Mengungkap Orang-orang Miskin yang Tersembunyi
Masih banyak orang miskin yang ”tersembunyi” di Indonesia. Meski tidak lagi dianggap miskin, mereka masih hidup rentan.
Warga menjemur kasurnya di antara rel yang melalui kawasan hunian semipermanen padat penduduk di Pademangan, Jakarta Utara, Kamis (17/7/2023). Badan Pusat Statistik mencatat, tingkat kemiskinan per Maret 2023 menurun dibandingkan dengan kondisi September 2022.
Alkisah, seorang presiden di akhir masa jabatannya sedang galau. Ia ingin meninggalkan warisan yang baik sebelum meninggalkan Istana. Salah satunya, menurunkan angka kemiskinan nasional.
Ia tahu ada cara jitu untuk mencapai target tersebut, yakni mempertahankan formula penghitungan angka kemiskinan yang selama ini berlaku. Dengan metode lama itu, ia sudah hampir pasti bisa turun jabatan dengan prestasi angka kemiskinan yang rendah.
Namun, lembaga statistik di bawah kepemimpinannya tiba-tiba ingin mengubah formula penghitungan angka kemiskinan. Alasannya, standar dan definisi statistik yang selama ini digunakan pemerintah sudah tidak relevan dengan realitas sosial-ekonomi terbaru.
Baca juga: Utak-atik Garis Kemiskinan Menuju Target Nol Persen
Dampaknya tidak main-main. Dengan formula baru itu, tingkat kemiskinan bisa naik hingga 2 persen meski artinya lebih banyak warga miskin dan rentan yang bisa dilindungi negara. Presiden pun terbelah antara ambisi pribadi dan tanggung jawab moral.
”Yang benar saja, masak 4 juta orang jadi jatuh miskin di bawah rezim ini?” seru stafnya. Staf lain menimpali, ”Bukan begitu. Mereka selama ini memang sudah miskin. Bedanya, kali ini kita benar-benar menyebut mereka sebagai orang miskin. Bagaimana pemerintahan ini mau menolong orang miskin kalau mereka terus disembunyikan?”
Cerita di atas bukan terjadi di Indonesia. Presiden yang sedang galau dan menghadapi dilema moral di ujung jabatannya bukan Joko Widodo. Kisah itu hanya cerita fiktif dari salah satu episode serial televisi The West Wingbesutan Aaron Sorkin, yang bercerita tentang dinamika kehidupan presiden Amerika Serikat (AS) beserta stafnya di Gedung Putih.
Familiar
Meskipun fiktif, dilema yang dipotret dalam kisah di atas terasa familiar dan layak direnungkan. Terutama, satu bulan menjelang Pemilihan Umum 2024 dan pergantian rezim pemerintahan. Sebab, Indonesia sesungguhnya juga menghadapi masalah serupa.
Berdasarkan data teranyar Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan nasional per Maret 2023 adalah 9,36 persen atau 25,9 juta orang, turun dari level saat pandemi meski belum kembali ke kondisi prapandemi. Pemerintah pun sejauh ini cukup puas dengan capaian itu karena sudah ada perkembangan yang cukup signifikan pascapandemi.
Namun, banyak pihak menilai angka kemiskinan nasional itu belum menggambarkan kondisi riil. Seperti cerita fiktif di atas, masih banyak orang miskin yang ”tersembunyi” di Indonesia. Mereka adalah kelompok yang sebenarnya hidup rentan, tetapi sudah tidak lagi dikategorikan miskin karena sudah naik di atas garis kemiskinan.
Standar penghitungan garis kemiskinan sudah terlampau usang dan tidak lagi relevan dengan kondisi sosial-ekonomi terkini.
Berdasarkan studi Bank Dunia, kelompok ini disebut masyarakat menuju kelas menengah (aspiring middle class). Di atas kertas, mereka sudah lepas dari jerat kemiskinan berdasarkan definisi batas garis kemiskinan yang berlaku saat ini. Namun, nyatanya mereka rentan kembali jatuh miskin jika sewaktu-waktu kehilangan mata pencarian atau terkena bencana.
Kelompok ini jumlahnya sangat besar, yakni 115 juta orang atau 45 persen dari total populasi Indonesia per tahun 2020. Belum ada data terbaru jumlah populasi kelompok rentan ini. Bank Dunia sedang menghitung data terkini yang baru akan dirilis pertengahan 2024.
Orang-orang miskin yang tersembunyi ini hidup nyaris tanpa jaring pengaman sosial. Mereka tidak termasuk penerima manfaat bantuan sosial karena tidak lagi dianggap miskin meski hidup mereka selalu di ujung tanduk.
Sudah usang
Mengingat besarnya populasi orang miskin yang tersembunyi itu, sudah saatnya Indonesia mengevaluasi metodologi penghitungan garis kemiskinan yang menentukan miskin-tidaknya seseorang.
Apalagi, ujar Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto, standar penghitungan garis kemiskinan yang diterapkan sudah terlampau usang dan tidak lagi relevan dengan kondisi sosial-ekonomi terkini.
”Bayangkan, terakhir kali kita merevisi garis kemiskinan itu pada 1998 waktu krisis ekonomi. Pola konsumsi masyarakat sudah berubah. Apa yang kita kategorikan sebagai kebutuhan dasar 25 tahun yang lalu dengan sekarang sudah berbeda,” katanya, Kamis (11/1/2024).
