Kecelakaan maut yang melibatkan KA Turangga dan KA Commuter Line Bandung Raya terjadi di Bandung, Jawa Barat, Jumat. Empat orang tewas dan 35 lainnya luka-luka akibat kejadian ini.
Oleh
CORNELIUS HELMY HERLAMBANG, HELENA F NABABAN, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, FABIO MARIA LOPES COSTA
·5 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Tabrakan maut yang melibatkan dua kereta api kembali terjadi. Peristiwa serupa beberapa kali terjadi, setidaknya dalam kurun waktu tiga dekade terakhir. Faktor kelalaian manusia jadi salah satu pemicunya. Sejumlah pihak berharap PT Kereta Api Indonesia (Persero) meningkatkan manajemen keselamatan sistem perkeretaapian agar kasus serupa tidak terulang.
Pada Jumat (5/1/2024), pukul 06.30, KA Turangga jurusan Surabaya Gubeng-Bandung bertabrakan dengan Commuterline Bandung Raya jurusan Padalarang-Cicalengka di Kilometer 181+700 di kawasan Haurpugur, Cicalengka. Empat orang tewas dan 35 orang lainnya luka-luka akibat kejadian ini.
Hingga Jumat pukul 20.00, proses evakuasi korban tewas, semuanya awak KAI, sudah selesai. Mereka adalah masinis KA Commuter Line Bandung Raya Julian Dwi Setiono; asisten KA Commuter Line Bandung Raya Ponisan; pramugara KA Turangga, Ardiansyah; dan Enjang Yudi, petugas keamanan di Stasiun Cimekar, Gedebage, Kota Bandung.
Namun, evakuasi lokomotif dan kereta masih berlangsung. Di tengah guyuran hujan dan angin kencang, tim gabungan masih berusaha mengevakuasi lokomotif KA Turangga serta lokomotif dan satu gerbong KA Commuter Line 350.
Vice President Public Relations PT KAI Joni Martinus mengatakan, sedikitnya 200 orang terlibat dalam tim gabungan KAI, polisi, dan TNI; Kementerian Perhubungan; serta Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas). Selain crane (alat pemindah), lanjut Joni, petugas menggunakan enam dongkrak elektrik dan berbagai peralatan pendukung lain. Material yang digunakan dalam proses perbaikan jalur mencapai 100 buah bantalan rel.
Sekretaris PT KAI Raden Agus Dwinanto Budiadji menyatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) untuk mengungkap insiden ini. ”Semua pihak terkait akan dimintai keterangannya,” kata Raden.
Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono mengatakan, pihaknya tengah mengumpulkan data dan informasi faktual, termasuk keterangan saksi sambil menunggu hasil investigasi dari investigator di lapangan. ”Kami akan melakukan analisis menyeluruh terhadap faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kejadian kecelakaan,” tutur Soerjanto.
Investigator Keselamatan Perkeretaapian KNKT Gusnaedi menambahkan, pihaknya tengah mencari dan mengumpulkan bukti-bukti kecelakaan itu. Dari bukti-bukti itu, tim KNKT akan membuat kesimpulan dan memberikan rekomendasi kepada KAI.
Kelalaian manusia
Meski belum diketahui penyebabnya, tragedi di Cicalengka itu menambah panjang daftar tabrakan antarkereta di Indonesia yang tercatat dalam arsip Kompas. Pada Oktober 2010, misalnya, tabrakan terjadi di Serang, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Jaraknya kurang dari 500 meter dari Stasiun Petarukan.
Saat itu, KA Senja Utama jurusan Jakarta-Semarang yang berhenti di jalur tiga ditabrak dari belakang oleh KA Argo Bromo Anggrek jurusan Jakarta-Surabaya. Setidaknya 34 orang tewas dalam peristiwa itu. Kecelakaan saat itu diduga karena masinis tertidur dan melanggar sinyal.
Kelalaian manusia juga menjadi penyebab kecelakaan KA Kertajaya dengan KA Sembrani di Stasiun Gubug, Kabupaten Grobogan, Jateng, pada April 2006. Sebanyak 14 orang tewas dalam tabrakan maut itu.
