Pemenuhan Kebutuhan Rumah Semakin Terimpit
Pemenuhan kebutuhan rumah rakyat berpotensi semakin berat di tengah kenaikan harga rumah dan tarif pajak yang membebani.
Masyarakat berpenghasilan menengah bawah berpotensi semakin terimpit dalam menjangkau rumah. Di tengah program rumah bersubsidi yang makin dikurangi tahun ini, kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan berpotensi semakin membebani pengeluaran.
Per 1 Januari 2024, pemerintah menaikkan harga rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Batasan maksimum harga jual rumah tapak bersubsidi yang bebas PPN dipatok menjadi Rp 166 juta-Rp 240 juta per unit menurut zonasi. dari sebelumnya Rp 162 juta-Rp 234 juta.
Penyesuaian batasan harga maksimal rumah bersubsidi mengacu pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak Dalam Pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan.
Baca juga: Harga Rumah Merangkak Naik
Selain harga rumah bersubsidi dinaikkan, kuota penyaluran fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) untuk rumah bersubsidi semakin berkurang, yakni 166.000 unit atau senilai Rp 13,72 triliun. Kuota ini lebih kecil dibandingkan tahun 2023, yakni sebesar 220.000 unit.
Kriteria masyarakat berpenghasilan rendah yang dapat memiliki rumah subsidi untuk wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, Bali, dan Nusa Tenggara Timur adalah berpenghasilan bulanan maksimal Rp 8 juta untuk berstatus kawin, dan Rp 7 juta untuk yang tidak kawin. Sementara itu, untuk wilayah Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya penghasilan bulanan maksimal Rp 10 juta untuk status kawin dan Rp 7,5 juta untuk status tidak kawin.
Hingga saat ini, angka kekurangan rumah di Indonesia masih tinggi, yakni mencapai 12,7 juta unit. Kekurangan rumah terutama dirasakan masyarakat berpenghasilan menengah bawah. Jika golongan masyarakat bawah bisa mendapatkan FLPP rumah bersubsidi, golongan masyarakat tanggung yang sedikit di atas kategori penghasilan rendah tidak bisa mengakses rumah bersubsidi.
Golongan masyarakat tanggung yang sedikit di atas kategori penghasilan rendah tidak bisa mengakses rumah bersubsidi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali mengemukakan, penurunan kuota rumah bersubsidi pada 2024 semakin menjauhkan masyarakat dalam mengakses rumah. Tingkat kekurangan rumah yang masih sangat besar seharusnya didukung keberpihakan pemerintah untuk menaikkan kuota rumah bersubsidi, serta terobosan pembiayaan bagi masyarakat menengah bawah yang masuk kategori penghasilan tanggung.
Kebutuhan rumah bagi segmen menengah bawah masih sangat besar. Pasar perumahan segmen menengah bawah telah terbukti menopang sektor properti di masa pandemi. Namun, pasar itu juga sangat sensitif terhadap kenaikan biaya dan harga.
Selama ini, komponen terbesar harga rumah adalah biaya tanah. Sementara itu, belum ada skema kebijakan untuk mengendalikan harga lahan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kenaikan harga rumah akan disikapi masyarakat dengan mencari rumah yang lebih terjangkau hingga semakin ke pinggiran. Akibatnya, beban biaya hidup akan bertambah karena ongkos transportasi.
Beli vs sewa
Di tengah harga jual rumah yang semakin naik, pemerintah memberlakukan kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 66,67 persen mulai tanggal 5 Januari 2024. Kenaikan tarif PBB diatur dalam UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), yakni Pasal 41. Disebutkan, tarif baru PBB ditetapkan maksimal sebesar 0,5 persen. Tarif itu naik 66,67 persen dibandingkan sebelumnya, yakni paling tinggi 0,3 persen yang mengacu UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Besaran pajak selanjutnya ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah.
Baca juga: Pemerintah Perlu Kaji Ulang Kenaikan Tarif PBB
Ketua Umum Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (HUD Institute) Zulfi Syarif Koto mengemukakan, kenaikan tarif PBB seharusnya mempertimbangkan kondisi masyarakat yang baru bangkit pascapandemi Covid-19. Kenaikan tarif PBB berlangsung di tengah ketidakmampuan pemerintah mengendalikan harga lahan dan penyediaan rumah yang terjangkau.
Kenaikan tarif PBB akan sangat membebani golongan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah karena harus membayar biaya PBB yang lebih besar, sedangkan pendapatan belum tentu naik. Kenaikan PBB juga berpotensi memicu kenaikan harga rumah. Kelompok muda yang ingin punya rumah dikhawatirkan berpikir ulang untuk membeli rumah pertama-kali.
”Tingginya kenaikan tarif PBB akan membuat masyarakat yang membutuhkan hunian semakin enggan memiliki properti. Produk rumah sewa atau kontrakan akan menjadi pilihan. Persoalannya, pengembangan rumah sewa di perkotaan hingga kini masih minim,” kata Zulfi.
Pengembangan rumah susun sewa oleh pemerintah di kawasan perkotaan yang menyasar kaum pekerja terkesan lambat. Masyarakat yang belum bisa membeli rumah terpaksa menyisihkan uang untuk mengontrak di lokasi yang dekat dengan tempat kerja. Namun, besaran uang sewa rumah atau kos-kosan kerap hampir sama bahkan setara dengan nilai cicilan kredit pemilikan rumah untuk hunian di pinggiran kota.
Hal senada dikemukakan Daniel. Masyarakat dengan penghasilan terbatas selalu terbentur dengan kebutuhan membeli rumah atau menyewa rumah. Sebagian masyarakat yang belum sanggup membeli rumah akan bergantung pada rumah sewa. Namun, jika terus mengontrak rumah, mereka bakal semakin kesulitan mengejar laju kenaikan harga rumah yang jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan gaji.
Baca juga: Milenial Masih Kesulitan Membeli Rumah
”Kaum muda yang belum bisa beli rumah akan merogoh penghasilan untuk menyewa rumah. Tetapi, mau sampai kapan? Jika nominal (uang sewa) itu bisa digunakan untuk membayar cicilan rumah, mereka akan punya aset tempat tinggal di hari tua dengan nilai rumah yang sudah naik,” kata Daniel.
Menurunnya kuota rumah bersubsidi dan kenaikan tarif PBB diperkirakan akan menjadi batu sandungan dalam komitmen pemenuhan kebutuhan rumah rakyat. Harapan disandarkan pada pemerintah mendatang untuk membuktikan keberpihakan perumahan rakyat dan pengembangan kawasan perkotaan.