Baca juga: Garis Kemiskinan Dievaluasi, Pemerintah Kaji Pendekatan Multidimensi
Sebagai contoh, 25 tahun lalu, kebutuhan dasar yang dijadikan patokan adalah sandang, pangan, dan papan. Sekarang, dengan perkembangan teknologi, telepon genggam dan internet yang dulu dianggap kemewahan sudah menjadi kebutuhan dasar sehari-hari.
Selain kebutuhan yang sudah berubah, metode penghitungan garis kemiskinan yang berlaku sejak 1998 itu juga tentunya sudah tidak relevan dengan status ekonomi Indonesia yang kini ”naik kelas” menjadi negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country).
Sebagai perbandingan, Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita Indonesia pada 2022 adalah 4.580 dollar AS, sudah naik berkali-kali lipat dibandingkan dengan PNB per kapita Indonesia pada tahun 2011 saat baru memasuki periode bonus demografi yang hanya 2.990 dollar AS.
”Ibaratnya, kita ini anak SMP yang dikasih soal ujian level anak SD. Sudah pasti banyak yang ’lulus’. Tetapi, apakah artinya sama? Kalau kita mau benar-benar naik kelas sebagai negara upper-middle, ukuran kesejahteraan masyarakat mestinya juga harus berubah,” ucap Teguh.
Jangan sampai kita terus terjebak mengejar angka statistik yang kecil, tetapi tidak banyak berarti untuk masyarakat,
Kesampingkan politik
Kalangan akademisi sudah lama menyuarakan pentingnya evaluasi metode penghitungan garis kemiskinan. Salah satunya melalui Forum Masyarakat Statistik (FMS) selaku dewan penasihat bagi BPS.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan BPS juga pernah membuat rekomendasi penelitian pada tahun 2020 agar pemerintah merevisi pengukuran garis kemiskinan. Namun, usulan itu selalu ”mental” karena pertimbangan politis.
”Tidak pernah berhasil karena pemangku kepentingan keberatan. Sebab, kalau garis kemiskinan itu disesuaikan, otomatis angka kemiskinan naik dan itu dianggap tidak strategis secara politik,” ujar Teguh yang pernah mengetuai kelompok kerja di FMS.
Berdasarkan penelitian Bank Dunia, jika Indonesia mengubah garis kemiskinan dengan menggunakan standar paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) terbaru untuk negara berpendapatan menengah, angka kemiskinan berpotensi naik dari 9,57 persen atau 26,36 juta orang (data tahun 2022) menjadi 16 persen atau 44 juta orang.
Teguh menilai, kekhawatiran politik itu seharusnya dikesampingkan. Sebab, dengan mengevaluasi pengukuran garis kemiskinan, pemerintah justru lebih maksimal melindungi penduduk rentan. Dampak kebijakan pemerintah juga bisa lebih mudah dipetakan dan diukur karena berbasis data yang relevan dengan masyarakat.
”Tingkat kemiskinan 9 persen hanya sebatas angka. Realitasnya, banyak orang tidak percaya dengan garis kemiskinan. Jangan sampai kita terus terjebak mengejar angka statistik yang kecil, tetapi tidak banyak berarti untuk masyarakat,” kata Teguh.
Ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, fenomena ini perlu cepat disikapi pemerintah agar tidak memicu keresahan sosial. Sudah saatnya arah kebijakan pemerintah tidak sebatas pada pengentasan rakyat dari kemiskinan ekstrem, tetapi juga memperhatikan kebutuhan kelompok rentan yang selama ini ”tersembunyi” itu.
Baca juga: Mengejar Target Kemiskinan 7,5 Persen
Indonesia, ujarnya, perlu belajar dari pengalaman Chile, negara yang sampai 2019 memiliki kinerja ekonomi paling baik di Amerika Latin, tetapi ”jatuh” akibat keresahan sosial yang dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat kelas menengah dan rentan (non-miskin) yang kurang diperhatikan pemerintah.
”Kita bisa belajar dari Chile. Sudah saatnya cakupan perlindungan bagi kelompok rentan diperluas. Tentu jenis dan besarannya disesuaikan, tidak disamakan dengan kelompok miskin, tetapi sesuai kebutuhan kelas menengah,” kata Chatib.
Urgensi itu tampaknya mulai disadari pemerintah. Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Maliki mengatakan, Bappenas kini sedang mengevaluasi metodologi pengukuran garis kemiskinan yang lebih relevan dengan kondisi riil di masyarakat.
Selain memakai pendekatan multidimensi (non-moneter) untuk mengukur dimensi kualitas hidup yang berkontribusi terhadap kemiskinan, pemerintah juga mengevaluasi pendekatan moneter yang dipakai dalam menghitung angka garis kemiskinan.
Pendekatan moneter biasanya diukur melaluicost of basic needs approachatau rata-rata biaya yang dikeluarkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Sementara pendekatan non-moneter mengukur akses seseorang terhadap infrastruktur dasar, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, sanitasi, dan lain-lain.
Diharapkan, hasil kajian ini bisa ”diwariskan” ke rezim berikutnya. ”Pendekatan kemiskinan multidimensi sudah mulai digunakan dalam pengukuran SDGS (tujuan pembangunan berkelanjutan). Yang sedang dievaluasi sekarang adalah pendekatan moneter yang kita pakai melalui garis kemiskinan kebutuhan dasar. Metodologinya sedang diperbaiki,” kata Maliki.