Hasil penyelidikan KNKT mengungkapkan, masinis KA Kertajaya diduga menjalankan lokomotifnya tanpa aba-aba dari petugas pengatur perjalanan kereta api (PPKA) dan kondektur sesuai dengan prosedur pemberangkatan KA.
Faktor kelalaian manusia kembali ditemukan dalam kecelakaan maut di Desa Cigedug, Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes, Desember 2001. Saat itu, KA Empu Jaya dari Pasar Senen ke Lempuyangan ”adu kepala” dengan KA Gaya Baru Malam Selatan (GBMS) dari Surabaya Gubeng menuju Pasar Senen. Akibatnya, 30 orang tewas dan 50 lainnya luka-luka. Kecelakaan itu akibat masinis KA Empu Jaya melanggar sinyal masuk.
Sekitar tiga bulan sebelumnya, KA Empu Jaya jurusan Jakarta-Yogyakarta terlibat kecelakaan dengan lokomotif Cirebon Ekspres yang sedang langsir di Stasiun Kejaksan Cirebon, Minggu (2/9/2001) sekitar pukul 03.44. Setidaknya 40 orang meninggal dan 62 orang lainnya terluka.
Setahun sebelumnya, tepatnya 10 September 2000, tabrakan maut terjadi di dekat Stasiun Pelabuhan, Krengseng, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, Jateng. Kecelakaan itu melibatkan KA Tawangjaya dengan KA barang Parcel. Sedikitnya 13 orang tewas dan 10 orang luka berat.
Pada bulan Mei 2000, tabrakan maut antardua kereta rel diesel (KRD) terjadi di lintasan antara Stasiun Sudimara dan Stasiun Serpong, Kabupaten Tangerang. Tabrakan antara KA 209 jurusan Merak-Jakarta dan KA 906 jurusan Jakarta-Rangkasbitung itu menewaskan empat orang.
Sejumlah faktor memicu kecelakaan. Salah satunya tidak berfungsinya peralatan komunikasi antara Stasiun Sudimara dan Stasiun Serpong, serta di lokomotif KA 209. Pemimpin perjalanan KA Stasiun Serpong kala itu terindikasi tidak melihat tanda di komputer bahwa kereta sudah melaju.
Pada 1993, tabrakan maut juga terjadi antara dua kereta api listrik (KRL) Jabotabek yang datang dari arah berlawanan di Desa Ratujaya, Kecamatan Pancoran Mas. Kompas melaporkan 34 orang meninggal dalam insiden itu. Masinis dari kedua kereta itu turut menjadi korban jiwa.
Peristiwa memilukan itu mengingatkan pada tragedi 19 Oktober 1987 di Kelurahan Bintaro, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kecelakaan itu, menurut pemerintah, merenggut 129 nyawa dan mengakibatkan 238 orang luka berat.
Tabrakan terjadi ketika kereta nomor 225 dari arah Rangkasbitung menuju Tanah Abang yang menarik delapan gerbong ”adu kepala” dengan kereta nomor 220 dari Jakarta yang melewati rel yang sama. Kejadian ini menjadi kecelakaan KA paling tragis di Indonesia.
Ketua Forum Transportasi Jalan dan Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia Aditya Dwi Laksana berharap PT KAI meningkatkan manajemen keselamatan sistem perkeretaapian. Alasannya, kecelakaan masih terjadi dan menimbulkan korban jiwa.
Terkait kecelakaan di Cicalengka, kata Aditya, insiden itu bisa dipicu kelalaian manusia dan prasarana di sekitar lokasi kejadian. ”Kami berharap, PT KAI meningkatkan manajemen keselamatan sistem perkeretaapian. Kecelakaan masih terjadi dan menimbulkan korban jiwa,” tuturnya.
Harapan serupa disampaikan Luluh Pradipta (34), salah seorang korban terluka. Dia meminta KAI dan berbagai pihak terkait mengusut tuntas penyebab kedua kereta bertabrakan. ”Jujur saya trauma berat akibat kejadian ini. Hal serupa mungkin dirasakan oleh penumpang lainnya,” kata Luluh.