfirmasi keberangkatan perjalanan melalui telepon luput karena tak ada petugas yang berjaga.